"Kak, sudah gajian, kan?" Sillye menarik napas begitu mendengar suara manis adiknya, Saloka. Perempuan berusia 26 tahun itu lantas menjilat bibirnya yang kering setelah menyadari pertanyaan itu akhirnya tiba juga. Entah mengapa dia merasa gugup. "Besok lusa sudah tenggat waktu pembayaran semester. Kalau Kakak tidak kirim uangnya sekarang, mau tidak mau aku harus merelakan semester ini."
Sillye meremas telpon genggamnya. "Jangan khawatir, besok pagi akan Kakak kirimkan," ujarnya.
Perempuan itu tidak bisa menahan perasaan getir tatkala indra pendengarnya mengecap deru keceriaan di balik telepon, adiknya tampak kesenangan. "Sungguh? Ah, akhirnya aku tidak harus menahan malu di depan teman-temanku karena tidak bisa membayar uang semester. Mereka bahkan mulai mengejekku bahwa Kakak telah jatuh miskin." Terdengar tawa kecil Saloka di seberang sana. "Terima kasih, Kak. Kau tahu aku menyayangimu."
Sillye menunduk menatap lantai keramik usang di bawah kakinya. "Ya, aku jauh lebih menyayangimu, Saloka." Lagi-lagi terdengar suara tawa adiknya, sementara Sillye turut melepaskan satu nada serupa. "Kau tahu, kau hanya perlu belajar dengan baik. Jangan pikirkan masalah lain. Aku yang akan mengurus mengenai itu." Sillye mengigit bibirnya resah. "Dan ... abaikan perkataan orang-orang tentangku. Aku tidak jatuh miskin."
"Tentu." Sillye mengerutkan kening begitu mendengar sedikit keributan di balik sambungan telepon. Dia menduga Saloka sedang melakukan sesuatu, mungkin tengah menaiki undakan tangga. "Kak," suara Saloka kembali terdengar dan tanpa Sillye sadari dia baru saja menegang.
"Hmm?" Sillye bergumam. Kali ini dia memilih duduk di atas meja rias yang bahkan tidak menunjukkan satu kosmetik apapun. "Ada apa, Saloka?"
"Andai kau tahu, aku baru saja mendapatkan nilai tertinggi di ujian matematikaku."
Sillye tersenyum. "Kerja bagus."
Terdengar dengkusan tak senang Saloka. Gadis remaja itu merenggut saat berkata, "Hanya itu? Oh, ayolah, aku sudah bekerja keras untuk ini. Setidaknya berikan aku kata-kata manismu yang kaku, alih-alih hanya dua kata
itu." Saloka kembali tertawa.Entah bagaimana, keceriaan adiknya yang terlalu berbanding terbalik dengan dirinya memaksa Sillye akhirnya tersenyum kembali. Perempuan itu menarik napas dalam sebelum akhirnya berucap pelan, "Terima kasih karena telah bekerja keras. Aku akan menantikan hasil ujianmu yang lain, Saloka."
Saloka di seberang berdecak meski pada akhirnya dia membalas, "Ah, seperti biasa kalimat itu lagi. Padahal aku sudah berharap akan mendengar yang lain."
Sillye tampak tidak terpengaruh. Dia mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah. Ngomong-ngomong, apa Bibi Anne tidak datang hari ini?"
"Dia datang, beberapa saat lalu baru saja pulang setelah membuatkan makan malam untukku." Terdengar nada panik saat gadis itu berkata, "oh, apa Kakak sudah makan? Aku baru terpikir, kau tinggal sendirian di sana dan harus bekerja. Tidak sepertiku di sini yang punya Bibi Anne yang mengurus keperluanku."
Kali ini Sillye membiarkan kepalanya bersandar di kusen jendela saat dia memutuskan untuk berucap, "Sudah kukatakan jangan khawatirkan aku. Di sini aku bisa makan hanya dengan memesan layanan hotel." Sillye sekali lagi meremas ponselnya.
Huh, hotel apanya? pikirnya dongkol.
Saloka yang polos dan ceria kembali tertawa. "Aku jadi tidak sabar untuk jadi dewasa sepertimu, Kak." Sillye tanpa sadar mengernyit seolah-olah keinginan adiknya adalah hal yang tabu, dan kian kentara saat Saloka menambahkan, "aku ingin bekerja di perusahaan besar yang akan membayarku mahal. Aku sungguh ingin meninggalkan kota terpencil ini dan hidup bebas seperti dirimu."
Sillye memejamkan mata. Kata-kata adiknya seolah berubah menjadi bilah tajam yang baru saja menyayat ulu hatinya. Tanpa dia sadari, Sillye yang selalu berhati-hati saat bertutur kata dengan Saloka mendadak berkata sinis, "Jangan katakan hal itu."
"Kak?"
Sillye nyaris terperanjat saat menyadari apa yang baru saja dia katakan. Ya, dia tidak boleh ketahuan sekarang. Menjadi pembohong besar selama dua tahun terakhir tidak seharusnya tercium apalagi jika itu Saloka.
"Maaf, aku sedikit sensitif, mungkin karena efek datang bulan." Terdengar gumaman samar Saloka. "Bisakah ini berakhir, besok aku akan menelponmu kembali saat selesai mengirimkan uangnya."
Sillye menyadari Saloka merasa sedih, terbukti ketika mendengar suara pelan adiknya, "Okay," dan kemudian penggilan berakhir.
Lantas keheningan menghampiri Sillye.
Sepasang netra cokelatnya menyapu keadaan kamar yang telah memberinya sedikit kenyamanan selama dua tahun terakhir. Tidak mewah. Sebaliknya, tempat ini terlalu kecil dan pengap. Tetapi bagi Sillye, tidak ada waktu baginya untuk mengeluhkan kondisi tempat tinggalnya sekarang. Bahkan ini sudah jauh lebih baik.
Mendadak dia ingin tertawa. Menertawai kebohongannya beberapa saat lalu saat mengatakan dia hanya perlu memanggil layanan kamar untuk menyediakan makanannya. Meski setidaknya Sillye memang pernah tinggal di berbagai hotel bahkan apartemen mewah dua tahun lalu, sebelum dirinya ditendang dari tempat kerja.
Sial!
Untuk makan dalam keadaannya yang sekarang saja itu sungguh sulit.
"Apa yang harus aku lakukan? Begitu banyak tagihan yang harus kubayar," ujarnya kemudian. Tangannya yang kurus bergerak cepat meremas rambutnya.
Sillye menatap pantulan dirinya di balik cermin. Benda itu sudah setengah usang bahkan beberapa bagiannya retak dengan garis-garis memanjang. Rasanya dia tidak lagi mengenali dirinya. Hanya butuh waktu dua tahun dan dia menjadi seperti ini. Itu adalah tahun-tahun terindah saat Sillye yang cerdas dan menarik merantau ke ibu kota setelah lulus dari perguruan tinggi. Selancar seluncuran es yang biasa dia naiki saat masa kanak-kanak, hidupnya di awal-awal pun demikian.
Sillye memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bekerja dengan perusahaan besar dan tentu saja dengan gaji yang sepadan. Tidak hanya itu, Sillye merasa keberuntungan tengah berpihak kepadanya saat atasannya sendiri tertarik untuk menjalin kasih dengannya. Hidup Sillye yang biasa saja berubah menjadi luar biasa. Kehidupan mewah dengan limpahan uang diberikan oleh kekasihnya—Agam—lantas membuat perempuan muda itu dengan berani mendaftarkan adiknya ke sekolah swasta termahal di kota kelahirannya.
Tidak tanggung-tanggung, Sillye bahkan memindahkan Saloka untuk tinggal di kawasan elit, sementara dirinya hanya perlu membayar semua tagihan dan mengirimkannya untuk adiknya. Sampai kemudian, Sillye sekali lagi mengecap pahitnya dunia saat mengetahui bahwa Agam rupanya telah menikah. Pria sialan itu bahkan telah dikarunia dua orang puteri yang manis, yang mendadak mengingatkan Sillye pada dirinya sendiri dan Saloka.
Pada akhirnya, Sillye memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Namun tampaknya ego Agam merasa tersentil saat dirinya dicampakkan alih-alih dia yang mencampakkan. Pria itu membuat alibi yang kuat untuk menyudutkan Sillye hingga sekali lagi perempuan itu mendapatkan julukan; pelacur penggoda atasan. Sillye dipecat dengan tidak hormat dan bahkan namanya menorehkan catatan hitam di dunia kerja.
Itulah alasan mengapa hidupnya berubah seperti sekarang. Bahkan jauh lebih buruk saat awal-awal ketika dia dan adiknya kehilangan kedua orang tua mereka. Tidak ada tempat kerja manapun yang ingin menerimanya sejak kejadian itu. Jujur saja, Sillye merasa menyesal tidak memperhitungkan latarbelakang Agam sebelum menerima rayuan pria itu. Sillye merasa sangat sial saat mengetahui istri Agam adalah salah satu orang penting di ibu kota yang bahkan kerap dia lihat di layar kaca.
Oh, mengapa dia sebodoh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGASUH ANAK MANTAN
ChickLitKalau banyak yang baca, gue lanjut! Komen "lanjut" di bab terakhir update, yok ...! Ini hanya seputar kehidupan Sillye yang terjebak dengan mantan dan membuatnya mengasuh anaknya yang aneh.