Bagian 2

4 1 0
                                    

Sudah hampir satu jam Sita dan Bu Jum mengililingi pasar, sudah hampir penuh lima kantong kresek yang dibeli keduanya dari penjual plastik. Belanjaan kali ini memang cukup banyak, semua bahan-bahan di dapur santri pada habis, ditambah lagi dengan pesanan santri yang tidak kalah banyaknya. Alhasil, lima plastik kresek berukuran besar telah penuh.

"Ta, coba kamu cari ke dekat penjual rempah-rempah itu, siapa tahu Pak Tohari ada di sana."

Pak Tohari adalah orang yang biasa membantu membawa belanjaan orang-orang di pasar, lebih lumrahnya disebut kuli panggul. Sitapun yang sudah hapal letak perletak di pasar yang dia datangi segera mencari Pak Tohari sesuai dengan yang disarankan Bu Jum, yaitu dekat penjual rempah-rempah. Tidak sampai satu menit Sita sampai di sana, karena memang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat Sita dan Bu Jum berdiri sebelumnya. Hanya saja, Sita tidak melihat tanda-tanda Pak Tohari di sana. Atau mungkin dia berada di antara banyaknya orang-orang yang berkerumun membeli rempah-rempah. Entah ini hanya berlaku di pasar ini atau tidak, Sita melihat orang-orang lebih mengerubungi penjual rempah-rempah ketimbang penjual barang lainnya. Mungkin karena rempah-rempah adalah kebutuhan sehari-hari, mungkin saja begitu.

"Maaf, Mak Sahir, liat Pak Tohari tidak, ya?" tanya Sita pada penjual rempah-rempah langganannya.

"Tadi, ada di sini, Ta. Mungkin lagi bawa barang orang keluar," ucapnya sambil tidak berhenti melayani pembeli. "Tunggulah sebentar di sini, siapa tahu dia datang lagi ke sini. Banyak barang belanjaanmu hari ini?"

"Lumayan, Mak. Para santri banyak yang nitip."

"Wah, harus tunggu Pak Tohari itu untuk bawanya. Jangan kamu. Masak cantik-cantik bawa belanjaan," candanya. Dan itu membuat pipi Sita seperti tomat.

"Mak bisa saja. Ya, sudah Sita tunggu. Mungkin Pak Tohari sebentar lagi ke sini."

Seperti saran penjual rempah-rempah langganannya Sita mencoba menunggu Pak Tohari di dekat penjual tersebut. Banyak sekali orang-orang yang berdatangan, silih berganti. Ada yang sendirian, ada yang bawa anak, ada yang masih muda, ada pula yang sudah sepuh. Sambil menunggu Sita tak berhenti memandangi orang yang lalu-lalang. Orang-orang yang tidak dia kenal, memang siapa yang harus Sita kenal? Toh, kenalannya hanya para warga pesantren tempat Sita menetap selama ini. Sampai di mana pandangan Sita fokus pada pembeli yang baru saja datang. Dua orang, sama-sama perempuan, satunya perempuan muda yang mungkin sekitar dua tahun usianya di atas Sita, satunya seorang wanita yang memasuki usia senja, mungkin mereka ibu dan anak. Tampak keduanya sangat akrab. Namun, bukan itu yang membuat Sita terus memandangi keduanya, ada sesuatu yang membangkitkan ruang kecil dalam hatinya, ruang yang berisi tumpukan rasa yang tak dapat dikeluarkan.

"Mak, ini berapaan?" tanya perempuan muda itu.

"Oh, itu lima ribuan, Nak. Ada yang lebih besar, itu sepuluh ribuan."

Perempuan muda itu tampak menimang, sambil sesekali bertanya pada perempuan tua yang bersamanya, padahal perempuan tua itu tampak tengah memilih-milih juga. "Ini ambil yang mana, Bu?" tanya perempuan muda.

"Ambil yang lebih besar saja, ambil lima bungkus takut nanti kurang," kata si perempuan tua membalas.

Sita terus memandangi keduanya yang tampak acuh dengan keberadaan Sita. Apa mungkin mereka orangnya? Ruang itu kini benar-benar bangun dan membawa sinyal pada otak. Kenangan dua belas tahun lalu itu coba Sita ingat. Apa mungkin mereka orangnya? Ah, sialnya Sita tidak ingat dengan jelas bagaimana wajah mereka. Usianya saat itu masih terlalu kecil, kenangannyapun termakan usia. Bukan perihal satu atau dua tahun saja. Ini dua belas tahun. Apa mungkin Sita harus menyapanya? Bukannya Sita ingat nama-nama mereka?

"Tumben belanja banyak, Dah?" tanya Mak Sahir.

Mak Sahir menyebutnya 'Dah' apa mungkin maksudnya Hamidah? Jika benar, itu nama Ibu Sita. Sita ingat nama Ibu, nama Ayah dan juga nama Kakak perempuannya.

Hadiah Untuk SitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang