01

14 2 0
                                    

BAB 1
Anak Dua Bajingan
_________________________________

"Benar kata ibu : orang-orang lebih tertarik pada mereka yang pandai berdiplomasi."
-Antasena-

_________________________________

   "Ibu, kenapa banyak pria berduit datang kepada ibu ?"

   "Sen, bisa ambilkan sampo untuk ibu ?", Antasena hanya menggangguk kecil, memotong sampo saset yang menggantung di dekat kamar mandi, "selalu begitu, ibu tidak pernah menjawab pertanyaanku".

   "Jangan terlalu banyak menggerutu dalam hati, Sen. Lelaki sejati semestinya berterus terang," Rahmawati hanya menatap tajam putranya, kemudian mengambil sampo dan hilang di balik pintu kamar mandi.

Antasena tidak pernah benar-benar tahu, tentang siapa ibunya sebenarnya, bukan tentang namanya, tapi tentang mengapa banyak lelaki berjas hitam dengan parfum menyengat kerap menghampiri ibunya, bahkan tentang apa yang dilakukan ibunya di dalam 'kamar larangan' itu. Dia tumbuh dan besar di lingkungan yang kumuh, tinggal di pinggir bantaran sungai yang penuh sampah. Ibunya hanya menekankan untuk sekolah, tidak ada lainnya. Bahkan di saat anak seumurannya memilih berguru pada Ki Semar, dia bahkan sama sekali tidak boleh mendekat ke Pondok Jati. Menurutnya ibunya kelewat posesif, mestinya anak lanang tidak diperlakukan seperti perawan, lumrahnya seorang laki-laki wajar untuk berkelahi, entah sekedar untuk mempertahankan buku contekannya atau bahkan berebut tarikan parkir, seperti anak-anak Ki Semar.

Di tengah lamunanya dari jendela rumahnya, dia melihat dengan jelas anak-anak seumurannya sedang berkelahi, tepatnya anak-anak Ki Semar. Setiap sore mereka selalu melakukan latihan, dua di antara mereka akan berada di dalam lingkarang besi, dan lainnya akan duduk menyaksikan perkelahian itu. Latihan tidak akan berhenti sebelum salah satu dari mereka yang berada dalam lingkaran mengaku kalah, hanya sebatas itu pengetahuan Antasena untuk latihan itu. Dia membayangkan, bagaimana jika ibunya tiba-tiba mengizinkannya untuk menjadi salah satu dari mereka, "bukankah itu hebat ?", pekiknya.

(Sources : pinterest ; picture correct photography tips)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Sources : pinterest ; picture correct photography tips)

   "Tidak ada yang hebat dengan berkelahi, Sen. Orang-orang lebih menghormati siapapun yang pandai berdiplomasi,"

   Antasena menoleh, menatap ibunya yang sedang mengeringkan rambut, "kenapa ibu tidak mengizinkanku menjadi bagian dari mereka ?"

   "Apa hebatnya ? Seorang Antasena anak dari Juang Dewangga berkelahi ? Tidak akan ada yang tebelalak saat mendengarnya, bahkan semua orang tau bakat berkelahimu itu naluri,"

   "Tapi, bukannya dulu ayah juga berguru dengan Ki Semar ?"

Rahmawati hanya menggeleng kuat, menghela napas dengan kuat, "justru karena itu, ayahmu mati dengan cara yang tidak manusiawi, kau paham ?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AntasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang