KA - 25

262 47 11
                                    

Kevin menghentikan motornya tepat di depan kontrakan Aru, Aru melambaikan tangannya setelah dia berhasil turun dari motor Kevin. Namun tampaknya lelaki itu enggan pergi, mengingat Aru tampak berantakan saat ini, mata yang sembab dan merah, hidung yang merah dan bibir yang kering.

Entah apa yang gadis itu lalui hari ini, Kevin tau, itu bukan karena hukuman yang Bu Wati berikan padanya, tapi ada hal lain yang lebih menyakitkan. Sayangnya Aru tak ingin bercerita padanya, dia memilih memendamnya sendiri. Padahal Kevin di sini ingin menjadi teman pendengar yang baik untuknya.

"Loh, kok, gak pulang?"

"Kamu usir aku?" Kevin berpura-pura memasang wajah sedih, membuat Aru tertawa nyaring.

Kevin memperhatikan Aru, tawa itu yang membungkus rapi kesedihannya, agar orang lain tak melihat kesedihan itu.

"Lo mau apa emangnya? Nanti juga ketemu lagi di tempat kerja, keseringan ketemu gue bisa buat lo bosen," kata Aru di susul dengan tawa kecilnya.

"Nggak bosen, kok." Kevin tersenyum simpul. "Aku cuma mau tau keadaan kamu, maaf, aku nggak sempat jenguk kamu di UKS tadi." Kevin menampakkan wajah bersalahnya.

Aru memandang Kevin, meskipun penampilannya jauh dari kata keren, dan dapat di sebut kuno, tapi Kevin jauh lebih baik dibandingkan Candra. Mengingat lelaki itu, membuat dada Aru terasa sesak.

"Yaelah, di kira gue sakit sekarat apa, sampai di jenguk segala." Aru kembali tertawa. Tawa yang terdengar parau di telinga Kevin.

"Aru, kalau ada apa-apa, cerita sama aku, ya. Mungkin aku gak bisa membantumu, tapi aku bisa, kok, menjadi pendengar yang baik buat kamu." Ketulusan Kevin menghentikan tawa Aru, menggantikan dengan senyum tulusnya.

"Thanks, gue tau lo baik banget sama gue, tapi percaya sama gue, saat ini gue gak kenapa-kenapa, gue baik-baik aja, kok." Aru melebarkan senyumnya, menampilkan deretan giginya yang rapi.

"Iya, aku percaya."

"Ya sudah, sana pulang, gue mau istirahat dulu biar nanti bisa kerja."

Kevin tersenyum sembari mengangguk, dia menghidupkan motor vespanya dengan kesulitan, namun sebelum itu, suara teriakan menggema mengejutkan mereka.

Aru dan Kevin saling bertatapan. "Itu siapa?"

"Oma Tuti!" pekik Aru, lalu bergegas berlari menuju kediaman rumah Oma Tuti. Kevin segera turun dari motor dan menyusul Aru.

Tanpa berpikir panjang, Aru membuka pintu pagar rumah Oma Tuti, mengetuk pintu utama secara berkali-kali.

"Oma! Oma Tuti!" Panggil Aru.

"Coba buka saja pintunya, Ru, kali saja nggak di kunci," ujar Kevin, yang baru menyadarkan Aru tentang keberadaannya.

Aru segera membuka pintu utama, syukurlah pintu tak terkunci, ruangan luas dengan dekorasi mewah menyuguhi pandangannya. Namun bukan waktunya bagi Aru untuk mengagumi kemewahan itu, matanya yang menangkap siluet Oma yang tergeletak di bawah tangga membuatnya bergegas ke sana.

"Oma!" Aru menggoyangkan pelan tubuh Oma Tuti.

"Aru, darah!" pekik Kevin, menyadarkan jika kepala Oma Tuti berdarah. "Sebaiknya kita bawa Oma ke rumah sakit, Ru."

"Telepon ambulnce, Vin." Dengan sigap Kevin menelepon ambulnce.

Aru membaringkan kepala Oma Tuti di pahanya, tangisnya pecah saat menyadari wajah Oma yang terlihat pucat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Oma? Batinnya.

Sungguh dia sangat menyayangi Oma Tuti, meskipun belum lama dia mengenalnya, namun Oma Tuti adalah orang baik. Dengan Oma Tuti mengingatkannya pada sosok mendiang ibunya.

"Ambulannya akan segera datang, Ru," ujar Kevin, meskipun begitu, percayalah Aru belum bisa tenang.

***

Daru berlari menyusuri koridor rumah sakit, saat mendapatkan kabar dari tetangga sekitar jika Oma telah di bawa ke rumah sakit akibat terjatuh dari tangga.

Di depan ruang ICU, Daru mendapatkan Kevin yang sedang berjaga di kursi tunggu. Sempat melihat di sekelilingnya, dia tak menemukan Aru di sana.

"Oma gue, gimana keadaannya sekarang?"

Kevin mendongakkan kepalanya. "Oma belum sadarkan diri, tapi kata dokter Oma sudah melewati masa kritisnya."

Daru bernapas lega mendapatkan keterangan dari Kevin. "Lo yang tolong Oma?" tanya Daru seraya mengambil duduk di samping Kevin dengan berjarak.

"Ada Ar-"

"Vin, ayo, kita pulang." Aru datang. Daru dapat melihat rok sekolah Aru yang terkena darah. Mungkinkah itu darah Oma? Dia ingin bertanya, namun terlalu malu, hingga dia memilih untuk diam.

"Mau sekarang?" tanya Kevin.

"Pulang sekarang aja, Vin, gue takut kesiangan kerja. Lagi pula Oma udah ada yang jagain, ayo."

"Kamu mau langsung kerja? Kamu harus istirahat, Ru, kata dokter kalau selesai tran-"

"Bawel banget deh, lo mau anter gue balik gak sih? Kalau enggak, ya gak apa-apa, gue balik sendiri."

Kevin terdiam sejenak, lalu berdiri. "Aku duluan, Dar, semoga Oma Tuti lekas sadar," ujar Kevin, lalu membawa Aru pergi dari hadapan Daru.

***

"Kenapa kamu gak bilang sama Daru kalau  kamu sudah mendonorkan darah ke Oma Tuti?" Kevin bicara sedikit lantang, mengingat mereka saat ini sedang berada di jalan.

"Gak perlu, buat apaan? Minta belas kasihan dia? Atau minta bayaran? Enggaklah, gue gak semaruk itu sama uang."

"Tapi biar dia bisa melakukan kamu lebih manusiawi lagi, Ru."

"Gak perlu, gue gak butuh itu. Gue udah cukup senang bisa bantu Oma Tuti, dan gue gak butuh balas budi dari si manusia purba itu."

"Kamu tuh, Ru." Kevin tak melanjutkan lagi ucapannya. Bagaimana bisa ada orang sebaik Arunika di zaman sekarang? Arunika memang berbeda dari gadis yang pernah Kevin kenal sebelumnya.

Lo emang orang baik, Ru, gak salah gue suka sama lo, lo memang malaikat tak bersayap. Batin Kevin.

****

Double up...

Jangan lupa tinggalkan jejak, biar aku tau siapa yang dukung Kisah Arunika ini. 😊😊



Kisah ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang