"Kita ini gelandangan sekarang."Aku berdecak jengkel sambil membersihkan daerah tempat tidurku yang kotor. Setelah insiden aku dilempar dari kapal waktu itu, pada akhirnya kami terpaksa harus bermukim di pulau miskin tak bernama untuk menghangatkan tubuh. Ada beberapa orang setempat yang mendiami pulau ini, tetapi sepertinya tak begitu ramah karena ketika ditanya di mana tempat untuk menemukan kapal, mereka hanya berlalu sambil membawa kelapa yang dipanen dari pohonnya.
"Pokoknya kita harus menemukan kapal!" ucap Natakala. "Aku tidak mau tidur nomaden seperti ini terus, apalagi denganmu."
"Mulutmu itu loh," kataku, berusaha menahan emosi. "Tidak ada yang memaksamu untuk tidur di sampingku, Bodoh."
Natakala berkomat-kamit seperti mengimitasi gelagat bicaraku barusan. Dengan kesal kutoyor kepalanya. "Kau kan bisa pergi bersama rombongan Si Botak. Jangan mengasihani aku. Aku ini mandiri."
"Kau hampir bermutasi menjadi siren karnivora waktu itu. Aku juga secara tak sengaja ikut dilempar waktu itu," katanya. "aku ini sangat terpaksa bersamamu saat ini."
"Aku akan bertepuk tangan kalau kau memberiku alasan yang bagus, Nat," ucapku sebal. Aku kemudian membuat gumpalan-gumpalan besar dari kain kotor yang kutemukan secara asal untuk mengganjal kepalaku. Langit dengan bulan penuh yang terlihat jelas di atas sana, menjadi saksi kali ke sekian bahwa Gian dan Natakala adalah gelandangan agung yang sudah berbaring di setiap inci bumi. Kami berdua memang sudah sepantasnya mendapatkan gelar seperti itu.
"Hei," Natakala bicara lagi, sambil melemparkan daun kering kepadaku. "Cuaca hari ini sedang dingin."
"Aku tidak mau memeluk orang gila sekarang."
Natakala melotot. "Bukan maksudku begitu," katanya, "ayo buat api unggun."
Aku mengeluh, "Kau saja, lah. Aku tidak mau buang-buang waktu untuk menggesek batu," ucapku sambil berbaring di tanah berumput, membiarkan tubuh meringkuk seperti udang di balik batu. Sekarang bedanya aku tidak dibalik apa-apa.
Natakala berdecak. Dia pada akhirnya ikut berbaring setelah berkali-kali mengeluh. Dia memunggungi lu, punggungnya bersinggungan dengan punggungku. Aku baru saja akan terlelap tidur, karena demi Tuhan! Siang hari ini kami—tidak—aku berusaha keras mencari makanan di hutan. Apapun, lah. Yang enak-enak.
"Kau mau menyerah, Gi?" Natakala tiba-tiba berusaha. Aku belum menjawab, masih ingin mendengar dia akan bicara apa lagi. "Kau tahu, kita tidak bisa hidup tanpa air. Kita tidak mungkin hidup mengandalkan air dari pohon. Pun sepertinya buah berair yang kita konsumsi sudah tercemar juga," katanya. "Kita sudah tercemar juga."
"Manusia makhluk yang mampu beradaptasi, Nat. Kalau tidak mampu, yah paling mati," ucapku enteng. Natakala bicara lagi. "Kau mau jadi hewan memangnya? Manusia baru bisa dikatakan manusia kalau memang bertingkah laku seperti manusia."
"Ucapanmu membuatku semakin ngantuk, Nat."
Natakala duduk, melihatku dengan emosi. "Kau tidak mengerti, ya?!"
"Ya memang tidak mengerti."
Natakala memijat pelipisnya. "Aku terkadang ingin bodoh saja sepertimu, Gi. Supaya tidak banyak pikiran."
"Nat, lidahmu cocok sekali kalau kupotong ujungnya."
Natakala terdiam. Tak ada perbincangan lagi. Kupikir dia sudah tidur, tapi ternyata tidak.
"Aku kedinginan, Gi. Hangatkan aku. Tolong."
Aku melotot. Gila, ya.
Karena aku tidak membalas, Natakala bicara lagi. "Gi, nanti ku hangatkan juga."
"Kau sinting, ya? Aku tidak kedinginan!"
Natakala diam saja. Dia langsung memelukku dari belakang. "Aku akan menganggap mu boneka panda besar malam ini. Jangan banyak berlagak."
"Menjauh dariku!"
"Kau akan kehilangan teman cerewet kalau membiarkan aku kedinginan, Gi. Aku udah menggigil, lho."
Aku melihat tangan Natakala yang di pinggangku. Tangannya terasa dingin.
Dengan berat hati, aku menghela napas. "Terserah kau saja, lah!"
Natakala tertidur duluan malam itu. Sementara aku masih terjaga dengan tubuh kepanasan. Gila, aku berdebar semalaman. []
-----
January, 8 2023
Oisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANCAKARSA
FantasiaLituhayu Giangauri, gadis yang hobinya makan seafood itu harus menerima kenyataan pahit di umurnya yang ke-20 tahun dikarenakan semua air laut tercemar. Krisis air merajalela di seluruh pulau Bimala. Mau tidak mau, Gian harus bermigrasi ke Pulau Aru...