Pagi yang berkabut, aku melihat kak Jasmine sudah duduk di ruang tamu dengan buku dan gawainya. Menyapa sebelum bergabung, aku tahu benar ada lelah yang ia lihat setelah semalam kita hanya berkeliling sebentar untuk mencari santapan malam. Perempuan dengan jilbab merah mudah itu tersenyum, ia menyediakan teh panas dan beberapa kue di atas meja. Memang begini katanya, budaya menjamu tamu yang tidak boleh dianggap remeh karena akan mempengaruhi citra keluarga. Kulihat ada kue basah yang sepertinya dibeli di pasar atau mungkin dibuat sendiri, beberapa stoples kue kering juga tidak luput menggoda mata.
"Orang yang punya rumah ke mana, Kak?" tanyaku sembari meniup pelan air berwarna keemasan.
"Katanya dia ada urusan di Bandara, tadi habis sholat subuh dia pergi."
"Ah, pagi banget. Aku sholat tadi, dia udah berangkat?"
Kak Jasmine mengangguk, bisa dipastikan aku hanya akan berdua dengannya meski semalam aku tahu sempat tidur sendiri di kamar. Rumah mungil ini memiliki kamar tamu, sehingga tidak akan segan jika datang menginap karena bukan berada satu ruangan dengan pemilik rumah. Itu pandanganku, selaku orang yang paling sulit membangun percakapan dengan orang baru. Kak Jasmine semalam sempat pergi ke luar, tetapi tak lama aku menemukan presensinya saat terjaga di beberapa waktu sebelum subuh.
"Aku tuh mau ngajak kamu ketemu temen yang wartawan, tapi kamunya gak bisa lama."
"Iya, nih. Aku paling liat bazar aja sehari, besoknya harus kembali karena udah dipesenin mobil katanya."
Memang sesingkat itu, senior bukannya tidak ingin memberi waktu untukku menikmati suasana tempat ini. Hanya saja, beberapa desakan dari Cabang cukup menjadi sentilan, karena ke depan aku bisa saja menjadi tempat yang paling digantungkan. Sejenak, aku terkesiap saat melihat gawai kak Jasmine, beranjak ke kamar dan mengambil benda persegi panjang yang entah sudah bagaimana kabarnya.
"Semalem nyala terus, aku takut ganggu kamu jadi kubalik layarnya."
"Thanks a lot, Kak. Tapi, biar gimana pun kayaknya aku gak bakal keganggu, yang ada malah mungkin kakak jadi tidak bisa tidur tenang."
"Yaaah, cek aja dulu, barangkali ada yang penting."
Aku serius menatap layar, ada beberapa panggilan tak terjawab di malam hari beserta pesan pribadi di luar menumpuknya jumlah grup chat. Penasaran, aku menggulir percakapan mereka di grup, memastikan sesuatu yang mungkin saja terlewat. Rupanya, teman-teman yang belum pulang berkumpul di suatu tempat, seperti pasar malam yang juga memiliki cafe. Aku menanyakan itu pada kak Jasmine, katanya lokasi itu tidak jauh dari sini dan memang biasanya buka selama 24 jam.
"Temen-temen kamu semalem ke sana?"
"Iya, Kak. Mereka ternyata sempet nanya posisi aku, cuma nggak kebaca chat-nya."
"Pasti pada begadang, kamu semalem capek jadi ada benernya mending istirahat aja."
Aku mengangguk, tersenyum membenarkan karena bisa saja jika semalam memilih keluar bersama mereka tentu aku tidak akan bangun dengan segar seperti saat ini. Kak Jasmine mengajakku pergi ke lokasi Bazar, katanya ada sesuatu yang harus ia periksa di sana dan juga memastikan persiapan stand sudah matang sebelum pembukaan nanti malam.
Mobil yang kata kak Galih akan datang lusa, seolah menjadi patokan bahwa hari ini dan besok aku harus menikmati suasana. Kesempatan yang tidak mungkin disia-siakan, kak Jasmine membawaku ke beberapa tempat sebelum menuju lokasi. Rupanya dia sangat aktif, entah apa yang dilakukan dengan bertemu orang-orang penting di kantor Dinas. Aku jadi memiliki waktu untuk mengamati, juga berandai-andai jika saja menetap di sini dan bekerja di tempat yang serapih ini.
Namun, andai yang sempat kuselip mungkin sana tidak ingin kugapai, sesuatu yang jauh terkadang begitu menggiurkan. Kata seseorang, mungkin kita merasa nyaman karena belum terlalu dalam memahami. Suatu saat, jika yang ada dalam genggaman terlepas, maka rasa nyaman itu baru bisa dipahami. Begitulah hidup, kita sering iri dengan posisi orang lain tanpa menyadari banyak orang yang juga ingin berada di posisi kita.
"Kita ke stand, kuharap kamu tidak bosan berkeliling dari tadi."
"Nggak, lah. Aku senang datang dan melihat hal baru."
"Jangan lama-lama, ah, takut nanti kamu nyaman."
"Nggak apa-apa, kalau nyaman aku bisa tinggal."
"Good idea."
Perasaan itu. Aku sadar, sesuatu yang ingin memberontak agar aku mengambil keputusan secepat kilat. Ingin rasanya pindah ke sini, meninggalkan kampus yang begitu banyak gejolak. Bukannya kita diminta untuk bertahan di tempat yang menerima dibanding harus memaksakan diri di lingkup yang memalingkan atensi. Sayangnya, tidam semudah itu, orang tua yang tidak ingin kurepotkan juga menjadi elemen utama untukku bertahan.
"Kita nggak lama di sana, aku cuma cek aja abis itu balik. Nanti kita datang lagi selepas maghrib."
Aku hanya mengangguk, sebenarnya kak Jasmine tidak perlu bernegosiasi persoalan itu. Aku adalah tipikal orang yang mengikut saja, sebab tidak mungkin menolak tanpa alasan dan tentu akan membuat bingung keadaan.
Kak Jasmine menyapa beberapa orang, aku menyadari dia benar-benar manusia dengan social butterfly kuat. Mudah akrab dan diterima, awalnya kukira kita berdua sama-sama introvert dan ternyata dugaannku salah.
"Beh, bawa siapa nih, anggota baru?"
Lelaki hitam manis dengan satu lesung pipi sebelah kiri bertanya, aku hanya tersenyum sembari mengangguk. Dikenalkan sebagai seorang adik, kak Jasmine benar-benar sosok yang mendukung siapa pun. Aku ikut membantu sedikit hal yang diperlukan, diri yang biasanya menunggu perintah tiba-tiba memiliki inisiatif saat sekitar bekerja dengan aktif.
"Kak, guntingnya dibalikin ke mana?"
"Ke stand warna merah, kamu bisa bawa ke sana?"
"Iya, bisa."
Aku membawa sekotak gunting dengan berbagai ukuran, sepertinya stand yang terpisah dua tenda itu memiliki persiapan yang luar biasa. Membawa pergi sembari melihat sekeliling, aku menemukan banyak hal menarik yang mungkin akan kukunjungi nanti dan besok.
Brak!
Kotak itu jatuh, aku cemas berharap semoga tidak pecah karena suaranya cukup keras. Sosok di depan mengambil kotak disaat pikiranku belum menetap, aku menerima ulurannya lalu memeriksa dengan cermat.
"Ah, syukurlah gak pecah."
"Bahan gitu emang gak gampang pecah."
"Eh--"
"Oh--"
"Ka-kamu yang kemarin ketemu di lobi, 'kan?"
Perempuan itu mengangguk. "Ah, maaf. Aku nabrak lagi, semoga kamu gak kesel liat cerobohku."
"Nggak apa-apa, aku juga harusnya bisa menghindar."
"Kak Arsyra!"
Lagi-lagi sebuah panggilan memutus obrolan, tapi kali ini bukan lelaki tempo hari yang memanggilnya. Seorang perempuan diikuti beberapa lainnya datang, menghampiri perempuan dengan jaket army gelapnya ini.
"Dicariin, kukira ilang bah!"
"Nggak lah, kalau ilang aku bakal nelpon kamu."
Aku pamit undur diri setelah melihat sejenak keakraban mereka, berpikir mungkin aku juga bisa akrab dengannya nanti.
"Arsyra."
Suara gumaman kudengar menyebut nama perempuan tadi, menengok ke kiri di dekat stand yang kutuju. Langkahku berhenti, menatap sosok yang ditolak eksistensinya oleh pikiranku.
"Syahib?"
---- °• ----

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa [On Going]
Novela JuvenilBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...