OWGM (6)

70 12 0
                                    

Felix memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai atas. Kemudian ia mendudukkan bokong dan menyenderkan punggungnya pada kursi berbahan kulit itu. Ia menghela napas lega karena meeting-nya kali ini berjalan lancar. Setelah ini minuman baru yang telah ia rencanakan akan segera bisa dijual di cafe.

Merasa belum bisa tenang, Felix lantas merogoh ponsel yang berada di saku celananya. Mengecek apakah Jira menghubunginya atau tidak. Karena biasanya di jam makan siang, Jira akan mengirimkan pesan.

"Kan, ini Jira beneran marah kayaknya? Dari pagi sikapnya aneh soalnya." Felix mengusap rambutnya gusar.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Felix. Dengan cepat ia segera mengubah image-nya seperti biasa. Ia tidak ingin jika orang lain tahu dirinya tengah ada masalah di rumah.

"Iya, masuk," suruhnya.

Pintu terbuka dan terlihat Haechan membawa secangkir kopi di tangannya. Ia masuk dan meletakkan cangkir itu di meja Felix.

"Minum dulu, biar rileks otak lo."

"Thanks you."

Haechan mengangguk. "Santai." Kemudian ia ikut duduk di kursi, saling berhadapan. "Lagi ada masalah lo?" tanya Haechan to the point.

Felix meraih cangkir kopinya dan meneguknya pelan. "Dasar dukun, tahu aja lo."

"Bukan gitu Lix, kelihatan dari muka lo kusut. Bukan muka lo doang tapi pakaian lo juga. Nggak perlu nanya dan dijelasin pun udah tahu gue."

Felix menghela napas kasar. "Biasalah rumah tangga."

"Iya sih, cuma gue baru kali ini liat lo kayak gini. Biasanya adem ayem aja hubungan lo sama Jira. Atau jangan-jangan lo selingkuh di belakang dia ya?" tuduh Haechan.

"Sembarangan lo. Gue punya Jira aja pusing, apalagi punya Jira, Jira yang lain. Meledak otak gue," jelas Felix. Ia kembali menyimpan cangkir kopi tadi di meja.

Haechan tertawa pelan. "Gue nggak bisa kasih solusi sih, soalnya ya gue juga belum nikah, jadi nggak punya pengalaman."

"Makanya cari calon biar bisa adu nasib kita ntar."

"Gue baru aja lulus kuliah, kasih gue napas dulu. Gue masih pengen nikmati kesendirian gue, nah kalau gue udah bosen sendiri baru deh gue cari pasangan."

"Mau sampai kapan? Sampai lo ubanan?"

"Ya nggak sampe se-tua itu juga anjir, yang bener aja. Ya sampai gue ketemu yang cocok, biar gue nikahnya cukup sekali nanti," ucap Haechan penuh percaya diri. Sebenarnya ia bukan tidak laku, hanya saja memang laki-laki itu banyak sekali kriteria dalam memilih pasangannya. Diberi yang super cantik, ia tidak mau. Dikasih yang look-nya biasa saja juga Haechan masih menolak. Alasannya hanya satu tidak se-frekuensi.

Felix tertawa. "Jangan terlalu banyak mau Chan, keburu jodoh lo diambil orang."

"Emang bisa?"

"Mungkin bisa aja, gue nggak tahu."

Obrolan kedua laki-laki itu semakin tak jelas, mengikuti jarum jam yang berputar. Bahkan cangkir kopi yang tadi Haechan bawa buat Felix pun sudah kosong.

"Kelamaan ngobrol kita, lihat jam makan siang udah mau abis," ujar Haechan.

"Nggak selera gue, Jira nggak ngingetin gue buat makan soalnya."

Haechan mendengus sebal, "alay banget lo. Makan ya makan aja, ribet amat."

"Chan liat aja kalau lo nanti udah nikah, gue yakin lo juga bakalan sama. Apalagi pas lagi ada masalah sama istri lo, kayak nggak tenang. Padahal kita ngerasa sebelumnya kita baik-baik aja, trus tiba-tiba jadi diem-dieman," cetus Felix kemudian mendesah panjang. Jujur perutnya kala itu terasa keroncongan.

"Makanya lo jadi cowok peka dikit, lo ngerasa kayak nggak ada salah sama dia. Padahal emang lo ada salah ke dia, jangan gengsi buat minta maaf duluan. Udahlah gue laper, mau cari makan dulu." Haechan merasa lelah dengan partner kerjanya itu. Sudah sering ia memberi solusi tapi sepertinya Felix sama sekali tidak mendengarkan.

"Gue ikut, gue juga laper."

Akhirnya Felix memutuskan untuk makan siang, karena ia tidak mungkin melanjutkan pekerjaan dengan keadaan perut yang kosong. Akan buyar konsentrasinya nanti juga pikirannya akan semakin tidak fokus.

"Nah gitu dong!" Haechan merangkul bahu Felix. Keduanya kini berbarengan keluar dari ruangan itu.

Hanya perlu jalan kaki, tujuan dua laki-laki itu adalah warung makan yang berada di seberang cafe. Tempat yang selalu mereka tuju ketika akan makan siang. Bukan hanya rasa makanannya yang enak namun harganya pun pas di kantong. Salah satu alasan Haechan, menghemat pengeluaran. Atau bila sedang rezekinya ia akan di traktir oleh Felix.

Felix dan juga Haechan kini sudah berada di dalam bangunan bertuliskan warung  wareug bagja. Mungkin karena jam istirahat sudah hampir selesai, warung itu sudah mulai sepi tak seramai tadi.

"Buset makanan lo banyak bener Chan, laper apa doyan?"

"Dua-duanya sih. Laper iya, doyan iya. Mereka berdua saling berkaitan," jawab Haechan kemudian memasukan kerupuk udang ke mulutnya.

"Bahasa lo," cibir Felix. "Cepetan ah makannya, gue pengen cepet-cepet balik."

"Ya lo yang cepetan kenapa jadi gue?"

"Tadinya sih gue mau traktir ya, cuma setelah gue pikir-pikir--"

"Iya, iya ini gue cepet ini."

Felix hampir saja tersedak karena ulahnya sendiri menjahili Haechan. Selama hampir berteman lebih dari 5 tahun, sikap dan sifatnya Haechan masih sama kayak waktu di sekolah dulu.

"Lagian lo nyuruh gue ikut-ikutan makan cepet ngapain?"

"Biar lo bisa bantu handle kerjaan gue, gue pengen cepet balik. Gak tenang gue Jira lagi marah gak jelas gini."

"Gue lagi, gue lagi. Untung digaji," keluh Haechan. Mau tidak mau dirinya harus melakukan tugas yang diberikan Felix.

"Ya gue juga mikir kali Chan, tenang gue kasih uang lemburan."

"Gitu dong ini baru bos baik," puji Haechan, kemudian melanjutkan suapannya.

Baru setelah percakapan itu selesai, Felix dan juga Haechan fokus pada sendok dan juga piringnya.

Kini waktu sudah menunjukkan jam 14.45, Felix segera mengemasi barang-barangnya memasukan ke dalam tas. Pekerjaannya baru selesai setengahnya, dan seperti perjanjian ia meminta Haechan untuk menyelesaikannya. Lagi pula hanya mengurusi desain yang ada di menu.

"Chan, gue udah kirim lewat email ya. Gue balik duluan, lo awasin nih cafe, kalau ada masalah telpon gue aja," ucapnya pada Haechan sebelum keluar ruangan.

Haechan mengangkat jempolnya, membentuk tanda oke. Sedangkan matanya masih fokus pada layar monitor komputer.

"Gue nggak akan telpon sih, takut ganggu pasutri lagi bermesraan," ledeknya.

"Sangat pengertian, gue tambah gaji lo lima puluh ribu buat beli omongan tetangga."

"Omongan mereka mah nggak butuh gue beli anjir ngapain, buang-buang duit. Mending beli rumah baru aja, biar aman, damai."

"Terserah lo aja, orang duit juga duit lo bukan punya gue. Kalau gitu gue balik duluan ya. Inget tutup jam 10, nggak boleh ngaret harus tepat waktu." Pesan Felix untuk yang terakhir kalinya. Bukan karena dirinya kurang percaya pada Haechan, namun ya tidak ada salahnya jika ia kembali mengingatkan.

"Iya, siap bos!"

Once We Get Married || Lee FelixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang