3

21 1 0
                                    

Seperti kata Grace sebelumnya, wanita itu benar-benar menjemput Sillye esok paginya. Sementara Sillye tidak merasa ingin bertanya ketika temannya itu muncul dengan sebuah mobil mewah. Pertanyaan di benaknya terjawab ketika Grace telah membaca raut wajah terkejutnya, sementara wanita itu berterus-terang bahwa dia mendapatkan mobil pinjaman tersebut dari pelanggan tetapnya di club.

"Kau tidak seharusnya membawa mobil seperti ini," Sillye berkomentar ketika dia berhasil duduk di dalam mobil. Maniknya menyapu keadaan mewah kendaraan itu. "Kau hanya akan membuatku kembali berpikir menjadi pelacur dan menjadi simpanan pria tua kaya adalah hal yang menyenangkan."

Rasanya Grace ingin tertawa, tetapi dia tahu itu tidak tepat sekarang. Dengan canggung, Grace mengamati jemari Sillye yang sedang mengelus kaca mobil. "Hmm, baiklah, aku menyesal membawa mobil ini. Tetapi percayalah aku melakukan ini untukmu. Kau pasti sudah bisa menebak orang yang akan membayar pengasuh dalam jumlah yang besar sudah pasti adalah orang kaya. Setidaknya kau harus datang dengan percaya diri."

Sillye mengalihkan perhatiannya dari jalan dan menoleh untuk menatap Grace yang tengah mengemudi. Bila dipikir-pikir, wanita itu terlihat cocok dengan gayanya sekarang. "Sudah pasti dia kaya raya." Sillye memikirkan sesuatu yang sejak kemarin malam mengganggunya. "Tetapi, apa kau yakin dia akan menerima seseorang yang tidak memiliki semacam pengalaman atau lisensi pengasuh? Bukankah seharusnya dia mencari yang lebih profesional?"

Grace tersenyum miring. "Itu dia masalahnya." Sillye mengerutkan alis. Dia belum paham ke arah mana perkataan Grace barusan. Wanita itu menatap Sillye sebelum akhirnya berucap, "masalahnya, hampir semua pengasuh berpengalaman dan tentu saja berlisensi seperti yang kau pikirkan mengundurkan diri saat mengasuh anak itu. Dan karena itulah, ayah dari anak itu merasa tidak peduli lagi siapa yang akan mengasuh puteranya selama dia bisa dipercaya."

Kali ini Sillye mulai terdiam.

Grace menatapnya sejenak. "Kalau kau mendadak merasa takut dan ingin kembali sekarang, aku akan melakukannya."

Tetapi Sillye menggeleng cepat. "Tidak perlu. Aku percaya pada diriku sendiri. Aku akan bertahan demi Saloka."

Grace berdecak. "Kau keras kepala dan tidak kenal takut. Inilah alasan mengapa kemarin aku enggan memberitahukan hal ini kepadamu."

Untuk pertama kalinya sejak hari ini, Sillye akhirnya menunjukkan satu lekukan senyum di bibirnya. Mendapati hal itu membuat Grace merasa sedikit lega meski sejujurnya dia tetap menyimpan rasa gugup. Dia berharap Sillye akan baik-baik saja bila nantinya temannya itu berhasil diterima.

Sudah pasti ada hal yang salah mengapa tidak ada pengasuh yang bisa bertahan lama dengan anak itu. Dan inilah yang membuat Grace khawatir. Tetapi, melihat bagaimana karakter Sillye yang keras meski terlihat rapuh, tetapi dari dalam perempuan itu sungguh tangguh.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau tahu tentang pekerjaan ini?"

Grace menoleh sebentar sebelum kemudian kembali fokus ke jalan. "Oh, tentang itu, sejujurnya aku lah yang mendapatkan tawaran pekerjaan ini dari salah seorang pelanggan. Tetapi, seperti yang kau pernah dengar tentang seorang pelacur, sekali kau menjadi kotor kau akan sulit untuk keluar. Dan inilah alasan mengapa aku menolaknya. Aku merasa tidak bisa keluar dari pelacuran." Grace tersenyum miris saat berucap, "jujur saja aku menikmatinya, dan inilah alasan mengapa juga aku tidak ingin kau menjadi sepertiku. Ini sangat sulit, Sillye." Wanita cantik itu mendadak tertawa saat menambahkan, "dan lagi, apa aku terlihat cocok mengasuh seorang anak? Jelas tidak, aku terlalu liar." 

Sillye balas tersenyum kecil. Meski tidak mengatakan apapun tetapi sejujurnya Sillye sangat mengerti apa maksud perkataan Grace. Itu jelas sebuah ketergantungan, dan hal inilah yang telah menjerat kawannya itu.

***

Entah mengapa, saat sepasang netra cokelat Sillye mendapati rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapannya membuatnya teringat sosok Agam. Meski pria itu akhirnya berakhir menjadi pria brengsek di akhir hubungan mereka, tetapi Sillye tidak bisa menutupi fakta bahwa pria itu terkadang sangat manis dan terlalu baik. Buktinya, Agam pernah mengajaknya tinggal di rumah sebesar ini sebelumnya.

Sillye lantas menggeleng. Mencoba membuang bayangan Agam yang mendadak terlintas di benaknya. Rasanya tidak pantas lagi.

"Kau sudah merasa siap?" Sillye sedikit tersentak begitu menyadari Grace telah berdiri di sebelahnya usai memarkirkan mobil di area parkir.

Sillye mencoba menegakkan tubuhnya saat berkata, "Tentu saja."

Membalas perkataan Sillye, Grace hanya tersenyum lalu kemudian menuntun temannya itu memasuki pelataran rumah dan berbicara dengan seorang pria berbadan besar yang telah berdiri di depan pintu sejak kedatangan mereka.

"Silahkan masuk," kata pria dengan setelan jas hitam didampingi mimik kaku. "Siapa di antara kalian yang akan menjadi pengasuh untuk Tuan Muda?" Sekali lagi pria besar itu menatap Grace dan Sillye bergantian.

Sillye melirik Grace sebelum akhirnya menjawab, "Aku."

Pria itu mengangguk lalu menatap Grace. "Mohon maaf, hanya dia yang bisa bertemu Tuan Besar untuk sesi wawancara, sementara Nona bisa menunggu di ruang tengah."

Grace mengangguk. "Okay, tidak masalah." Manik wanita itu berotasi dan berhenti ketika mendapati sofa mahal. "Aku akan duduk di sana, itu diperbolehkan, bukan?" ujarnya sembari mengedipkan sebelah mata.

Menyadari bahwa reaksi pria kaku itu hanya anggukan samar dan lebih banyak pengabaian, mau tidak mau hal itu memunculkan senyum kecil di bibir Sillye. Sepertinya, profesi Grace sebagai pelacur yang gemar menggoda pria tidak bekerja sekarang.

Sementara Sillye dituntun ke arah undakan anak tangga melingkar yang akan membawanya ke lantai dua.

Sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah langkah kaki beradu alas sepatu saat bertemu lantai marmer yang mengkilap. Keduanya baru berhenti melangkah ketika pria besar di hadapan Sillye berhenti di depan pintu kayu dengan ukiran rumit. Bahkan Sillye enggan menebak seberapa mahal pintu itu.

"Masuklah," perintah itu jelas, dan Sillye tidak membuang banyak waktu hanya untuk berbasa-basi kemudian akhirnya masuk tanpa mengatakan apapun.

Tetapi, Sillye dibuat menahan napas sesaat setelah dia masuk dan kini berdiri di depan pintu sembari menatap dua sejoli yang tengah bergumul tepat di hadapannya. Seorang wanita setengah telanjang tengah terbaring di atas meja kerja yang berantakan, sementara di atas tubuhnya, sesosok pria berkemeja biru pudar sedang menjamah tubuh bagian atasnya.

Tubuh Sillye membeku di tempat. Suara desahan mereka seolah berubah menjadi pisau kecil yang menusuk gendang telinganya hingga berdarah. Tubuhnya kaku dan terasa sukar digerakkan hanya untuk berbalik lantaran enggan menonton adegan tak senonoh tersebut.

Sampai kemudian, Sillye berhasil mengambil kembali kesadarannya ketika akhirnya indra pendengarnya berhasil menangkap suara lain.

"Kau bisa menunggu di ruangan sebelah."

Pandangan Sillye bergulir mencari pintu ruangan lain dan berhenti di sisi kiri. Perempuan itu meneguk ludahnya ketika dia mencoba memberanikan diri untuk berkata, "Maaf, apakah saya bisa menunggu di luar saja?"

Tetapi, bulu halus di permukaan kulit Sillye terasa berdiri begitu pria yang semula sibuk dengan wanita di bawah tubuhnya mendadak mengangkat wajah, lantas menatap langsung di kedua manik Sillye. Perempuan itu menegang tatkala menyadari ada gurat kemarahan di balik raut wajah pria itu.

Meski jika wanita di bawahnya mendesah, pria itu berkata seolah-olah dia sedang tidak melakukan apa-apa. Sillye sendiri sempat berpikir demikian kalau saja maniknya tidak mendapati pinggul mereka masih menempel dan bergerak seirama.

Suara bariton pria itu sekali lagi terdengar stabil saat berkata, "Salah satu tes untuk perkejaanmu adalah menuruti perkataanku. Kalau kau tidak bersedia untuk itu, kau bisa angkat kaki dari rumahku, Nona Silly."











MENGASUH ANAK MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang