KA - 22

224 24 6
                                    

Dengan napas terengah-engah, Aru berlari menyusuri koridor sekolah, seharusnya dia mendengarkan kata Arya untuk tidak mengantarnya ke terminal, tapi Aru tetap keras kepala, itu karena dia masih merindukan abang satu-satunya yang ternyata sudah tumbuh uban meski hanya dua helai.

Aru berhenti tepat di depan pintu kelasnya yang sudah tertutup. Berhasil melewati satpam dan osis yang sedang piket, tapi Aru tidak yakin dengan guru yang kini sedang mengisi pelajaran pertama di kelasnya. Bu Wati, guru killer yang memiliki perawakan nyaris mirip dengan tokoh kepala sekolah di serial kartun anak kembar berkepala plontos. Jadi sudah dapat di tebak bagaimana gemetarnya tubuh Aru saat ini ketika dia berhasil mengetuk pintu kelasnya.

Selintas dia menyesali perbuatannya, kenapa dia tidak memilih bolos satu pelajaran saja, di bandingkan harus kena omelan Bu Wati, namun terlambat, kacang kedelai sudah menjadi kecap.

Pintu terbuka, keringat yang mengucur di dahinya, seakan berubah menjadi air terjun. Tampak Bu Wati menyorot tajam pada Aru, sementara yang di tatap tersenyum sungkan, percayalah, saat ini jantungnya sudah berdegup kencang.

"Selamat pagi, Bu, maaf saya terlambat." Suara Aru bergetar efek ketakutan, mengalihkan pandangan, Aru memilih menunduk di banding bertatap muka langsung dengan Bu Wati, nyatanya saat ini lantai jauh lebih menarik di bandingkan Bu Wati.

"Lari 10 kali lapangan, setelahnya hormat pada tiang bendera sampai pelajaran saya usai." 

Aru menyunggingkan senyumnya, dia bergegas pergi guna menjalankan hukuman, setidaknya dia tidak mendengar amukan Bu Wati.

Dengan berlari kecil Aru mengitari lapangan sekolah yang sialnya sangat luas. Kesialan itu tidak berakhir juga, sekelompok siswa dan siswi berpakaian olahraga memasuki lapangan. Tanpa sengaja mata Aru bertemu tatap dengan mata Candra, dan saat itu juga Aru merasa kesialannya di hari itu kian bertambah.

"Wih, ada cewek lusuh lagi kena hukuman nih." Samar-samar Aru mendengar suara Willy, lelaki dengan mulut lemesnya. Ingin sekali Aru memasukkan berkilo-kilo cabai ke dalam mulutnya. Sangat menyebalkan.

Putaran terakhir, Aru mempercepat larinya, dia harus menyelesaikan hukuman ini, meskipun dadanya sudah berdebar akibat kelelahan.

Usai menyelesaikan hukuman pertamanya, Aru melangkah lunglai di hadapan tiang bendera, memberi hormat pada bendera merah putih yang terpasang di ujung tiang.

Aru masih mendengar suara tawa Willy yang kini di tambah dengan Daru, meskipun terlihat kalem dan datar, Daru tak kalah pedasnya dengan Willy kalau sudah bicara.

Aru mencoba mengabaikan dua lelaki yang masih mengolok-oloknya, pikirannya kini tertuju pada Candra, lelaki yang masih berstatus kekasihnya itu tampak tak acuh dengan Aru, padahal wajah Aru sudah merah akibat kepanasan dan kelelahan.

"Aru." Panggilan itu mengalihkan pandangan Aru dari bendera ke sumber suara. Tampak Kevin menghampirinya dengan membawa air minum dalam kemasan botol di tangannya.
Aru tersenyum, namun tak juga menurunkan tangannya yang sedang hormat.

"Kamu kenapa, Aru?" Kevin terlihat khawatir, rasanya Aru ingin tertawa melihat wajah khawatir Kevin yang menggelikan.

"Biasalah, kena hukuman Bu Wati," jawab Aru masih menampilkan senyumnya.

"Aku bawa minum, kamu mau minum?" Tawar Kevin, Aru memperhatikan botol minum kemasan di tangan Kevin. "Aku baru membelinya, Aru, belum di buka."

Ah, sepertinya Kevin bisa membaca pikiran Aru. Merasa tidak enak, akhirnya Aru menolak. "Bukan begitu, gue bisa kena marah Bu Wati kalau ketahuan minum sementara gue lagi di hukum," kilahnya.

"Nggak apa-apa, kok, Aru. Bu Wati juga nggak lihat. Ayo, minum dulu Aru, wajahku sudah memerah begitu."

Aru tetaplah Aru, gadis keras kepala itu tetap bersikeras menolak bantuan Kevin. Sudah terlanjur berbohong, hingga dia harus terjebak dalam kebohongannya.

"Nggak usah, Vin, gue baik-baik saja, kok. Mendingan lo masuk kelas gih sana, nanti yang ada lo kena hukuman juga."
Kevin terlihat enggan, namun paksaan Aru membuatnya sulit untuk menolak.

Sementara itu Candra, Daru dan Willy yang sedang melakukan pemanasan, tampak memperhatikan interaksi antara Kevin dan Aru.

"Cewek lo berani banget ya, deket sama cowok lain sementara lo ada di sini," ujar Daru seraya meregangkan otot-otot tangannya.

"Mereka serasi loh, sama-sama jelek," celetuk Willy. Candra hanya diam saja, sungguh dia tidak peduli dengan pembicaraan teman-temannya, apa lagi pemandangan yang kini terlihat menjijikan di matanya.

"Kayaknya cewek lo itu gak sebaik yang lo kira deh." Kali ini Daru kembali membuka suara, membuat Candra sempat meliriknya sekilas. "Gue punya buktinya, nanti gue bakal kasih liat lo."

Mendengar itu, Willy jadi heboh sendiri. " Apaan sih? Gue penasaran."

"Nanti lo juga tau, yang jelas sebaiknya lo putusin Aru deh, Dra."

"Gue lagi males bahas ginian," sahut Candra.

"Ayolah, temen kita udah punya bukti kebusukan cewek lo, masa iya lo gak ada tindakan apa pun?"

"Kita masih belajar, Will, jadi gak perlu bahas sekarang."

"Setidaknya respon lo ya gak sedingin itu, lo hargailah kerja keras Daru yang kasih lo bukti kebejatan Arunika."

Candra menghentikan kegiatannya, dia menatap Willy dengan sorot mata tajam. "Lo udah liat bukti yang Daru bilang?"

"Belum, tapi setidaknya-"

"Lo belum liat tapi udah banyak bacot, tentang gue dan Aru, itu jadi urusan gue, lo jangan terlalu banyak ikut campur." Candra berlalu begitu saja setelahnya, hal itu membuat Willy tidak terima, hingga akhirnya matanya tertuju pada bola volly, dengan cepat dia mengambil bola tersebut dan melemparkannya dengan kencang ke arah Aru.

Aru menatap kepergian Kevin dan Candra yang berjalan ke arah yang sama, namun tak lama dari itu kepalanya di hantam bola dengan keras, rasa pusing yang semulanya sudah Aru rasakan, kian menjadi ketika kepalanya terbentur dengan bola. Pandangannya seketika berkunang-kunang, hingga terganti dengan kegelapan, Aru pingsan.

***

Candra menatap Willy yang sedang menunduk dalam dengan tajam. Candra mengetahui Willy berulah dengan kekasihnya.

"Gue kebawa emosi, sorry."

Candra menghela napas. "Jangan kebiasaan kayak gitu, lo kalau emosi suka ke mana-mana."

"Iye, sorry."

"Sekarang gimana keadaannya?" Willy mendongakkan kepalanya. Dia baru ingat jika Candra tidak sedikitpun menolong kekasihnya saat jatuh pingsan tadi karena ulahnya. Menyadari hal itu Willy merasa menang, setidaknya dia tau jika sahabatku benar-benar tidak mencintai Aru.

"Udah di bawa ke UKS."

Tak lama dari itu, Daru datang, dengan minuman soda di tangannya. Dia duduk di samping Willy lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada Candra.

Candra mengernyit, namun dia tetap menerimanya, hal yang pertama dia lihat adalah potret depan rumah Daru, lebih tepatnya kontrakan milik Oma Tuti, namun matanya memicing saat dia menemukan objek yang tak asing baginya.

"Ini?"

"Aru dan cowok asing, setelah gue ambil gambar itu, Aru bawa cowok itu ke dalam rumahnya."

"Gila, zinah tuh mereka." Willy kembali heboh.

"Jadi lo masih mau mempertahankan cewek murahan itu? Yakin? Nama lo bisa tercoreng loh." Hasut Daru.

Candra meremas ponsel Daru, dia beranjak pergi setelahnya. Sementara Daru dan Willy bertos ria. Daru tersenyum licik, setidaknya rencananya akan berhasil, melihat Aru dan Candra putus.

***

Jangan lupa komen dan like ya guys :)

Kisah ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang