Cuaca cerah di taman nyatanya tidak mampu mengobati duka yang dirasakan Alana. Dia tanpa malu menangis meraung-raung seolah baru saja ada yang menembak mati anak kucing peliharaannya.
Tapi orang-orang yang berlalu di depan kursi Alana, memiliki spekulasi mereka sendiri. Entah gadis itu penghuni rumah sakit jiwa yang hilang, atau hanya sekedar dicampakkan kekasih. Nyatanya tak ada yang benar.
Gumpalan-gumpalan tissue terhampar di samping Alana. Tidak cukup menyeka airmata yang terus mengalir, padahal matanya sudah sebengkak bola pingpong. Untuk membuka kelopak saja Lana mulai merasa nyeri.
Ah! Dia menyesal membaca di taman. Sekarang untuk pulang saja Lana tidak yakin mampu melihat jalan.
"Kau tidak malu menangis dengan suara keras begitu gadis muda?" Dengan kondisinya Lana sulit mengamati dengan siapa dia bicara, terimakasih kepada indera yang lain, sosok di depannya terdengar seperti nenek-nenek. Mengandalkan telinga, dia merasa seperti kelelawar di siang bolong.
Wanita tua itu duduk di samping Lana, menyingkirkan bekas-bekas tissue ke tanah yang segera digulung angin. "Ma-maafkan, hiks, aku."
Ketika seseorang terlalu lama menangis, biasanya ada fase tangisannya mirip seperti cegukan atau napas tersendat. Lana telah sampai di fase itu, sehingga wajah si nenek kian mengerut iba.
"Apa yang membuatmu menangis?" Tanya si nenek sekali lagi, walaupun dengan topik yang berbeda.
Lana menyerah dengan usaha membuka kelopak matanya. Seperti ada lem perekat yang menempel di sana. Dia masih bisa melihat, tapi tidak sebaik keadaan normal. "Hiks, a-aku, hiks, membaca buku—huks....huwaaa, kenapa penulisnya membunuh Ryo setelah dia berkorban untuk tokoh utamanya—hiks huhuuu...."
Sang nenek terkejut, lalu tersenyum di kesempatan berikutnya. Pandangannya jatuh ke buku di pangkuan Lana yang bentuknya tidak karuan oleh remasan gadis itu. Beberapa kali Lana akan meluruskan sampulnya, lalu meremasnya lagi untuk melampiaskan emosi.
Ah, gadis yang sangat sensitif.
"Kau seorang empath?"
Lana membeku, bagaimana nenek itu tahu?
"Tentu aku bisa tahu, Nak. Pengalamanku cukup banyak." Kata si nenek jumawa. Ekspresi Lana benar-benar mengatakan semua yang ada di kepalanya.
"—Ryo itu, tokoh di novel yang kau pegang?"
Setelah ditembak dengan pertanyaan ketiga, Lana benar-benar berhenti menangis. Banjir perasaan yang tadi meletup-letup di dadanya berangsur menghilang, dia bisa mengontrol perasaannya dengan baik kali ini. Matanya tidak lepas dari wujud nenek yang setia tersenyum kepada Lana.
"Iya. Apa nenek juga seorang empath?"
Nenek itu menggeleng, "beberapa kenalanku adalah seorang empath tapi tidak ada yang menangis sampai kedua matanya bengkak nyaris menutup. Itu berbahaya, kau tahu."
Lana menghela napas, "beberapa saat lalu ada pasangan yang baru putus, lalu ada anak yang kehilangan anjingnya karena umur, semua perasaan mereka ikut tertarik saat aku membaca buku. Itu salahku tidak membendung semua."
Jemari Lana mengusap buku. Yang paling terbesar dari semua itu adalah perasaan tokoh di buku ini. Perasaan Ryo, entah kenapa dia seperti menerima semua rasa sakit yang dirasa tokoh penjahat itu.
Padahal ini hanya sebuah buku. Biasanya jika satu kisah sangat menyedihkan, Lana hanya akan menangis sebentar lalu bersikap biasa kembali.
Tapi dia tidak begitu.
Ini membuat Lana sedikit tidak paham, namun pikirnya eksekusi sang penulis terlalu bagus sampai menyetir seorang empath nyaris menemui kegilaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Antagonist Lover
FantasyAlana itu konyol. Semua orang membenci antagonis, tapi hanya dia yang menangisi kisah Ryo-si penjahat-dalam novel 'Limerence' yang terkenal itu. Karena tidak tahan dengan raungan Alana, Sang Pemilik Takdir akhirnya mengirim Lana dalam sebuah misi...