Lonely Inventor

12 1 0
                                    

Bau alkohol dari mulut perempuan itu terasa kontras dengan wangi parfum dari tubuhnya. Tapi aku tak terganggu dengan itu, malah justru sebaliknya. Aku sangat menyukai kontras yang terjadi dalam satu frame. Seperti perempuan yang kini setengah tertidur dalam pelukanku ini.

Rambut pink muda, dan pilihan warna pakaiannya yang cerah terasa sangat kontras dengan karya yang dibuatnya. Aku masih mengingat jelas bagaimana ia menjelaskan keresahan yang ia tumpahkan dalam karyanya yang kusukai itu.

"Wanita, dalam percakapan kehidupan ini lebih sering menjadi objek daripada subjek." katanya sambil menyesap whisky yang dipesannya. Aku hanya mendengarkan sambil ikut meminum Lemon Sour di hadapanku.

"Itulah yang ingin kusampaikan dan menjadi tema utama dalam karya-karyaku." Ia meletakkan gelas whisky nya dan menatap tepat di mataku. Aku tidak lama-lama membalas tatapannya, dan memilih untuk memandangi es batu dalam gelasku yang mulai kosong.

"Jadi, lewat karyamu, kau ingin menjadikan wanita sebagai subjek yang mempunyai peran dan membawakan alur cerita? Karena itu setiap karyamu adalah lukisan seorang perempuan. Begitu?" Aku coba menyimpulkan sambil menggoyang gelasku lalu menatapnya. Terdengar bunyi halus es batu yang saling beradu.

Ia mengangguk. "Kurang lebih begitu." Tatapannya tak beralih dari mataku, tapi kali ini tak kualihkan pandanganku dari mata dan wajahnya. Di sanalah aku menyadari ada sedikit bekas luka di pelipisnya. Sejak pertama bertemu, aku memang sadar kalau perempuan dihadapanku ini bukanlah tipe perempuan feminin yang lemah gemulai meski tidak terkesan kasar juga. Ada tindik di kedua telinga dan satu di hidungnya. Aku juga bisa melihat ada tato yang mengintip di antara leher sampai pundak, tertutup kaos pink polos yang dikenakannya.

"Keren." Aku bergumam. "Aku sangat suka karyamu yang ini." Aku menunjukkan foto di ponselku. Sebuah foto yang kuambil siang tadi sebelum ia menghubungiku langsung dan bertanya apakah bisa bertemu malam nanti.

Ia menyunggingkan senyum sambil melihat foto itu. Manis sekali. Kontras lain yang kutangkap dalam satu frame perempuan ini.

"Apa yang membuatmu menyukai karyaku yang ini?" tanyanya masih dengan senyum yang sama. Ia kembali menatap mataku dengan tatapan yang hangat.

Aku kembali memperhatikan foto lukisan yang dibuatnya di ponselku. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan tanpa busana yang terduduk menopang dagu sambil menyalakan semacam api unggun.

"Matanya." kataku singkat. Ia tak berkomentar apapun selain menghabiskan whisky-nya sambil tetap memandangku.

"Matanya yang paling berbeda dengan dirinya di lukisanmu yang lain." Aku menambahkan sambil balas menatapnya. Ia masih tak berkomentar apapun, barangkali menunggu penjelasanku yang lain.

"Kenapa api unggun? Dan kenapa ia tampak muram?" Tanyaku balik kepadanya. Tapi lantaran gelas kita sudah kosong, aku memanggil kembali pelayan dan memesan dua whisky on the rocks. Ia sendiri yang meminta minuman yang lumayan keras itu dan aku mengikutinya.

"Menurutmu, siapa penemu paling berpengaruh di dunia ini?" alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah balik bertanya. Senyum manis itu masih bertengger di bibirnya yang entah kenapa kini terlihat sangat segar. Matanya mulai terlihat sayu, tanda efek alkohol mulai naik masuk ke sel-sel otaknya.

Aku mengikuti alur yang dibawanya. "Nikola Tesla?" jawabku. Ia menggeleng cepat.

"Penemu api." katanya sambil mengangkat gelasnya dan menyesap whisky di dalamnya.

"Dulu, sebelum manusia purba menemukan konsep bertani dan beternak, saat mereka masih berburu dan berkelana, waktu kita dihabiskan hanya untuk berburu dan makan. Bayangkan kita memakan daging mentah hasil buruan, berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk mengunyah dan mencernanya dalam perut? Berjam-jam." Ia kembali meminum isi gelasnya.

Perempuan yang Kupanggil "Kamu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang