Bab V

566 53 6
                                    

"Mau apa kalian datang kemari?!"

"Wedhus!!!" Terkejut oleh suara serak menggelegar yang tiba tiba terdengar dari arah samping pondok, Pak Dul tanpa sengaja mengumpat sambil melompat mundur kembali ke halaman.

Dari arah kebun samping pondok, muncul sosok kakek tua bertubuh cebol dengan pakaian komprang compang camping bertelanjang kaki dan memakai caping rombeng diatas kepalanya. Dialah sosok Mbah Kendhil!

"Eh, anu Mbah, mau nyolong..., eh, bukan. Mau nodong..., Halah! Maksudnya mau...,"

"Ngomong yang jelas! Jangan gagap seperti maling konangan begitu!" Sentak Mbah Kendhil sambil menggebrak dinding kayu pondoknya, yang membuat Pak Dul justru semakin tergagap dan melangkah mundur beberapa tindak.

"Ngggg..., nganu Mbah, kami...., kami diutus sama Pak Bayan untuk menemui simbah. Desa kita Mbah, sedang dilanda Pageblug! Jadi, sudilah kiranya simbah membantu kami untuk....,"

"Hehehe...!" Mbah Kendhil terkekeh, menyela ucapan Pak Dul yang masih setengah tergagap itu. "Apa ndak salah kalian minta tolong sama orang yang menganut ilmu hitam, yang berkawan dengan setan dan kalau mati nanti akan berubah menjadi setan?!"

"Wedhus! Sepertinya dia mendengar percakapan kita tadi Min," bisik Pak Dul yang kini telah kembali berdiri disamping bapak.

"Jangan berbisik bisik di depanku!" Kembali Mbah Kendhil membentak, membuat kami bertiga serempak berjingkat karena kaget. "Ndak sopan! Bilang sama Bayan kalian! Aku ndak mau bantu! Wegah! Ra sudi! Kalian dulu membenciku! Menuduhku sebagai orang yang ndak kenal Tuhan! Bahkan kalian berniat untuk membunuhku dengan cara yang sangat kejam! Lalu sekarang, saat kalian ditimpa pageblug, kalian mau kita tolong sama aku? Enak saja! Emoh! Aku ra sudi! Aku ndak mau! Biarkan saja kalian habis dimakan setan! Apa peduliku!" Laki laki tua cebol itu mencerocos panjang pendek sambil membuka pintu pondok, masuk, lalu kembali menutup pintu itu dengan cara setengah membantingnya, hingga menimbulkan suara berderak keras. Bapak, Pak Dul, dan Pak Marto hanya bisa saling pandang mendapati reaksi dari kakek tua itu.

"Bagaimana ini? Kita ndak mungkin pulang dengan tangan kosong. Bisa habis kita didamprat sama Pak Jagabaya kalau sampai kita gagal," kata Pak Marto setengah berbisik.

"Ketok lagi pintunya Dul," bapak ikut berbisik. "Ngomong pelan pelan dan baik baik, siapa tau Mbah Kendhil mau berubah pikiran."

"Kenapa ndak kamu saja Min yang ngomong, aku tadi kan sudah..."

"Halah! Cepetan! Ndak usah protes! Daripada nanti kita habis didamprat sama Pak Jagabaya," bapak mendorong punggung Pak Dul hingga nyaris tersungkur ke teras pondok.

"As*!" Pak Dul mengumpat lirih. Mau tak mau, sepertinya memang ia yang harus menuntaskan tugas ini, mengingat kedua temannya yang sepertinya sudah tak bisa diharapkan lagi. Perlahan, Pak Dul kembali mendekat ke arah pintu, lalu mengetuknya pelan pelan.

"Mbah, boleh saya masuk?" Ucap Pak Dul perlahan, nyaris seperti suara bisikan.

"Enyah kalian dari pekarangan pondokku!" Sentak Mbah Kendhil dari dalam pondok.

"Tapi Mbah...."

"Braaakkkk...!!! Pergi! Atau kalian akan dicincang dan kujadikan santapan anjing anjing piaraanku!" Mbah Kendhil membentak sambil menggebrak dinding kayu pondoknya.

"Tolonglah Mbah! Sekali ini saja! Apa sampeyan...."

"Kliwon! Pahing! Wage! Usir manusia manusia tak tahu diuntung ini!"

"Gusssrrraaakkk...!!!"

"Grrrrŕrrhhhh....!!!"

"Guk...! Guk...! Guk...!"

Pageblug Di Desa Kedhung Jati [Short Story Kedhung Jati 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang