Pagi itu adalah hari terakhir sekolah aktif sebelum minggu ujian akhir. Sekolah menengah paling terkenal di kota itu nampak sibuk mempersiapkan ujian, termasuk si juara umum yang tengah mereview pelajaran sejarah yang agak sulit ia kuasai.
Gadis itu duduk di kursi paling ujung kanan, baris kedua. Rambut panjangnya ia kuncir kuda menyisakan beberapa helai anak rambut pada dahi dan tengkuk, membuat wajah mudanya makin heroik. Sinar matahari pagi yang hangat membuatnya makin tak nyata, seolah ia adalah peri suci yang baru turun ke bumi. Namun, dalam hatinya ia sedang mengutuk segala bentuk penjajahan pada negaranya yang membuat buku sejarahnya makin tebal.
Ketika Eila memasuki kelas, pandangannya langsung tertuju pada Laya, namun hanya sekilas sebelum ia berjalan dengan dagu terangkat menuju kursinya sendiri.
"Laya." Panggil seorang gadis sambil membawa buku tulisnya ke meja Laya. Seseorang yang dipanggil mengangkat wajahnya dan bertanya sambil mengangkat alis.
"Nomer 3 nya median 6,7 bukan sih?"Laya menatap pada soal yang dimaksud sejenak, mengingat jawaban penyelesaian soal latihan yang diberikan guru beberapa hari lalu. "Yap." Ia mengkonfirmasi.
"Astaga, capek." Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya sambil terus mendumal kesal.
Laya cuma tertawa kecil, lalu menatap punggung Fera yang berjalan kembali ke mejanya. Ia menunduk lagi menatap kartu meja ujian yang sudah ditempel di pojok mejanya. Kebetulan ini milik Eila, siswi cantik dan kaya yang kebetulan selalu tampak enggan berinteraksi dengannya.
Entah itu cuma ilusinya atau bagaimana, belakangan ini ia sering merasa Eila menatapnya namun ketika ia menoleh, gadis itu sibuk dengan dirinya sendiri. Kan Laya jadi takut ia kena gangguan ke PD-an. Tapi mengingat cewek itu sekarang berpacaran dengan Rio.. yah.. mungkin Eila benar-benar merasa bermasalah dengannya.
Lelah menatap deretan huruf di hadapannya, Laya berbalik, tepat untuk melihat Rara, Gigi, dan Eki yang tengah mendengarkan Elda bercerita. Bukan hal yang wah kok, cuma tentang hubungan asmara anak muda yang kebetulan tak berjalan lancar. Waktu itu kencan, lusa berantem, kemaren baikan, hari ini entah mau bacokan atau mau adu banteng sekarang sedang dibicarakan.
Laya yang kadang-kadang doang nimbrungnya tahu sedikit banyak tentang mereka, lalu ketika dimintai pendapat ia akan menjawab, "yang sabar ya, Da. Aku sih gak paham apa yang kamu rasain. Tapi kalo aku jadi kamu, udah pasti nyari yang lain sih."
Udah, abis itu Laya gak diajak ngobrol lagi sama Elda.
"Ya ampun, Da. Gilak parah banget pacar lo, udah paling bener lo putus sama tu barongsai." Ujar Rara yang nampaknya paling gemes mendengarkan cerita Elda.
"Gak nyangka asu, ternyata kelakuannya setan banget." Giliran Eki yang mengumpat.
Gigi? No komen! Kayaknya sih udah capek punya temen bucin goblok stadium 10 sekarat tinggal modarnya.
'tuk tuk tuk'
Suara papan tulis yang digetok dengan spidol sontak menarik atensi seluruh penghuni kelas yang datang awal hari itu. Di depan kelas, Geral selaku ketua kelas ditemani Yohan sekretaris 2 berdiri dengan ekspresi yang saling bertolak belakang. Nampaknya hanya Yohan yang gembira disana.
"Oke mina-san, sehubungan dengan ujian kenaikan kelas kita udah besok senin, kita mau ngingetin kalo agenda studytour kita jadinya bakalan dilaksanain di gunung." Yohan nampak tersenyum cerah, yang membuat Laya silau.
Hihhh..
"Kenapa gak pantai aja sih?"
"Kebun binatang aja, udah lama gak ke temen-park.
"Pengen ke pantai!"
"Ke gunung study apaan? Mending ke museum."
"Ger, masa ke gunung? Ngapain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival
Teen FictionSiapa yang tak mengenal Laya? Vokalis The Rain, band siswa di sekolah menengah Kota A. Wajahnya menawan, suaranya merdu, tubuhnya juga elok, belum lagi juara umum se-angkatan yang membuat 99% penghuni sekolah memujanya. Ya, 99% saja. karena 1% nya...