OWMG (8)

58 8 3
                                    

Matahari sore mulai tenggelam, kini rutinitas bulan dan bintang akan segera datang. Gue menutup gorden jendela kamar, kemudian duduk di ujung kasur, dengan kaki yang terjulur ke bawah.

Ada perasaan lega karena Felix tidak marah saat tadi gue dengan mentah-mentah menolak untuk berhubungan. Ya meskipun tetap harus ada syaratnya supaya dia tak balik marah ke gue.

"Yang harusnya tetap marah kan gue, ini dia malah ikut-ikutan marah juga," gue berucap pelan kemudian menghela napas pendek.

Felix sedang berada di kamar mandi sekarang, dan entah apa yang tengah laki-laki itu lakukan di dalam sana soalnya sudah hampir 30 menit dia belum keluar dari ruangan itu.

Malam ini gue memutuskan untuk menginap di rumah mama, sekalian melepas rindu dengan kamar yang selama 6 bulanan ini gue biarkan terbengkalai. Gue merindukan dimana dulu gue sering bergadang karena keasikan nonton drama sampai lupa waktu.  Rindu saat-saat gue marah tidak jelas yang berujung mengurung diri di dalam kamar ini. Ah, pokoknya banyak banget kenangan yang terlewati di sini.

"Ra! Ini celana dalamnya mana ya?!"

Gue mendengus ketika Felix berteriak, gue beranjak dan berjalan menuju pintu toilet. Kemudian setengah berjongkok mengambil celana dalam milik dia yang terjatuh di bawah.

"Nih ...," gue membuka kenop pintu dan mengulurkan kain berbentuk segitiga berwarna hijau tai kuda itu. "Makanya kalau apa-apa itu yang bener, kebiasaan." Gue tak bisa untuk tidak mengomel karena memang Felix seceroboh itu.

"Iya sayang ... maaf. Nggak lagi-lagi deh," jawabnya.

Bukan Lee Felix namanya kalau tidak diselingi kejahilan. Tangan gue yang sudah diolesi handbody  tadi dengan sengaja kembali dibasahi oleh oknum laki-laki itu.

"Ya! Bule! Basah kan ah ...," hardik gue yang sudah merasa sangat kesal oleh kelakuan Felix. Kalau boleh gue jujur, ini entah sudah yang keberapa kalinya dia melakukan itu. Lalu, entah mengapa tololnya gue selalu membantu dia disaat yang sama seperti ini.

Dan pada saat yang bersamaan gue mengoceh, gue mendengar dari dalam kamar mandi Felix tertawa menertawakan kekesalan gue.

"Kamu nggak kapok-kapok ya bikin singa betina marah!" teriak gue kemudian menggedor pintu. "Aww ..., pintu sialan tangan gue jadi sakit ini!" kelakar gue tak jelas.

Gue menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, meredakan emosi. Melirik jam dinding sekilas, waktu ternyata sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Gue memutuskan untuk meninggalkan Felix dan turun ke lantai bawah.

Rumah begitu sangat hening, gue bisa membayangkan betapa kesepiannya mama tinggal di sini sendirian. Meski sebagian interior di rumah ini sudah banyak di renovasi, begitupun cat nya yang telah berganti warna tak memungkiri kalau kehidupan gue dimasa lalu masih seperti terbayang di memori.

Sofa-sofa yang berada diruang tamu dan juga televisi pun sudah diganti karena terkelupas bagian atasnya. Tapi jangan salah, mama nggak membuang itu semua. Masih ada disimpan dengan rapih di dalam gudang.

"Jira!"

Gue menoleh ke atas, kemudian mendelik. "Apa?"

"Kok ninggalin aku? Nggak nungguin?"

"Kamu aja semalem ninggalin aku, sampe pagi malah," cibir gue masih mengungkit permasalahan yang sebelumnya.

"Cewek mah gitu, padahal kita udah sepakat baikan. Ujung-ujungnya diungkit lagi masalah yang lalu-lalu," protes Felix, dia mengungkapkan isi hatinya yang terpendam.

"Iya ... kan, cewek selalu benar. Bukan begitu Bule sayang?" Gue menarik garis senyum, membuat tingkah lucu yang menurut diri gue sendiri itu menggelikan.

Felix berjalan mendekat, merentangkan kedua tangannya. Kemudian mengacak rambut gue. "Istri siapa ini? Lucu banget."

"Ih ..., berantakan dong Le. Udah sampoan, udah aku sisir juga ini. Hobi banget deh bikin aku darah tinggi," gerutu gue kemudian menghempas tangan dia yang masih berada di atas kepala gue.

"Kamu kan punya darah rendah, jadi bagus dong kalau darah tinggi."

Gue membelalakkan mata, "kamu mau aku stroke, terus masuk rumah sakit? Iya? Biar kamu punya istri baru, nikah lagi?" Sebagai pelampiasan kemarahan gue ini, gue mencubit paha dia kencang.

"Aww ... iya ... Eh, nggak lah Ra. Kamu nyubitnya beneran, sakit tahu." Felix mengelus pahanya yang terasa berdenyut karena cubitan gue barusan. Kemudian beralih duduk di samping gue. "Yah, lihat kan, merah. Pasti lebam nih besok," imbuhnya.

Gue menoleh sekilas melihat dia yang sedang meniup lukanya. "Ah, cuma segitu. Nggak sebanding sama luka hati aku yang kamu tinggalin gitu aja sendirian semalem."

"Astaga, Jira. Suami lagi kesakitan gini," Felix menggelengkan kepala.

"Iya ... iya maaf. Lagian kamu bikin aku kesel terus, tahu kan akibatnya apa?" Gue kembali menatap bekas cubitan tadi. "Kalau kamu sampai macem-macem di belakang aku, bisa lebih parah dari ini. Ini belum seberapa," ucap gue sedikit mengancam.

Felix bergidik. "Iya, kamu inget janji aku. Aku nggak mungkin macem-macem kok Ra. Mana berani aku."

"Awas aja kalau sampai janji sama omongan kamu ini nggak bisa ditepati. Aku kutuk kamu jadi batu, kayak malin kundang." 

"Masa jadi batu, jadi katak aja deh. Nanti kamu jadi putrinya, terus kamu cium aku. Terus kita bisa hidup bahagia bersama," ujar dia. Yang membuat gue terkekeh karena candaan recehnya itu.

Kita berdiam diri cukup lama di depan tv, sampai sebuah klakson mobil menghentikan kegiatan kita berdua. Gue mencolek hidungnya Felix, menyadarkan dia yang sepertinya mengantuk karena keenakan tidur di paha gue.

"Hmm ...," dia berdeham dan menggeliat.

"Bangun dulu, mama pulang aku mau buka pintu," ucap gue. Membantu dia mengangkat kepalanya. "Cuci muka sana biar nggak ngantuk, baru juga jam setengah delapan." 

Dia merubah posisinya menjadi duduk bersandar pada sofa, kemudian gue beranjak dan berjalan keluar menemui mama.

Pintu gerbang sengaja nggak Felix tutup tadi, katanya supaya mama nggak perlu nunggu lama dan nggak perlu capek-capek buat turun dan membuka gerbang.

"Mama!" teriak gue dari ambang pintu.

Mama menyipitkan matanya, tersenyum menatap gue. "Loh masih di sini? Kirain Mama udah pulang tadi, terus mobilnya sengaja di taro di garasi sini."

"Mau nginep nemenin Mama."

Gue merangkul pinggang  mama yang baru saja sampai itu, lalu masuk ke rumah berbarengan.

"Hai Ma," sapa Felix. Mukanya terlihat basah karena habis cuci muka.

"Halo mantu kesayangan Mama," balas mama. "Sudah pada makan malam?"

Kita berdua menggelengkan kepala bareng. "Belum Ma, kita nunggu Mama pulang." 

"Ya sudah bentar, Mama mau ganti baju dulu, mandi terus habis itu kita makan bareng ya. Mama beli banyak banget ini makanannya. Nih, kamu iniin dulu ke piring," suruh mama ke gue.

Selagi nunggu mama bersih-bersih, gue memutuskan untuk menuangkan makanan yang mama beli ke piring. Aromanya benar-benar menusuk hidung dan membuat perut gue keroncongan.

"Ra kira-kira cctv yang ada di sana bakalan bersuara lagi nggak ya kayak pas dulu?" tanya Felix yang membuat gue menautkan kedua alis.

"Jangan macem-macem deh, malu depan Mama!"

"Kan nanya, kenapa sewot? Jira ... Jira, untung sayang," dia berjalan menuju ke belakang gue, terus menggelitik pinggang yang membuat gue sedikit menggeliat karena geli.

Once We Get Married || Lee FelixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang