6. Kekhawatiran

3 0 0
                                    

Tinggal beberapa senti Elegi akan berhasil menyentuh nya, menyalurkan semua rasa terpendamnya. Namun tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah lapangan, sontak membuat Rain menoleh ke arah jendela, mencari tahu apa yang sedang terjadi dibawah sana. Membuat jarak mereka kembali berjauhan.

"Kembang api, Gi," beritahu Rain. Gadis itu berbalik lalu meraih tangan Elegi. Menarik laki-laki itu keluar ruangan.

"Harusnya kita diem di atap, bukan di lab," omel Rain sembari menaiki tangga menuju pintu rooftop. Tidak sadarkah gadis itu bahwa saat ini Elegi tengah meringis menahan malu, merutuki tindakannya tadi yang hampir saja tak terkendali. Apakah Rain sekarang sedang benar-benar tidak tahu atau sedang bersikap berpura-pura tidak menyadarinya.

"Wahhhh, cantik banget," Rain mendongak, menatap langit yang kini sudah dipenuhi warna-warni cahaya dari percikan letusan kembang api yang pecah. Bibirnya berulang kali memuji keindahan cahaya yang dilambungkan pada langit gelap itu.

"Banyak yang bilang, kembang api itu lambang kebahagiaan. Tapi menurut gue, kembang api itu lambang cinta." Elegi mengerutkan kening mendengar ucapan Rain. Bagaimana bisa kembang api dilambangkan sebagai bentuk dari cinta?

"Kenapa?" Tanya Elegi seraya menduduki bangku panjang didekatnya.

"Karena melambung tinggi, dengan luapan penuh akhirnya meledak dengan indah dilangit malam," jawab Rain masih memandang takjub langit malam ini. Elegi masih tidak mengerti, namun ia tidak lagi bertanya.

Tak lama Rain menoleh, melangkah mendekati Elegi, lalu menempati tempat kosong disebelah Elegi.

"Lo tahu?" tanya Rain setelah kembali mengangkat wajah, menatap langit yang masih ditembaki kembang api.

"Terkadang cinta itu bakal kerasa kalo kita lagi ngerasa hidup sangat kacau dan gelap. Bayangin aja, tiba-tiba seseorang datang bawa kejutan indah dan penuh warna diantara kegelapan disekitar."

Elegi menyimak saja, tidak memberi respon apapun saat Rain menjeda ucapannya.

"Cahayanya buat kita lupa tentang kegelapan yang menakutkan," lanjut Rain.

Elegi memperhatikan wajah Rain dari samping, menyetujui apa yang Rain katakan.

"Itu yang pernah mama ceritain ke aku," Rain menoleh, memergoki tatapan Elegi, tentu saja laki-laki itu dengan cepat mengalihkan pandangannya.

o0o

Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Elena dan Elegi sudah berada diruang makan, duduk berhadapan dengan meja sebagai pemisah keduanya.

Hari ini Elena nampak senang, setelah sekian lama akhirnya ia bisa duduk dan makan bersama dengan anaknya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, entah Elegi yang lagi-lagi tak memakan masakan buatan Elena, anak itu berlalu begitu saja melewati sarapan ketika menyadari sudah terlambat pergi ke sekolah, atau Elena yang tidak bisa menemani Elegi sarapan karena jadwalnya yang terlalu sibuk dan buru-buru pergi ke kantor.

"Sebentar lagi kamu ujian kan?" Elena membuka topik obrolan, berusaha lebih perhatian pada Elegi.

"Fokuslah belajar, jangan pulang larut malam lagi," nasihat nya.

"Lalu bagaimana dengan ibu?" Elegi bertanya balik. Tanpa memandang wanita didepannya. Laki-laki itu fokus dengan makanannya.

"Jangan terlalu sibuk bekerja, anakmu juga butuh perhatian karena tidak punya ayah," lanjutnya. Nampak jelas anak itu sedang melakukan sindiran.

Elena meletakkan sendok dan garpu, menatap lekat Elegi dihadapannya. Anak itu tidak memperdulikan tatapan si ibu, ia terus fokus menghabiskan sarapannya.

"Bisa nggak, kamu nggak bahas tentang ayahmu sepagi ini?" Elena bersuara setelah mencoba menstabilkan perasaan kesalnya.

"Walaupun Egi bahas tengah malam juga, ibu tidak akan pernah menjawab pertanyaan Egi," anak itu kini balas menatap Elena.

"Jangan buat ibu marah, Gi."

Elegi bangkit. Sarapan nya sudah selesai, piring nya sudah kosong bersih.

"Ibu belum selesai bicara!" ucap Elena setengah membentak. Mencegah Elegi yang hendak melangkah.

Elegi tersenyum, hampir menyerupai seringaian.

"Oh, ya? Ibu mau bahas tentang ayah kali ini?" tanya Elegi, kembali duduk pada kursi.

"Tolong fokus lah pada sekolah, supaya kamu bisa melanjutkan bisnis yang ibu bangun," pinta Elena, malah membuat Elegi memutar bola matanya muak.

"Jadi masih belum mau jawab Egi, ya bu?" Elegi bangkit berdiri lagi. Menatap ibunya sebentar. Ada tatapan memohon disana, memohon agar ibu nya bisa melihat perasaannya saat ini, agar mengerti betapa menderitanya ia.

Elegi hanya ingin kejelasan tentang ayahnya, meskipun tidak bisa bertemu, setidaknya ceritakan sedikit saja bagaimana sosok ayahnya. Agar Elegi punya gambaran, apakah ayahnya orang baik atau orang jahat. Ia sudah lelah bertanya-tanya dan banyak membayangkan bagaimana sosok ayah itu.

"Elegi pamit, terima kasih ibu sudah meluangkan waktu untuk sarapan bersama pagi ini," ujar Elegi dingin. Ada rasa kecewa yang terus muncul setiap kali adegan seperti ini terulang. Tentang ibunya yang selalu menutup mulut jika Elegi membuka topik tokoh ayah sebagai pembahasan.

Nampak dari langkahnya pun, terlihat jelas Elegi merasa kecewa pada ibunya. Elena menangkap tatapan Elegi dan mengerti, namun bibirnya terasa kelu setiap kali hatinya mendorong untuk menceritakan tentang pria yang seharusnya Elegi sebut sebagai ayah. Lagi-lagi, satu hal kecil pun tidak sanggup Elena sampaikan pada Elegi.

Elena terlalu membenci, menyesali segala hal tentang pria itu. Berulang kali berpikir mengapa ia bisa jatuh cinta pada laki-laki yang malah membawa penderitaan separah ini. Membuatnya berjuang sendirian, menjauhi keluarga, mengandung dan membesarkan anaknya tanpa bantuan siapapun. Bahkan disaat anak itu lahir, Elena malah membenci bayi tak bersalah itu, menyiksanya, berharap anak itu tak pernah ada. Namun semua itu ia sesali sekarang, mau bagaimana pun kini ia adalah seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, dan menyesali semua perbuatannya dimasa lalu.

Sekarang semua terbalik, putranya seolah sedang membalaskan dendam, membuatnya khawatir akan kehilangan, suatu hari nanti.

Lama Elena duduk berdiam diri ditempatnya, menghabiskan waktu berdebat dengan dirinya sendiri, apa yang harus ia lakukan. Wanita itu benar-benar tidak bisa menuruti permintaan Elegi yang satu itu. Anaknya bisa meminta hal yang lain, kecuali tentang ayahnya. Hingga Waktu berlalu, jarum jam sudah bergeser berada di antara angka delapan dan sembilan, Elena kemudian menyadari ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk menenangkan diri.

"Setengah sembilan?!" pekiknya. Dirinya bangkit dan harus segera bersiap-siap pergi bekerja. Sungguh, hari ini ia sudah mengacaukan paginya.

o0o

Elegi baru saja tiba di kampus, kini langkahnya nampak tergesa-gesa, khawatir dirinya benar-benar terlambat, namun detik berikutnya ia baru tersadar bahwa hari ini masih belum wajib kampus karena dijadwalkan untuk beres-beres dari acara kemarin.

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya, membuat ia berhenti melangkah. Kemudian orang tersebut muncul disamping kanan Elegi dengan cengiran yang khas.

"Nih," ucapnya seraya menyodorkan ponsel berwarna hitam, Elegi bisa bernafas lega sekarang, ternyata ponselnya sudah ditemukan oleh Jihan.

"Gue nemuin ponsel lo di laboratorium," ujar gadis itu.

"Thanks," balas Elegi kemudian kembali melangkah.

Tanpa Elegi ketahui, semalam Jihan mencari keberadaannya, menelusuri setiap sudut bangunan kampus. Ketika menaiki tangga lantai tiga, gadis itu mendengar suara gaduh dari arah ruang laboratorium, saat hendak mendekat, ia melihat Elegi dan Rain keluar dari ruangan tersebut, Rain menggenggam tangan Elegi, menariknya ke tangga menuju rooftop.

Jihan penasaran, ia masuk ke dalam laboratorium dan menemukan ponsel Elegi dengan cahaya yang masih menyala. Kemudian kembali keluar untuk menyusul ke atas. Namun, langkah kakinya berhenti saat menemukan seseorang di anak tangga lantai dua, ia memergoki Erick disana dan mereka saling menatap kaget satu sama lain.

***

CERITA LEBIH LANJUT DI FIZZO ✨

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ELEGI ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang