"Langitku kini bernama Kamu. Meski awan membentuk wajahnya, dan desau angin menyebut nama yang lain, tetap saja langitku kini bernama Kamu." Aku membaca sebaris kalimat di sebuah buku catatan lama yang sudah menguning. Buku catatan yang secara ajaib kutemukan saat mencari buku katalog lama milik perempuan yang kini berdiri bergeming membelakangiku, menatap kanvas putih kosong di hadapannya. Satu tangannya menggenggam lemah pisau palet, yang meski tampak usang dengan bekas cat dan goresan di sana-sini, tapi justru menunjukkan jam terbangnya selama ini.
Perempuan itu hanya bergumam dan menjawab seadanya saat aku datang membawakannya katalog-katalog lama yang selama ini tersimpan di lemari rumahku. Ada tiga eksemplar buku tebal dengan hard cover yang kubawa, kuletakkan di meja kerja yang kini kursinya kududuki.
Aku kembali memerhatikan perempuan itu. Kulit punggungnya tampak mulus tanpa cela, dihiasi tali bra berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang cerah. Pinggulnya tampak sangat proporsional dengan punggung dan bahunya yang ramping, ditutupi celana pendek yang juga berwarna hitam. Sudah cukup lama ia berdiri bergeming menatap kanvas kosongnya.
Aku memutuskan untuk bangkit berdiri dan menghampirinya. Di sekitarnya tersandar beberapa lukisan lain yang telah ia buat. Lebih banyak lagi yang berjajar rapi di dalam rak-rak di gudang penyimpanan. Sebagian besar karya yang tersimpan di sana sudah terjual, namun belum dikirimkan karena permintaan dari pembelinya. Cukup banyak kolektor di negara ini yang begitu, membeli karya dengan alasan investasi atau sebagai alat pengikat bisnis, dan tak mau menghabiskan uang lebih untuk sewa penyimpanan karya yang proper. Akhirnya meminta untuk disimpan saja untuk beberapa waktu. Tapi aku tidak terlalu memusingkan hal itu.
Aku berdiri tepat di belakangnya dan ikut menatap lurus kanvas kosong itu. Seketika tercium wangi yang sangat nyaman di hidungku, menguar dari tubuh yang tingginya hanya sedaguku itu.
Aku bisa melihat dengan jelas tengkuk lehernya yang bersih, yang secara tiba-tiba berputar dan berganti menampakkan wajahnya yang cenderung oval. Aku sedikit tergejut dengan gerakan tiba-tiba itu.
"Aku sudah bawakan katalog yang kamu minta," kataku mengalihkan rasa kagetku.
Bukannya menjawab, ia malah melingkarkan tangannya di pinggangku dan membenamkan wajahnya di dadaku. Aku sedikit kaget dibuatnya. Wajahnya yang polos tanpa riasan apapun itu justru menghadirkan berbagai warna yang dihujamkan tepat di dadaku. Aku yakin ia bisa merasakan bagaimana degup jantungku serupa irama musik rock yang kadang ia putar saat sedang melukis. Menghentak-hentak, tapi merdu berirama.
Seketika di kepalaku muncul sebait kalimat yang tertulis di buku catatan lama itu. Setiap hurufnya muncul berbaris, lalu terpencar seketika membentuk satu wajah perempuan lain yang amat kukenal. Perempuan yang bertahun-tahun hadir dalam setiap hariku, setiap malamku. Perempuan yang kupanggil Kamu dalam bait tulisan itu.
Sedikit ragu, akhirnya kuterima saja pelukannya itu. Tanganku kini mengelus halus rambutnya yang lembut. Sensasi wangi yang segar kembali marasuki indraku, merembes masuk dengan sangat sopan dan tanpa paksaan.
"Apa kau pernah merasa bosan dan sepi dengan sesuatu yang sebelumnya membuatmu sangat nyaman, bergairah, atau bahkan terobsesi?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
Aku menghela napas panjang mendengar pertanyaan itu. Seolah perempuan dalam pelukanku ini mampu membaca kekalutanku saat itu. Kembali terbayang wajah perempuan lain yang sedari tadi memenuhi kepalaku.
"Iya," jawabku singkat. "Bukankah itu hal yang wajar?" tanyaku balik padanya.
"Menurutmu, apakah hewan bisa merasakan bosan dan kesepian juga?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, perempuan itu malah bertanya balik. Ia melepas dekapannya di pinggangku tanpa mengendurkan jarak tubuh kita. Matanya beralih menatap salah satu lukisan yang tersandar di sana. Aku mengikuti tatapannya, dan mataku berakhir di satu karakter panda merah yang selalu muncul dalam setiap lukisan perempuan ini.