"Woy, lo yang cepol dua! Ngapain lo liatin kita kayak gitu?! Lo ada masalah sama kita, hah?!"
Seluruh mata tertuju kearah Lily dan Santi. Mereka berdua juga kebingungan dengan situasi ini. Sampai akhirnya, Lily menyadari bahwa dirinyalah yang dimaksud dengan cepol dua. Ia pun memberanikan diri untuk membalas pertanyaan seseorang yang ia yakini kakak kelas itu.
"S-saya, kak?"
"Iye, lo. Sapa lagi disini yang cepol dua begitu, hah?!"
"A-ada apa ya, kak?"
"Gausah sok polos lo. Maksud lo apa anjing? Ngeliatin gue sama temen-temen gue sampe segitunya? Lo ada masalah sama kita? Kalo iya, sini bilang depan muka gue!"
Lily hanya bisa terdiam saat dibentak oleh kakak kelas itu. Begitupun dengan Santi, ia merasa kasihan kepada Lily. Namun, ia tak tahu harus melakukan apa untuk membantunya.
"Jawab, anjing! Atau lo mau gue hajar disini?!"
Tubuh Lily semakin gemetar dan ia mulai meremat rok sekolahnya dengan kencang. Ia menunduk guna menyembunyikan kedua matanya yang kini mulai berkaca. Ia merasa sangat takut untuk menatap kakak kelas diseberangnya itu.
Semua murid terdiam melihat kejadian ini. Bahkan para penjual makanan di kantin juga menjeda kegiatan mereka. Saat ia merasa kakak kelas itu hendak menghampirinya, sebuah suara memecah kondisi yang memanas itu.
"Udahlah, Ga. Mungkin dia ga sengaja ngelakuin itu."
Suara itu sangat halus dan serasa bagai penyelamat bagi Lily. Ia menengadahkan kepala untuk melihat siapa gerangan pemilik suara indah itu. Disana, seorang siswi perempuan bername-tag "Maya" tengah memegang lengan seorang murid laki-laki yang terlihat sedang menahan amarah.
"Tapi dia udah kurang ajar, May. Gue yakin dia pasti ada niat buruk ke kita, terutama lo. Harus gue kasih pelajaran tuh bocah tengik!"
"Ega, udah gapapa. Jangan mikir buruk gitu. Mungkin dia emang ga sengaja. Tuh lihat, kasihan tau. Udah hampir nangis gitu anaknya."
"Tapi, May-"
"Udah ya, mending kita lanjut pesen makan aja. Gue udah laper nih, yang lain juga kayaknya udah ga sabar mau makan nih."
"Haah, iya. Ayo lanjut pesen aja. Dan lo, awas aja kalo lo sampe ngeliatin kita kayak gitu lagi! Gue hajar beneran lo!"
Akhirnya, suasana di kantin berubah seperti semula. Semua siswa kembali ke kegiatan mereka masing-masing. Namun, hal ini tidak berlaku untuk Lily dan Santi. Mereka masih shock dengan kejadian yang baru saja menimpa mereka.
"Li, lo gapapa kan? Maaf ya, tadi gue ga sempet nolongin lo."
Lily masih termenung dan mengabaikan perkataan Santi. Tidak, ia tidak marah atau kesal kepada Santi. Ia hanya merasa takut untuk mengeluarkan suaranya.
Bulir keringat mulai memenuhi dahinya. Entah mengapa, ia merasa sangat sesak saat ini. Napasnya menjadi tersengal dan pandangannya mulai mengabur. Akhirnya, ia memutuskan untuk pamit kepada Santi untuk kembali ke kelas terlebih dahulu.
"I-iya, aku gapapa, kok. San, aku balik ke kelas dulu ya. Aku lupa kalo harus ngembaliin buku ke perpus."
"Eh iya, lo hati-hati ya. Apa mau gue temenin aja? Muka Lo pucet banget soalnya."
"Gausah, San. Aku beneran gapapa, kok. Ketemu nanti di kelas, ya. Dah!"
Tanpa menunggu balasan dari Santi, Lily langsung pergi meninggalkan kantin sekolah. Ia berjalan melewati koridor sambil berpegangan pada dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower Effects
Roman d'amourSebuah hiasan bunga di dinding mungkin terlihat biasa saja, namun keindahan bunga itu baru bisa dipahami setelah kamu mengamatinya dengan baik.