1. Anti Sosial

122 16 9
                                    

┉┉┅┄┄┈•༶✹༶•┈┄┄┅┉┉

'Kamis, 28 Februari', itulah yang tertera pada kalender Masehi. "Besok udah 19 tahun, ya," gumam Febar dengan tatapan kosong. "Hmm ... ya udah." Dia tampak biasa saja ketika mengetahui hal itu.

Padahal, Febar sengaja dinamakan sesuai bulan kelahiran, agar selalu memperingati hari ulang tahun. Namun, Febar lahir pada tahun kabisat. Yaitu, 29 Februari. Sementara tanggal tersebut hanya muncul setiap empat tahun sekali, dan tidak pula ada tahun ini.

Setelah membalik lembar kalender ke bulan Maret, Febar beralih menatap pantulan dirinya di cermin. Bibir pucat pasih, serta kantung mata yang begitu kontras. Dia mendengus, seraya mengenakan tudung hoodie untuk menyembunyikan wajahnya.

Febar ragu akan sanggup menghadapi tatapan mereka 'lagi', sebab dia akan menjemput sang adik pulang dari bermain. Setelah merenung cukup lama, barulah Febar memutuskan keluar. Jaraknya cukuplah dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Ketika sudah sampai, suasana taman masih ramai pengunjung. Salah satu keluarga asyik mendorong ayunan untuk putri kecilnya. Tawanya yang lepas, seolah tersalurkan kepada orang-orang. Namun, Febar justru merasa terusik di tengah keramaian. Dia ingin menemukan Elakshi dan bergegas pulang.

Setelah melewati perosotan, jungkat-jungkit, dan alat rekreasional lainnya, Febar berhenti di sebuah labirin. Tepat di penghujungnya, ada sebuah tubuh mungil yang menempelkan punggung di antara dinding tumbuh-tumbuhan itu. Febar segera menghampiri, ketika menyadari itulah sosok yang sedari tadi dicari. "Ayo pulang."

Elakshi tampak terkesiap. Namun, dengan segera dia mengambil kesadaran, kemudian menyanggah, "Gak mau! Tunggu permainan petak umpet-nya selesai dulu." Dia pun memasuki labirin, untuk mencari tempat persembunyian yang lebih baik.

Febar mendengus. Lantas menyusuli Elakshi yang berlari dengan lincah, hingga rambut kepang duanya merubai-rumbai tersibak angin. "Gak baik buat anak kecil masih keluyuran jam segini, loh," suara Febar tampak tertahan. Dia pusing dengan tempat berliku-liku semacam ini.

Sementara Elakshi menggeleng pelan, dan malah mempercepat lajunya yang terpisah dua sekat dengan Febar. Hingga tanpa sengaja, Elakshi menabrak seseorang. Sontak, dia berhenti melangkah, kemudian dengan ragu-ragu mendongak untuk memyelisik.

Itu adalah pasutri, yang tengah mengajak anak sebayanya berjalan di sekitar labirin. Febar pun dengan enggan menemuinya, untuk sekadar menampakkan rasa tanggung jawab. Walau dia agak malas berurusan dengan seseorang. Terlebih, ketika beradu pandang, sang pria tampak 'tak asing.

Agas menyisihkan tubuh mungil Elakshi dengan lembut, kemudian beralih menatap sinis ke arah Febar. "Masih ngurus Adik, ya, Feb?" dia bertanya dengan gelak tawa kecil di penghujung kalimat. Walau Agas cukup sopan dalam menyikapi anak kecil, tetapi mulutnya tidak bisa dijaga.

Agas menyindir Febar yang pengangguran, dia memang hidup dengan mengandalkan gaji pensiunan sang papa. Terlebih, Febar adalah orang yang anti sosial. Kebetulan, keduanya sempat satu kelas semasa SMA. Hanya saja, di akhir kelas XI, Agas putus sekolah karena kawin lari. Dan itulah, buah hati kecil mereka.

Selama perhatian Febar teralihkan oleh keberadaan Agas, Elakshi mencuri kesempatan dengan melangkah perlahan hendak kembali untuk bersembunyi. Namun, Febar cukup peka dengan pergerakannya, dan spontan menghardik keras, "Ela, kita pulang sekarang!" 

Mendapat tanggapan demikian, bola mata Elakshi kian berkaca-kaca. Dia bergeming dengan tubuh yang bergetar, merasa takut jika sudah menghadapi Febar saat dalam amarah. Bahkan, Elakshi tidak berani menatap langsung ke dalam iris matanya.

Suara Febar yang cukup keras, menyita perhatian orang banyak. Bahkan, sang pemain jadi langsung mengetahui di mana keberadaan Elakshi. Febar merutuk. Karena kehilangan kesabaran, dia justru menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian.

Ingin menyudahi semuanya, Febar maju beberapa langkah ke hadapan Agas. "Bukan berarti kamu lebih baik dari aku," pungkasnya seraya menggendong Elakshi. Sementara Agas hanya berdecak, sembari menyaksikan punggung Febar yang kian terhalau sekat labirin.

Sedari di perjalanan, Elakshi terus meracau, sambil memukul pundak Febar dengan kepalan mungilnya. Namun, Febar 'tak menggubris. Hingga saat sampai di rumah, barulah dia diturunkan dari gendongan.

"A-aku gak mau jadi anak kecil lagi," ujar Elakshi dengan terisak-isak, seraya bersembunyi di balik tubuh sang mama. Dia kembali memekik, "Aku mau jadi dewasa!" Elakshi ingin mengatur hidup sendiri, tanpa harus dibentak-bentak.

Harsa beralih menyeka air mata sang anak, sambil mengelus pundak Elakshi agar tangisnya kian reda. Sementara sorot matanya diarahkan kepada si sulung. Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang mama, Febar menjawab isyarat mata tersebut, "Ela keras kepala, Ma."

"Wajar. Ela masih kecil, Feb," bela Harsa. Sekarang, anak perempuan itu sudah tidak menangis lagi. Hanya tersisa tarikan hidungnya yang melar.

Febar tersenyum getir, kalimat itu lagi. Padahal, Febar juga seumuran dengan Elakshi--masih anak berusia empat tahun. Karena selama melewati 19 tahun kehidupan, Febar baru merasakan tanggal 29 Februari sebanyak empat kali. Jadi sebetulnya, dia hanyalah orang besar, yang berusia anak-anak.

Tidak mau ambil pusing, Febar berlalu menuju kamar. 'Tak peduli dengan panggilan Harsa, dan terus melanjutkan langkahnya. Ketika sudah sampai, dia merebahkan tubuh di kasur seraya mengembuskan napas berat. Secara fisik, dia baik-baik saja. Hanya batinnya yang lelah.

Elakshi tidak tahu betapa rumit menjadi dewasa. Justru, Febar ingin kembali menjadi anak umur empat tahun secara harfiah. Karena kehidupan selama 19 tahun yang telah dilewati, selalu tidak seperti harapannya. Febar gagal menuju usia dewasa, di kehidupan yang memasuki fase dewasa.

Selama Febar melamun, tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Sedari tadi Harsa mengetuk pintu kamar, hendak mengajak makan bersama. Namun, Febar justru menutup telinga dengan bantal, agar suara tersebut 'tak terdengar lagi.

Febar berharap dapat melupakan segalanya, dan tetap terjaga dalam tidur. Dia ingin merasakan mimpi yang nyata, kerena realita selalu tidak sesuai dengan ekspetasinya. Febar pun mulai menghitung domba agar segera terlelap.

"... 1023, 1024, 1025 ...," sudah sekian ekor yang terhitung, tetapi tetap saja dia tidak bisa terlelap. Kegelisahan yang melanda dalam dirinya, membuat Febar berjouska, "Ayolah ... tidur, tidur!" perbincangan dalam pikirannya dengan diri sendiri itu, terus diulang berkali-kali.

Sebuah pendar kuning kehijauan, kelap-kelip di antara suasana kamar nan temaram itu. Titik-titik cahaya tersebut masuk di antara bantal dan selimut, hal itu membuat Febar merasa silau. Dia mengeluh dalam hati, "Apa lagi ini? Segitu susahnya cuma buat tidur nyenyak ... ya ampun."

Dalam keadaan setengah sadar, Febar mengibaskan tangan untuk mengusir sang pengganggu. Namun, titik cahaya itu justru semakin banyak menghampirinya. Febar pun mengucek mata, untuk memastikan wujud sejati dari sesuatu yang tengah mengusiknya.

Ketika diperhatikan lamat-lamat, itu adalah jutaan kunang-kunang. Sinar yang dipancarkan dari tubuhnya dalam udara terbuka, bagai sebuah sihir. Oleh karena itu, sang adik sering menyebutnya sebagai Kumbang Penyihir, karena sihir alami yang dimiliki.

Kunang-kunang bersinar, sebagai simbol untuk saling mengenali. Sementara pendar kelap-kelipnya, sebagai pertanda peringatan. Sedikit memehamai penalaran tersebut, Febar pun mengikuti onggokan kunang-kunang, yang terbang dengan menyala-nyala di antara kegelapan.

┉┉┅┄┄┈•༶✹༶•┈┄┄┅┉┉

Anti Sosial--Selesai

@shima_alqie
Minggu, 29 Januari 2023.

Kumbang Penyihir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang