Ekhem. Aku gak tau prompt acak kek gini maksute opo, tapi sebagai penulis yang fair dan tidak culas, maka yok, lah. Aku akan tulis apa pun yang aku mau. Gak mirip gak papa, ya. Hehe.------
"Nat, tumben hari ini panas banget, ya?"
Gian mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah, berteduh di pepohonan rindang tak jauh dari rumah penduduk. Saat ini mereka berdua sudah berhasil bermigrasi ke pulau lain setelah berdarah-darah bekerja jadi kuli angkut supaya dapat uang untuk naik kapal. Padahal sejujurnya Gian sudah bilang bahwa lebih baik jadi imigran gelap saja, numpang kapal di bagian penyimpanan minyak bumi sampai tujuan, tetapi Natakala menolak. Padahal kalau begitu kan lebih cepat dan praktis.
"Aku gak gerah sama sekali," sahut Natakala. Laki-laki itu sudah berganti pakaian atasnya yang kusut dengan pakaian katun bersih—diberikan ibu-ibu random yang terpesona dengan kegantengannya. Gian merebahkan diri di tanah, merasakan sepoi-sepoi angin yang menjilat kulitnya. "Hah, kau ini masa sepanas ini tidak panas."
Natakala menghela napas. Dia lalu pergi meninggalkan Gian karena Demi Tuhan! Gian itu sangat banyak bicara. Rasanya kedua telinga Natakala seperti berdenging mendengarnya.
"Nat, mau ke mana?" tanya Gian. Natakala tidak menjawab, laki-laki itu berlalu seakan-akan Gian tak pernah ada di sana. Gian mengepalkan tangan. Sialan!
Karena harga dirinya terasa terluka diabaikan tidak hormat seperti itu, Gian langsung berlari dan menarik kerah bagian belakang Nata, hingga laki-laki itu berhenti berjalan. Natakala memprotes perlakuan Gian yang sama-sama tidak sopan itu dengan emosi.
"Ngapain, sih? Mau ribut?" Natakala menjawab dengan bersungut-sungut. Dia menepuk-nepuk bajunya itu dengan sayang. Gian berdecih. "Siapa suruh gak jawab pertanyaanku."
"Aku punya hak gak jawab pertanyaanmu," kata Natakala, "tuh, lihat. Jadi dekil kena tanganmu."
Gian melotot. Gadis itu pada akhirnya meninggalkan Natakala dan berlari ke tukang es seperti anak kecil yang kehausan. Natakala masih menatap Gian kesal, tetapi dia ikut bersinggah di warung teduh yang menjual es es kelapa.
"Berdebat denganmu itu menguras energi," kata Gian, "aku sudah kehilangan setengah ion tubuh, tahu."
"Itu bukan tanggung jawabku."
"Ternyata kau punya bakat membuat orang kesal juga, ya."
Natakala mengangkat bahu, masih jengkel karena baju putihnya ada noda debu yang tidak bisa hilang. Kalau begini, lama kelamaan bajunya akan berubah coklat dan rombeng lalu pada akhirnya menyerupai masyarakat pedalaman. Yah, tidak menutup kemungkinan karena untuk minum saja sulit, apalagi untuk mencuci baju. Natakala perlu berpikir dua atau jutaan kali.
Gian yang menyedot air kelapanya memperhatikan Natakala yang terdiam dengan rasa bersalah. Harusnya memang Gian tidak melakukan hal menyebalkan seperti itu.
Pada akhirnya Gian mengalah. "Kalau kau mau baju lagi, aku sepertinya bisa berbagi denganmu."
Natakala mendelik. "Kau anggap aku apa sebenarnya? Aku ini laki-laki," katanya sewot, "kau mau aku memakai pakaian femininmu seperti lady boy, hah?!"
"Hah, kurasa udara di sini makin panas semenjak kau buka mulut, Nat."
"Napasmu itu mungkin, seperti naga."
"Brengsek kau."
Tidak ada perbincangan lagi, karena keduanya sama-sama sedang meredam emosi. Setelah menghabiskan esnya, Gian bersuara.
"Kau berharap aku akan ganti rugi, kan?"
"Ya lebih baik begitu."
"Aku akan mengganti kaosmu. Nanti kalau aku nemu."
"Kau pikir aku mau menerima kaos pulungan?!"
Gian menghela napas, dia akhirnya meninggalkan Natakala yang masih sewot. "Sudahlah, Nat. Meskipun pakaianmu kotor kurasa tidak akan mengurangi pesonamu itu."
"Jangan mengejekku!"
Gian tak menjawab. Gadis itu berlalu meninggalkan Natakala, sementara raut wajah laki-laki itu melembut. Ya memang benar. Mau pakai baju bolong-bolong pun, Natakala tetap tampan. []
KAMU SEDANG MEMBACA
PANCAKARSA
FantasyLituhayu Giangauri, gadis yang hobinya makan seafood itu harus menerima kenyataan pahit di umurnya yang ke-20 tahun dikarenakan semua air laut tercemar. Krisis air merajalela di seluruh pulau Bimala. Mau tidak mau, Gian harus bermigrasi ke Pulau Aru...