Bab VII

571 58 2
                                    

"Edan! Jagong kok ke tempat dhemit! Ndak Mbah, kami ndak mau ikut! Kalau simbah mau kesana ya monggo!  Silahkan! Tapi kami ndak mau ikut! Simbah pergi sendiri saja," seru Pak Dul.

"Ya sudah, ndak papa kalau kalian ndak mau ikut. Aku bisa pergi sendiri kok. Tapi, kalau kalian ndak mau ikut, aku juga ndak mau mencabut mantraku, dan kalian seumur hidup ndak bakalan bisa dilihat orang," sahut Mbah Kendhil sambil melenggang pergi.

"Wedhus! Kita dikerjai sama kakek tua itu Min!" Sungut Pak Dul kesal.

"Yach, mau bagaimana lagi," bapak hanya mengangkat bahu. "Mau ndak mau sepertinya kita memang harus ikut kesana Dul."

Merasa tak punya pilihan, akhirnya bapak dan Pak Dul pun menyusul Mbah Kendhil yang sudah berjalan agak jauh.

"Katanya ndak mau ikut," kata Mbah Kendhil setengah meledek. Pak Dul hanya mendengus, sementara bapak tertawa geli. Ia yakin, meski harus datang ke sarang dedhemit, tapi selama mereka datang bersama dengan Mbah Kendhil, maka semua akan baik baik saja.

Lewat tengah malam, ketiganyapun akhirnya sampai di area Tegal Salahan. Mbah Kendhil menghentikan langkahnya. Bapak dan Pak Dul pun ikut berhenti. Suara alunan gamelan semakin jelas terdengar kini. Arahnya tepat dari sebelah kiri mereka.

"Kita sudah sampai," ujar Mbah Kendhil. "Tapi sepertinya mereka tidak menghendaki kehadiran kita."

"Mereka siapa maksudnya Mbah?" Tanya Pak Dul heran. Ia tidak melihat siapa siapa di tempat itu selain mereka bertiga. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah kegelapan.

"Ah, iya. Aku lupa. Kalian kan ndak bisa melihat dedhemit ya. Sini, biar ku bantu agar kalian bisa melihat mereka. Tapi janji, apapun yang kalian lihat nanti, jangan pernah merasa takut. Mereka hanya dedhemit yang derajatnya jauh dibawah kita sebagai manusia," Mbah Kendhil mengusap pelupuk mata bapak dan Pak Dul secara bergantian. Dan betapa terkejutnya mereka berdua, saat kembali membuka mata, yang nampak di hadapan mereka sudah sangat jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat sebelumnya.

Tak ada lagi jalanan terjal berbatu dengan hamparan sawah ladang di kanan kirinya, melainkan yang nampak adalah sebuah bangunan megah bak istana yang terang benderang diselimuti cahaya. Beberapa sosok beraneka ragam bentuk dan rupa yang serba menyeramkan nampak hilir mudik keluar masuk dari pintu gerbang yang tak kalah megah dengan bangunan itu sendiri. Nampak dua sosok hitam besar berbulu lebat dengan wajah sangar berjaga di kedua sisi gerbang itu. Matanya yang melotot merah sebesar pantat baskom menatap nanar ke arah mereka bertiga. Mulutnya yang lebar menyeringai memamerkan taring taring mereka yang sebesar pisang ambon. Masing masing dari sosok itu, memegang pentungan yang ukurannya juga sangatlah besar.

"Astaghfirullah! Makhluk apa itu Mbah?" Seru Pak Dul sambil bergidig ngeri.

"Itu yang dinamakan genderuwo. Lucu bukan bentuknya? Dibilang monyet tapi bukan monyet. Tapi dibilang bukan monyet tubuhnya berbulu seperti monyet," Mbah Kendhil terkekeh.

Lucu apanya? Serem begitu kok dibilang lucu, batin bapak sambil memperhatikan  kedua sosok yang kini juga menatap ke arah mereka. Sepertinya kedua sosok itu mendengar ucapan Mbah Kendhil barusan. Dan jelas saja mereka tak suka mendengarnya. Terbukti kini keduanya menggeram, lalu serempak melangkah maju sambil mengayun ayunkan pentungan besarnya.

Bapak dan Pak Dul serempak bergerak mundur begitu menyadari gelagat buruk itu. Sementara Mbah Kendhil masih berdiri tenang di tempatnya. Hingga akhirnya....

"KRRAAKKKK...!!!" suara berderak keras terdengar saat kedua gada itu terayun dan menghantam tepat di bagian kiri dan kanan kepala Mbah Kendhil. Gada gada sebesar paha orang dewasa yang terbuat dari kayu yang sangat keras itu patah berantakan, sementara kepala Mbah Kendhil tetap utuh bertengger di tempatnya tanpa ada luka atau lecet sedikitpun.

Pageblug Di Desa Kedhung Jati [Short Story Kedhung Jati 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang