BAB 26

2.7K 449 8
                                    


"Ah ayolah Nyai, mari kita beritahukan mereka soal Berong. Mereka harus tahu, lagipun pertempuran sudah berakhir, kan?"

Engku Angga tengah memperjuangkan haknya sebagai guru Sejarah yang baru saja menyampaikan rahasia besar kepada murid-murid. Pembahasan Berong bukan pembahasan yang umum, tetapi Engku Angga berani melakukannya. Dia tentu saja punya tujuan jelas mengapa.

Nyai Mina menggeleng. "Yang benar saja kau Angga. Astaga, kurasa kesalahan besar telah mempekerjakan anak di bawah umur."

"Hahaha... anak di bawah umur? Aku bukan lagi anak-anak Nyai. Lagi pun Anda yang memanggilku kemari."

Memang Nyai Mina yang memanggil Engku Angga kemari, untuk mengajar. Alasannya karena dia salah satu murid yang berprestasi sama seperti Encik Flo. Namun itu hanya salah satu alasan, alasan utamanya adalah jarang penyihir Nusantara yang bisa tahu banyak soal Sejarah, dan kalau pun ada mereka adalah manusia-manusia pendamping pemimpin yang loyal menjadi penasehat kerajaan. Lagi pun pelajaran Sejarah adalah pelajaran yang membosankan sehingga Nyai Mina berpikir untuk mencari guru muda agar pelajaran ini sedikit lebih menyenangkan.

Nyai Mina tertawa kecil. "Ah aku hampir lupa. Rasanya baru kemarin. Berbanggalah karena kau layak, karena aku tahu kau berkompeten Angga... Tetapi soal memberitahukan Berong pada anak-anak adalah hal yang buruk. Waktu kau seusia mereka kau sangat aktif untuk bertanya, gejolak penasaran anak-anak muda kadangkala membawa petaka. Dan satu lagi, kau tak perlu berpura-pura tak tahu soal adanya Berong ketujuh."

"Berong ketujuh?"

Nyai Mina mendelik. "Sudah kubilang tak perlu menyembunyikan apapun dihadapanku. Kau sudah tahu, kan?"

Engku Angga mengusap belakang lehernya. "Ya, justru karena itu mereka harus tahu Encik... eh Nyai, karena kalau itu terjadi dan kita belum ada persiapan, itu akan jadi masalah besar, kan?"

"Tidak perlu khawatir. Apa yang sudah ditakdirkan ada orang terpilih tak dapat diganggu gugat."

"Dia benar." Muncul suara baru. Perempuan dengan kebaya merah masuk ke dalam ruangan. Ia duduk di kursi seraya menatap wajah Engku Angga. Engku Angga langsung menunjukkan reaksi yang berbeda, ia langsung patuh, agak menunduk dan menjadi lebih sopan dari sebelumnya.

"Aku agak terkejut Rondo, lain kali ketuk pintu dahulu. Jangan macam Engku Agam, muncul tiba-tiba. Kita semua sudah tua, penyihir mati karena terkejut. Bukankah konyol?" kesal Nyai Mina seraya mengusap dadanya.

Nyai Rondo tak menggubris. Dia mengambil lembaran kertas di meja.

"Anak ini benar Mina, semua anak di Archipelagos harus tahu soal itu."

Mata Engku Angga membulat, sekejap ia memperbaiki kera kemejanya dengan bangga.

"Tapi boleh kau keluar sebentar Nak. Aku ingin berbicara empat mata."

"Oh," Engku Angga memandang kedua perempuan tua itu bergantian, menyadari akan ada hal penting yang perlu mereka bahas. "Tentu saja Nyai." Ia berjalan keluar dan hilang dalam sekejap.

"Apa yang terjadi?" tanya Nyai Mina.

"Aku akan ke pusat besok." Nyai Rondo berjalan, ia mengusap kepala garuda di mejanya, lalu memandang fotonya sebagai kepala sekolah yang baru dipajang kemarin. "Sekolah ini butuh perubahan besar-besaran."

Nyai Mina mengernyit.

"Apalagi rencanamu?"

*

Drio merepet, menggeser tubuh Tanra di ruang tengah candi mereka. Ketujuh anak Candi Tellu menikmati waktu malam mereka dengan tenang.

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang