dua puluh empat

776 103 30
                                    


Dua puluh empat




Utari mengambil napas panjang usai bercerita banyak hal pada perempuan di depannya. Matanya bergetar bimbang sesaat menyadari tak ada satupun respon yang keluar dari mulut temannya itu. Helaan napas terdengar kasar, pun decakan keras menyusul kemudian. Semakin membuatnya gugup tak karuan di bawah tatapan penuh penghakiman Dinda.

"Apa? Kamu ngarep aku gimana? Bersorak sorai terus ngasih kamu ucapan selamat gitu karena setelah lima tahun akhirnya ketemu mas Abi lagi? Iya?"

Kan, belum apa-apa udah menghakimi seperti ini. Yang ngotot minta diceritakan juga siapa.

"Ya... Aku udah ekspekt sih kamu bakal gini."

"Nah itu tahu!" serobot Dinda dengan nada ketus. Raut kesal sekaligus garang menghiasi wajah cantik Dinda yang kini semakin mahir mengaplikasikan berbagai macam brush dan segala macam make up ke wajahnya. Menjadi salah satu beuty vlogger terkenal merupakan bonus dari keisengan perempuan itu karena senang me make over wajah cantik nan tegas yang dia miliki.

"Kalau-kalau kamu lupa, kamu yang minta aku untuk cerita," ujar Utari dengan nada memperingatkan jengah.

"Halah, aku cuma minta kamu cerita acara di mbak Mimi, eh lha kok endingnya ada si Bangcat itu, bahkan seminggu lalu abis dari rumahmu? Gila gila, Gema harus tahu ini kalau temannya otw bulol lagi."

Kini, gantian Utari yang berdecak tak suka dengan kalimat terakhir yang dilontarkan temannya itu. "Mulutnya kayak belum pernah diselamati aja," gumamnya pelan meski cukup didengar oleh Dinda.

"Huum. Syukurnya otak dan pikiran udah, jadi gak bodoh-bodoh banget," timpal Dinda penuh kepuasan begitu Utari kalah telak tak bisa membalasnya.

"Katamu dia ke rumah ketemu om Rama dan tante Dewi. Gimana itu?" Disela kunyahannya, Dinda berusaha tetap waras meski pikirannya sudah mengumpulkan banyak kosa kata kasar yang ditujukan untuk Abi.

Utari mengedikkan bahunya santai, perempuan itu nampak berpikir lalu menggeleng pelan seperti meragu. "Gak tahu juga. Jadi, kan pas kita sampai rumah, ayah lihat tuh ada mas Abi ngikut masuk karena Mas Ta udah nyilahkan. Nah, pas aku ke dapur niat minum baru tuh bicara sama bunda karena bunda tanya ada siapa gitu. Aku jawab mas Abi. Tak lama mas Ta datang terus ngajak aku nyari makan siang. Mana buru-buru, aku belum ganti baju juga masih pakai kebaya dari nikahan mbak Nila--"

"Tar, aku minta penjelasan kedatangan mas Abi gimana, bukan kronologi kebaya cantikmu itu," protes Dinda yang merasa cerita Utari terlalu jauh untuk penjelasan yang dia minta.

Mendelikkan mata kesal, Utari memberi peringatan pada Dinda kalau dia juga ingin menjelaskan. "Jadi lanjut gak nih?" tanyanya kesal.

"Ya jadi, kamu minta kita ketemuan juga niatnya ini. Cepat, jangan bertele-tele!"

"Ckckck, menyebalkan."

Meski begitu Utari tetap menceritakan kepergiannya dengan Tirta mencari makanan.

"Beli banyak banget, Mas?" Utari menatap sangsi pada kantong kresek yang berada di masing-masing tangan Tirta. Terlalu banyak bila dimakan untuk mereka berlima--itupun kalau Bhumi belum tidur siang.

"Ada Abi juga, Tari, bunda kebetulan tidak masak karena mengira kita udah makan di sana tadi. Rencananya tadi mau pesan saja."

Utari mengikuti langkah Tirta yang nampak sengaja dilambatkan. Kaki panjang Tirta melangkah kecil-kecil dengan mata fokus pada gawainya. "Nih, bawa dulu." Perempuan itu menerima todongan asal Tirta dengan bibir mencebik kesal.

KeliruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang