sepuluh

1K 129 28
                                    

Sepuluh

Parta
Kamu bisa tanya dulu kalau itu semua gak bener dan hanya asumsi bebasmu, gimana?

Utari menatap balasan yang tiga puluh menit lalu masuk ke gawainya. Gadis itu baru saja membuka pesan teman onlinenya setelah mengerjakan tugas sekolahnya.

Jempol gadis itu menari di atas keyboard dan menimbulkan ketukan pelan seiring intensitas kalimat yang diketikkan.

Me
Sudah. Aku sudah menanyakan hal itu. Meski gak langsung menuduh, hanya bertanya saja. Tapi bahkan pesanku satu jam yang lalu yang menanyakan keadaannya hari ini belum dibalas.

Utari kembali membuka ruang chatnya dengan Abi. Menggulir layar ke atas membaca satu persatu pesan yang sejak dua tahun lalu tak pernah dia bersihkan. Pesan-pesannya masih tersimpan meski bila dirunut lebih jauh, semakin ke bawah balasan yang dia terima semakin lama semakin jarang. Bahkan ada yang dalam sehari pesannya tak mendapatkan balasan. Dan itu cukup banyak. Setelah kenaikan kelas tiganya chat Abi seperti sebuah hal yang langka.

Tari ingat, libur semester kemaren Abi memang pulang. Bersama dengan Linggar dan salah satu temannya yang bernama Bayu. Lelaki itu mengenalkan teman barunya yang rupanya masih satu provinsi dengannya. Bedanya pemuda itu tinggal di kota.

Pemuda itu hanya menginap satu hari di rumah Abi. Dan selama itu pula, Utari menyembunyikan diri di rumahnya. Selain malu bertemu dengan teman baru Abi, kenyataan jika pertunangan mereka baru diketahui Bayu yang itupun saat ibu Padma mengenalkan dirinya membuat Utari merenung. Apakah Abi merasa malu memiliki tunangan di usia muda?

Namun pikiran buruk itu segera dia tepis jauh-jauh. Utari mungkin terdengar muna meski sudah tahu perubahan sikap Abi, gadis itu masih berharap jika Abi akan kembali seperti dulu lagi.

Entah sudah keberapa kali gadis itu menghela napas. Terlalu banyak beban di dadanya yang kian sesak bila mengingat perubahan Abi membuatnya hampir ingin menyerah. Hampir. Tapi seolah seperti diingatkan, hubungan ini membawa nama keluarga, bukan hanya dia dan Abi semata. Bagaimana bisa Utari membuat ibu Padmi sakit hati akibat keputusan gegabahnya itu?

Me
Mungkin dia sibuk kali ya, Ta.

Dari pada memikirkan hal yang belum benar, mending aku belajar kali ya, Ta. Siapa tahu kan itu bisa mengalihkan pikiranku?

Belum ada jawaban. Utari kembali bangkit menuju meja belajarnya dan mengambil buku paket tentang persiapan tes masuk universitas. Dia tak yakin bisa masuk lewat jalur undangan, apalagi tujuannya kampus yang sama dengan Abi yang mayoritas orang-orang berprestasi, seperti Dinda dan Gema misalnya. Dan orang seperti Utari yang menempati range tengah-tengah harus lebih ekstra lagi belajarnya.

Parta
Telfon apa SMS?

Utari terdiam sebentar. Matanya berkedip tanda sedang berpikir menimbang tawaran temannya itu.

Me
SMS aja ya, kamu tidur malam apa udah siap-siap?

Parta
Malam. Ada tugas juga soalnya. Mau ditemani?

Seulas senyum seketika menghiasi bibir Utari. Gadis itu tak henti-hentinya merasa bersyukur atas kehadiran Parta yang meski tidak pernah dia temui secara langsung, pun bentuk rupanya, tetapi laki-laki--karena sudah beberapa kali mereka berhubungan lewat telepon--itu kerap membantunya, menjadi teman curhatnya, bahkan salah seorang yang selalu mendukungnya.

Parta.

Entah nama samaran atau memang nama sungguhan. Utari tidak tahu. Insiden salah kirim pesan yang dia lakukan dua setengah tahun lalu sewaktu mengira jika itu nomor baru Abi, ternyata dibalas sang pemilik nomor. Percakapan pun berlanjut. Apalagi saat itu Utari sudah menceritakan semua keluhannya dalam bentuk SMS ke orang tersebut.

KeliruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang