Cerita Buat Para Mantan Kekasih

9 1 0
                                    

"Aku pernah jatuh hati pada perempuan lain sambil memikirkanmu," kataku yang disambut dengan membesarnya mata bulatmu yang lucu. Rasanya bisa kulihat seluruh ingatan itu di sana, terpantul di bola mata indahmu.

***

Dia memainkan jarinya yang berkuteks ungu, sewarna dengan tas tangan barunya yang sejak awal dia letakkan di meja, dekat daftar menu.

"Ribet, ya," katanya seraya mensejajarkan sepuluh jemari lentiknya, jemari yang menurutnya sangat pas dengan jemariku.

"Lagian tumben banget pake gituan?" Kutarik daftar menu yang dipenuhi foto-foto pengunggah selera itu, meski seketika kecewa dengan tulisan kecil dipojoknya; foto hanya ilustrasi belaka.

Dia menjawab pertanyaanku dengan cemberut. Akhir-akhir ini dia memang lebih "berwarna". Terutama bibirnya yang jadi merah menyala, juga pipinya yang bersemu merah merona, juga alisnya yang kian tajam kecoklatan. Padahal ketika kuucap kata itu tiga hari lalu, keringatlah yang membuat wajah putihnya mengkilat. Bukan peralatan make up yang entah namanya apa.

Tiga hari lalu, tidak seperti sekarang, kami berdua dalam "kencan" yang entah keberapa kalinya terlaksana tanpa rencana, tanpa janjian. Kami kebetulan bertemu di jalan depan toko elektronik dekat stasiun kota, kudapati ia tengah menunggu lampu penyeberangan menjadi hijau sambil menggerak-gerakkan kaki mengikuti irama dari earphone-nya.

Kuhampiri ia dari arah sampingnya dan entah karena angin apa saat itu pula wajahnya berpaling menangkapku. Dua mata tajam sipit dan senyuman dibibir ranumnya, serta rambut hitam sebahunya yang melambai tertiup angin, berhasil menaikkan maskulinitasku. Seketika kutegakkan punggungku dan membalas senyumannya.

"Mau ke mana?" Tanyaku basa basi.

Ia mengangkat bahunya, "Keliling-keliling aja. Tadi abis dari dalem liat-liat IPhone baru," katanya seraya menunjuk toko elektronik di situ.

"Sama, dong. Aku baru mau ke sana. Libur bosen, ya. Gak ada kerjaan," anggukan kecil menyambut darinya.

"Kita karaoke-an, yuk!" Ajaknya seketika. Tanpa menunggu jawabanku, ditariknya tanganku menyeberangi persimpangan besar agak terburu-buru sebelum lampunya memerah lagi.

Disitulah langit berhenti dan membeku. Ada sesuatu dari masa lalu yang menyelisik masuk dalam wujud angin, menyusup disela-sela jemariku dan jemarinya. Terasa seperti gelembung, perlahan membesar dan berusaha membebaskan jemariku dari genggamannya.

"Tangan kita pas, ya." Suara lembutnya menarik kembali dunia ini ke tempatnya semula. Dia mengangkat tangan kami yang bertautan sambil tertawa renyah.

Hangat. Ada sesuatu yang mendidih di kepalaku. Membuatku kikuk dan tak mampu berkata apapun.

Isi kepalaku masih dipenuhi peristiwa sekejap yang terasa lama tadi saat kami memasuki ruangan sempit dengan layar besar dan sofa kecil yang hanya bisa diduduki dua orang.

Kunyalakan layar itu, yang katanya sudah tersambung dengan internet sehingga lagunya pun bisa kami pilih dengan bebas. Itu juga berarti kami bisa mengakses apapun tanpa batas di dalam ruangan sempit kedap suara ini tanpa ada yang mengganggu hingga tiga jam ke depan.

Dia menyambar dua mikrofon dan menyodorkan satu padaku.

"Kamu duluan yang pilih, mau lagu apa?" tanyanya. Saat itu juga lagu berjudul lemon mengambang di kepalaku. Lagu pop Jepang yang tengah populer belakangan ini. Bercerita tentang kisah cinta masa lalu. Lagi-lagi itu.

Kali ini kuturiti maunya diriku. Kepalang tanggung.

"Mune ni nokori hanarenai nigai remon no nioi..." Kulantunkan lirik demi lirik yang entah sejak kapan kuhafal di luar kepala. Sedang dia hanya mendengarkan sambil sesekali ikut bersenandung.

Tepuk tangan dan sorakannya hampir mengagetkanku kala lirik terakhir selesai kunyanyikan.

Kini tiba gilirannya. Ia memilih lagu yang mudah dan sepertinya tak ada orang yang tak tahu lagu ini. Membuatku sedikit merasa bersalah karena tadi memilih yang, walaupun kukira cukup populer, nyatanya dia tak bisa ikut bernyanyi.Aku terkejut dengan suaranya yang merdu dan renyah. Bukan. Kerenyahan itu datang bukan dari suaranya tapi dari senyumannya. Menyenangkan rasanya melihat ia bernyanyi, melihat bibir segar itu terbuka, melihat keceriaannya menggerak-gerakkan badan seirama.

Dan aku membeku ketika mata itu menangkapku. Anomali memenuhi ruangan sempit ini dalam sekejap. Aku membeku sekaligus terbakar. Bara dalam diri ini kembali menyala. Bara yang sedingin es batu.

Aku jatuh hati. Kuucap kalimat itu di depan mikrofon tanpa sadar. Instrumen musik terus berjalan tanpa ada seorangpun yang bernyanyi.

Ingin kukutuk hidung ini yang entah sejak kapan berada dalam jarak yang cukup dekat untuk mencium aroma keringatnya.

Saat itulah kembali kurasakan sensasi membeku di penyeberangan jalan tadi. Kutatap wajahnya, dan betapa melelehnya aku.

Tak lagi kulihat dia di sana. Berganti dengan kamu yang menyerupai dia. Ruangan sempit nan gerah ini kian meluas dan sejuk menyelimuti kita.

Kutatap lagi wajahmu yang menyerupai dia. Ingin kuulang lagi, Aku memang jatuh hati.

***

"Kau bilang kau pernah jatuh hati pada perempuan lain sambil mengingatku..." Aku mengangguk kecil.

"Lalu siapa yang kau ingat saat kau bilang jatuh hati padaku?"


Yid Herlan

2018

Perempuan yang Kupanggil "Kamu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang