BAB 6

3K 530 11
                                    


🌿🌿🌿

Ledakan terdengar semakin keras. Kepulan asap mulai menghilang saat Leom berhasil membawa anak-anak itu masuk kembali ke dalam pohon.

Ayu dan temannya mengira itu hanyalah suara biasa. Barangkali mesin-mesin dalam pohon itu. Namun segerombolan orang berlari ketika seorang pria berbadan gempal dengan jubah merah berteriak menyuruh orang keluar.

"Kita harus pergi dari sini," kata Leom mengawasi anak-anak itu tetap aman.

Suasana yang semula tenang kini menjadi riuh-piuh. Orang-orang berlarian keluar. Para Pajaga menuntun mereka.

"Apa yang terjadi?" tanya Leom pada Pajaga.

"Ada penyerangan."

Ayu kaget bukan main. Nala dan Sanja berusaha menenangkannya. Mereka baru bernapas lega ketika menemukan Amerta di depan pintu keluar.

"Kalian tak apa-apa?" tanya Amerta.

Abimanyu juga ada disana, berlari menghampiri setelah menyelamatkan ibu-ibu yang jubahnya tersangkut di pegangan besi.

"Apa yang terjadi ayah?" tanya Ayu.

"Ada tahanan yang kabur dari penjara. Kalian harus pergi ke dari sini. Amerta, bawa anak-anak ke pintu keluar. Ada sesuatu yang harus kuurus."

Seperti perintah suaminya, Amerta membawa anak-anak itu kembali ke portal keluar. Ada delapan portal keluar dari kota ini dan semuanya ramai. Para orang yang berlibur baik itu penyihir yang tinggal di dunia luar maupun para penyihir dari kota lain menunggu. Mereka berteriak. Ingin segera diselamatkan. Ingin segera menjauh.

Nala memandang ke bawah, suasana kota berubah menjadi mencekam.

Seorang ibu menarik tangan anaknya, bersembunyi di dalam toko. Sebuah bangunan hancur bak ditembak bazoka. Terbakar hangus. Para Pajaga berjaga, beberapa diantara Pajaga itu sampai terbang mengejar sesuatu.

"Kenapa melamun Nal."

Ayu menarik tangan Nala yang hampir saja tertinggal. Nala melihat ke bawah sekali lagi. Orang-orang di kota berlari bak dikejar waktu. Para penyihir kota bersembunyi di rumah mereka. Para Pajaga memperketat pengamanan di sekitar toko buku yang kini terbakar. Juga di rumah-rumah penduduk.

Dua belas tahanan itu langsung hilang jejak.

Amerta serta Ayu dan kawan-kawannya melewati lorong bawah tanah. Sampai ke kapsul seperti layaknya stasiun kereta api bawah tanah. Tetapi keretanya adalah kapsul berwarna biru.

Mereka masuk ke dalam kapsul, yang melaju membawa mereka melewati jalur dengan kecepatan 600 kilometer/jam. Di dalam ada dua puluh orang. Amerta dan 3 anak yang dibawanya, 7 orang dewasa pekerja toko pakaian sihir, ada orang tua bertopi kerucut yang terlihat ketakutan seraya memegang tongkat, empat orang berpakaian hitam, seorang Pajaga, serta tentunya seorang penyihir yang bertugas mengemudikan kendaraan magis itu.

Beberapa memandang dengan sinis, karena kepercayaan benar-benar diragukan.

Bagaimana jika salah satu diantara mereka adalah buronannya.

"Rugmi Keagni."

Dugaan mereka benar. Mantra sihir mengkilap dari seorang pria yang menyamar menjadi pekerja toko menyerang sang pengemudi. Membuat sang pengemudi pingsan tak berdaya.

Pajaga tak tinggal diam. "Unang Inang."

Cahaya merah dan abu-abu bertemu. Orang-orang yang ketakutan berlindung di belakang Pajaga yang bertahan.

"Menau Uigau Terau..."

Mantra baru dengan cahaya keungunan masuk ke dalam. Mantra yang dikeluarkan Amerta.

Penyihir buronan itu tak berdaya. Terlempar ke dinding belakang.

Hening ....

Sementara kapsul kehilangan arah. Tak ada yang mengendalikannya. Pajaga mengambil alih sebelum mereka hampir saja menabrak dinding bawah tanah.

Mereka menghela napas lega.

Sang nenek mendekati sosok buronan itu, melepas topinya. "Dia Thioro Manau," katanya. "Tahanan tahun 1932, membuat akademi sihir ilegal dan mengajarkannya kepada orang di dunia luar. Dia dulunya memang seorang Paranga. Aku benci mengatakan ini."

"Anda... siapa?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Amerta begitu saja. Nenek tua ini jelas bukan penyihir biasa jika sudah mengenal tahanan sampai sembilan puluh tahun lalu.

"Rumia Ilen. Dulu aku bekerja di Kementerian Pertahanan dan HAM."

"Ah... maaf tak mengenali anda," kata Amerta menunduk. Ia menoleh kepada Pajaga. "Kurasa buronan ini harus dibawa kembali ke asalnya."

Amerta dan ketiga anaknya meninggalkan kapsul itu saat tiba di tujuan. Tak ada yang lebih penting bagi Amerta sekarang selain keamanan anak-anak.

Mereka memesan tiket pesawat kembali ke Bali. Bukan kendaraan sihir, melainkan pesawat yang sama yang digunakan oleh orang-orang di dunia luar. Mereka telah meninggalkan Serandjana dengan selamat.

🌿

Amerta dan anak-anak kembali ke rumah. Ayu sepanjang jalan resah karena ayahnya. Anak itu terus-terusan bertanya bagaimana keadaan Abimanyu.

"Apa ayah akan kembali?" tanyanya seraya meraih segelas teh hijau penenang yang Amerta sajikan.

"Tentu saja sayang," kata Amerta.

"Ya. Dia akan baik-baik saja Ayu. Tak perlu khawatir. Paman orang yang hebat," hibur Sanja.

Baru seruput Ayu meminum teh, dia merasa agak baikan.

Suara derap Langkah kaki terdengar. Ayu meninggalkan gelasnya asal. Napas leganya terdengar.

Matanya berbinar tatkala melihat Abimanyu di depan pintu. Pria itu mendekap erat anaknya.

Ayu tersenyum.

"Apa yang terjadi?" tanya Amerta pada Abimanyu.

"Kabar buruk," kata Abimanyu menaruh tasnya di kursi. "Dua belas tahanan level empat dan lima kabur dari Penjara."

Berita soal tahanan kabur itu menjadi momok yang diperbincangkan hangat bagi para penyihir Nusantara. Dua belas nama yang tertulis disana bukan nama sembarangan. Mereka adalah tahanan kelas kakap.

"Jadi bagaimana sekarang sayang?" Amerta bertanya, seraya menaruh segelas the hangat untuk suaminya.

"Kementrian Pertahanan sedang melakukan penyelidikan dan pencarian besar-besaran," kata Abimanyu. "Maaf anak-anak. Karnaval ditunda, termasuk pelantikanku."

Ayu nampak sedih karena keinginannya untuk melihat ayahnya dilantik kini hanya angan belaka. Jika pelantikan itu diundur sebulan lagi, maka ia sudah ada di Archipelagos. Tetapi ia sudah bersyukur ayahnya kembali ke rumah.

Berita kedua belas tahanan membuat dunia sihir di Nusantara berubah. Para penyihir menjaga keluarga mereka untuk tak berkeliaran sembarangan. Maka Ayu dan kedua kawannya terkena dampak itu. sepanjang liburan mereka menghabiskan waktu di kamar dan dilarang berkeliaran saat petang. 

🌿🌿🌿

DON'T FORGET TO VOTE & FOLLOW ARCHIS 💚

ARCHIPELAGOS 2 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang