Empat tahun lalu, saat badai hujan sedang turun tanpa perhitungan. Saat gemuruh petir menyambar segala sudut kota. Aku, seorang gadis biasa. Jatuh hati pada lelaki sederhana. Hingga kata mewah, tak berarti apa apa untuknya, menurutnya segala sesuatu sama adilnya seperti rumus matematika yang mutlak adanya. Seperti sebuah surat tanpa jawaban, begitu pula dengan perasaan yang kian tak menemukan titik balasan. Ia menjelma menjadi racun berakar, memasuki pikiran dengan seribu pertanyaan.
Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang baik? Apa aku memang tak menarik?
Seperti sebuah luka yang terbuka, ia seperti pusaran air yang menelan banyak jiwa. Hingga Badai itu, kini kian membara. Ia menelan jiwa, menelan rasa percaya hingga menghabisi banyak manusia dari segala sisi yang ada. Hingga bayangan hitam, setiap hari semakin terlihat jelas dalam pandangan. Ia mengambil alih peran. Hingga lelaki itu, kian hari kian menjelma menjadi udara. Ia hilang dari pandangan mata, tapi rasa itu, kian terasa nyata. Ia memberi jarak tak kasat mata, ia membatasi interaksi kita. Hingga kita seperti dua manusia yang tak saling mengenal.
Hingga tahun ketiga, Selasa, 22 Juni 2021. Ia membuka kabar gembira, yang rasanya dada bergejolak selayaknya api neraka. Panas dan penuh sesak. Ia telah mengikat diri (pacaran) selama tiga tahun lamanya. Tidak masalah sebenarnya, itu haknya. Hanya saja, seseorang yang menjadi bagian dari dirinya, adalah bagian dari dunia ku. Teman berbagi cerita, keluh kesah bahkan sebuah duka. Ia menyimpan rahasia dengan baik, sama baiknya seperti seorang ibu yang menyayangi anaknya. Mereka membelai ku dengan pelan dan penuh perhatian, belaian yang tesirat pisau, mereka memberi ku pengertian. Mereka memeluk ku dengan damai. Hingga waktu menampar, belaian yang lemah lembut, ternyata hanya sebuah pisau yang terbalik, sekali berbalik. Aku mati tertikam tanpa dugaan. Mengenaskan. Dan tak di temukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
badai
Poetryhanya sebuah cerita singkat yang begitu sederhana dan berakhir seperti apa yang sang pencipta tuliskan