BAB 22

2.5K 461 10
                                    

Menyesuaikan diri kembali bukan hal yang mudah bagi Anak di Candi Tellu. Mereka tak akan mungkin lupa kalau mereka adalah anak-anak terpilih, yang semester lalu harus menghadapi pertempuran besar kemudian sekarang harus mencari informasi soal Buku Serandji Nusantara. Tetapi disisi lain apa yang dikatakan Nyai Rondo kalau mereka tak perlu buru-buru membuat mereka merasa nyaman mengikuti kegiatan seperti anak pada umumnya di Archipelagos.

Bastian memasuki banyak Ekstrakurikuler seperti impiannya. Ia menemukan banyak relasi dari berbagai Angkatan karena masuk ke berbagai Ekstrakurikuler. Bebannya adalah waktu. Dia paling sering bolos dan jadwalnya paling padat. Alhasil itu membuat tubuhnya semakin kurus karena kurang tidur dan makan (Untung saja ia bertemankan Drio yang suka membawa jajanan kemanapun). Sekarang target terbesar Bastian adalah menjadi anggota Kanta dengan seleksi super ketat.

Sanja jadi semakin sering merajut, ia juga sesekali menulis di buku hijaunya yang setengah bonyok, kalau ada waktu. Walaupun akhir-akhir ini ia sibuk belajar menjinakkan hewan buas di pemukimannya.

Drio belajar tentang teknologi. Ia terobsesi mempelajari bagaimana sihir bisa bekerja dengan kemajuan teknologi dan menghasilkan barang-barang luar biasa yang mempermudah kehidupan para penyihir. Karena rasa keingintahunnya itu membuat Tanra merasa punya teman yang selalu menenteng buku-buku besar kemanapun. Buku soal teknologi sihir memang lebih tebal daripada biasanya. Sejujurnya buku ini lebih bakyak tentang sejarah sihir tentang masing-masing teknologi daripada bagaimana komponen-komponennya bekerja.

Ayu masih dengan latihan medisnya. Ia mulai muak dengan Tanra yang langsung mahir dan berpindah ke materi berikutnya sementara Ayu sendiri harus mengulang-ulang beberapa kali hanya untuk menggerakkan ikan seekor ikan mujair yang kehabisan napas di daratan. Pujian-pujian yang Encik Petra lontarkan membuat telinga Ayu semakin panas.

*

Engku Bram adalah guru yang dikenal siswa sebagai guru teraneh dan menakutkan karena tingkahnya yang terlalu ceria dan sulit ditebak. Meski demikian, dia menjadi guru yang mengajarkan mata pelajaran terbanyak di Archipelagos. Menemukan penyihir golongan Fangin yang pandai mengajar memang sangatlah sulit. Mereka biasanya bekerja sebagai Pajaga atau ilmuwan.

Pagi ini Engku Bram mengajarkan murid tingkatan dua tentang Ilmu Penyerangan Tanah.

"Riongin Apangin."

Mantra berwarna kekuningan keluar, menghancurkan dinding tanah dihadapan.

Kerikil batu terlempar ke segala arah, anak-anak menunduk di kolong meja. Sayangnya, Bagas tak sempat menunduk. Batu kerikil mengenai jidatnya hingga ia menggerung kesakitan.

Semua orang di kelas tertawa, tak terkecuali Engku Bram.

"Inilah alasannya kenapa kalian harus fokus sejak awal. Bagas, maju!"

Bagas bangkit seraya menyapu jidatnya yang terasa perih.

"Pasang kuda-kuda!"

Anak itu menuruti perintah sang guru.

"Katakan dengan lantang, Riongin Apangin."

Bagas mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya fokus menatap sasaran.

"Riongin Apangin."

Hening ....

Tak keluar apapun.

Engku Bram menyuruh Bagas duduk kembali. Berikutnya ia memanggil Dora, Dora juga melakukan hal yang sama, tak ada mantra yang keluar dari tangannya. Murid ketiga Bona juga sama. Pariari yang keempat juga sama. Imar yang kelima pun begitu.

Mode serius di wajah Engku Bram mulai nampak. Ia yang semula ceria mulai menunjukkan keseriusannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian? Sudah murid kelima dan tak ada satupun yang bisa. Padahal ini hanya mantra sederhana untuk penyerangan. Kalian tak pernah belajar?" Engku Bram menarik napas panjang. "BODOH KALIAN SEMUA!"

Suara itu bergema.

Sekali lagi, Engku Bram guru yang sulit ditebak.

"Minggu depan, aku tak mau tahu. Kalian semua harus bisa mantra ini, dan kekompakan kalian juga berkurang. Senior kalian bisa semua, kalian malah sebaliknya. Kalian harus sering belajar bersama, ingat, kalian penyihir tanah. Maka dari itu, aku memutuskan untuk memberikan tugas tambahan. Buat kelompok dua orang, tugas kalian belajar bersama dan aku mau di tempat yang tak terduga, tulis apa saja yang kalian dapatkan setelah belajar mantra bersama."

Pelajaran hari itu ditutup, anak-anak meninggalkan ruang kelas dengan suara dengungan, masih membahas soal kemarahan Engku Bram juga pertanyaan yang terbesit : kenapa berlatih hanya berdua dan kenapa di tempat yang tak terduga.

"Drio!"

Seseorang memanggil Drio. Rupanya Dora.

"Kita satu tim ya, aku belum ada pasangan."

"Loh, kenapa harus aku?" tanya Drio.

"Karena kau termasuk yang paling cerdas soal mantra penyerangan lebih daripada yang lain Drio. Walaupun buruk di teori dan kadang kekuatannya tak dapat dikendalikan. Aku jelas ingin berlatih bersama orang hebat."

"Aku bukan orang hebat," tukas Drio.

"Kalau begitu alasannya karena aku tak punya teman. Bona sudah berpasangan dengan Pariari."

Drio yang merasa tak enak akhirnya menerima.

*

"Engku Bram marah," gerutu Drio saat jam makan siang. Dia dengan lahap menyantap menu hari ini. Gado-gado.

"Apa katanya?" tanya Bastian antusias.

"Bodoh kalian semua!" Drio mengikuti gelagat Engku Bram membuat temannya tertawa.

"Aku penasaran," kata Ayu menyeka air matanya setelah tawanya reda. "Tetapi bukankah menyenangkan menyaksikan kemarahannya? Dia terlalu banyak bersenda gurau. Aku tak akan lupa dia menjadikan rambut kepangku sebagai bahan olokan."

"Omong-omong mana Tanra?" Nala bertanya.

"Dia di perpustakaan," jawab Bastian.

"Huh... pasti sedang mencari petunjuk lagi. Anak itu benar-benar tak bisa menikmati momen. Gara-gara dia kita semua jadi ikut kepikiran lagi soal misi Wentira yang belum selesai kemarin," gumam Ayu dengan nada kesal. "Aku tak akan memikirkannya dulu. Oh iya, aku akan mendaftar klub Anggrek Putih lagi."

"Kau gila Ayu!" Nala menoleh dengan tatapan seolah mempertanyakan apa yang baru saja Ayu katakan, sendoknya sampai mengudara karena bingung. "Gara-gara klub itu kau berubah. Apa tujuanmu masuk kesana lagi?"

Ayu tertawa kecil. "Tenang saja Nal, aku masuk kesana karena aku ingin. Tak akan ada yang berubah."

Nala mencoba menerima. "Baiklah kalau begitu, setidaknya kau tahu apa yang akan kau masuki. Bagaimana dengan kau San, kau tertarik dengan ekstrakurikuler atau rajutanmu?"

Sanja tersenyum. "Aku ingin melakukan sesuatu."

Hal yang dilakukan Sanja berbeda dengan teman-temannya yang lain. Akhir minggu, ia ia ke pemukimannya yang jauh bersama murid Tanko lainnya. Melewati sampan, ke sebuah pulau yang dipenuhi dengan fauna. Melewati sungai dan tibalah mereka di rumah Lamin.

Setelah menaruh tas dan beristirahat, tepat pukul lima sore ia pergi ke balai pemukimannya. Disana ada seekor kura-kura tua yang telah hidup beribu-ribu tahun lamanya. Orang-orang sering mendengar kura-kura itu bersuara kecil dan parau. Orang-orang menyebutnya gila karena pertempuran besar. Bukan hanya orang biasa, para ilmuwan yang didatangkan dari Serandjana juga mengatakan hal yang sama. Tetapi apa yang Sanja dengar setahun lalu dari kura-kura itu membuatnya yakin kalau kura-kura itu masih waras.

Sanja memasuki sebuah kandang istimewa dengan kayu berukir, tempat dimana kura-kura itu diletakkan. Kura-kura itu ada di dalam, memakan sayuran-sayuran dengan sangat pelan.

Sanja menatapnya lamat. "Permisi," katanya seolah berbicara dengan manusia.

Kura-kura itu menoleh. "Oh... k-kau sang pemecah takdir."

Pemecah takdir?

Sanja tersenyum tipis. "Aku kesini ingin menanyakan sesuatu."

"B-boleh. Ngg kurasa t-tidak. A-aku tak mengingat banyak h-hal lagi."

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang