Chapter III: Family

43 6 5
                                    

Pagi itu juga tidak berjalan begitu baik untuk Damien dan Lucille. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan memiliki tempat di sana jika para Di Ilios tidak memenangkan peperangan untuk mereka. Saat Damien berlari hilir mudik menuruti arahan dan rutinitas para Ksatria, Lucille hanya bisa terdiam di sayap Barat kastil. Tidak banyak ruangan yang boleh ia masuki. Hanya ruang tidurnya dan kamar mandi yang terhubung dengan ruangan itu. Ruangan itu tidak kecil. Ruangan itu cukup besar, bahkan lebih besar dari ruangan yang ia tempati semasa kecil di rumah keluarga asuhnya. Ruangannya memiliki lemari buku kecil dan meja rias terpaku pada dindingnya dengan meja dan kursi cukup untuk satu orang tepat di depan jendela yang cukup besar. Tidak ada balkon, dan ia tidak diperbolehkan membuka jendela tanpa penjaga atau pelayan menemaninya.

Mereka berdalih bahwa itu dilakukan demi keamanan Lucille, Putera Mahkota, dan sang Putri, namun ia tahu kalau orang-orang ini hanya tidak ingin ia kabur. Meski dengan aturan-aturan itu, mereka masih memperlakukan Lucille dengan cukup baik, setidaknya itu yang Lucille rasakan, namun ia tidak bisa memungkiri bahwa di sana sangat sunyi. Mungkin Lucille adalah tipe orang yang dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, namun di dalam situasi seperti ini, siapapun akan merasakan betapa besar perubahan yang ada di hidup mereka.

Tidak ada suara mobil, atau lagu yang berputar di radio. Ia bahkan merindukan suara fonograf lamanya yang sering rusak. Bahkan tidak ada alat musik yang bisa ia mainkan untuk mengisi waktu. Tidak di ruangan itu. Ia terbiasa dengan formalitas bangsawan, namun apa gunanya formalitas jika tidak ada yang bisa ia sambut dan sapa. Meski dengan batasan tertentu, ia bebas melakukan apa yang perlu dilakukan, namun bahkan sekarang, ia tidak memiliki tugas apapun selain hilang dari pandangan orang lain.

DUG DUG DUG

Suara pintu besar dan tebal ruang itu terketuk. Lucille menengok ke arah pintu dan melihat bayangan sepasang sepatu besar berdiri di depan pintunya. "Nona Lucille. Apa kita bisa bicara sebentar?" ucap suara familiar diikuti bisikan-bisikan halus wanita dari balik pintu.

Penjaga ruangan meminta mereka diam dengan suara rendah dan berat yang tidak dapat siapapun lupakan. Lalu penjaga itu berkata kepada pria di balik pintu, "Yang mulia, kau tidak perlu meminta izin. Kau bebas memasuki ruangan para tahanan kastil kapanpun kau mau," sambil membuka pintunya.

Lucille berdiri terkejut dari kursinya, namun setelah menunggu beberapa saat, Phil masih berdiri di lowong pintu. Kepalanya tegap namun matanya tak berani ia arahkan kepada Lucille. Lalu saat Lucille menjawab, "Tentu saja, yang mulia," ia melangkahkan kakinya masuk ke area ruangan dan Lucille menunduk padanya.

Phil meminta pintunya untuk tetap terbuka dan para pelayan menjauh dari depan pintu untuk memberi mereka privasi. Lucille menawarkannya duduk di sisi lain meja. Phil mengusap kursi kayu itu lalu duduk di tempatnya dan berkata, "Kursi ini bahkan tidak terasa empuk. Bagaimana kau bisa berada di sini sepanjang hari?" tanyanya terkekeh untuk mencairkan suasana.

"Aku yakin aku akan terbiasa. Aku harap ruanganmu nyaman," jawab Lucille dengan suara lembutnya. Phil mengangguk. Lucille terkekeh malu dengan kondisi ruangannya yang bahkan tak bisa ia atur. "Maaf aku tidak bisa menawarkan apapun. Mereka hanya memberikanku satu cangkir."

Phil terdiam dan tersenyum tipis. "Luna benar tentangmu. Bahkan di saat seperti ini, kau masih memikirkan orang lain."

Lucille menyangkal, "Aku tidak bermaksud menyindir, namun aku tahu penilaiannya tidak begitu tepat mengenaiku."

Phil sedikit meregangkan tubuhnya dan bersandar. Ia tidak ingin situasi ini menjadi lebih canggung dari seharusnya. Ia menghela nafas dan menjawab, "Kau menikahi orang asing untuk mewujudkan impian ayahmu. Aku tidak membutuhkan terlalu banyak bukti untuk percaya penilaian adikku."

Lucille mengangguk perlahan dan bertanya, "Kau bilang ada hal yang ingin kau bicarakan?"

"Aku mencari alasan. Aku hanya ingin memeriksa keadaanmu. Kalau dipikir-pikir, kita bertiga bahkan tidak sempat memiliki waktu untuk bicara... sebagai keluarga, maksudku."

"Aku beruntung kalian menganggapku seperti itu, tapi akan lebih mudah jika kalian tidak melakukannya. Kalian akan telihat bias di depan banyak orang."

"Luna bersikukuh. Ia hampir terlibat debat dengan Tetua Agung pagi tadi karena ia menganggapmu saudari kami... dan akupun begitu. Kita tidak punya siapa-siapa lagi, Lucille. Kau mungkin familiar dengan hal-hal kebangsawanan, tapi aku tahu bahkan kau belum terbiasa dengan tempat ini. Kita bertiga tidak tumbuh di tempat ini."

"Kalian tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Aku yakin tugas kalian sudah terlalu berat, aku janji tidak akan membuat masalah lagi," canda Lucille. Beberapa saat kemudian, ekspresinya sedikit berubah muram, ia berkata, "Sudah terlalu banyak darah tertumpah karenaku."

Phil ingin menyingkirkan pemikiran itu. Di dalam hatinya ia yakin bahwa tidak ada siapapun yang benar-benar menginginkan pertumpahan darah. Bahkan Lucille. Orang yang sudah melakukannya karena ia berpikir bahwa peperangan itu miliknya. Orang yang sama yang sudah memimpin penyerangan kastil saat pesta kedatangannya. Phil pikir Constance memanfaatkan Lucille dan menggunakannya menjadi pion, dan untuk waktu yang cukup lama, Lucille tidak memikirkan konsekuensinya akan seberat itu. Phil mencoba mengalihkan pembicaraan. "Gagak. Simbol keluargamu, bukan?" tanyanya.

Lucille mengangguk dan tersenyum. Ia berkata, "Dulu, ibumu juga seorang gagak," jawabnya, "Ia beruntung telah menikahi seorang Phoenix. Ia tidak perlu menggunakan gagak sebagai simbolnya lagi jika ia mau."

"Tapi ia tetap melakukannya. Ia percaya bahwa ia tidak bisa melepaskan keluarganya begitu saja. Aku membacanya di buku sejarah Archenland. Puluhan lembaran memiliki Gagak sebagai penandanya," jelas Phil. "Keluarga Voronin masih bagian dari Archenland, Lucille. Itu termasuk kau. Intinya... kami hanya tidak ingin kau merasa kalau kau tidak penting untuk kami. Terlepas dari apa yang telah terjadi, kau masih bagian dari keluarga kami. Dengan bertahan di tempat ini, kau bisa mengembalikan kejayaan simbol keluargamu itu."

Lucille mengeluarkan suara kekehan antara terhibur dan jengkel pada nasibnya sendiri. "Dan bayangkanlah, suatu hari nanti, rakyatmu akan menyanyikan lagu-lagu di seluruh penjuru Archenland dan Narnia di mana kau dan aku berada di sudut peperangan dan kalimat berbeda di dalam liriknya. Sang Phoenix dan sang Gagak dalam perang para burung."

The war of the birds, pikir Phil. Belum terlalu lama sejak peperangan itu berakhir namun banyak orang sudah mengenalnya sebagai 'Perang Para Burung'. Bahkan pagi tadi, seorang musisi melantunkan lagu tentang salah satu rendetan peristiwa perang itu diiringi kecapi gitar bernama Lute. Ia pikir sebagian kastil mendengar lantunan tersebut. Ia pikir Lucille pun sudah mendengarnya.

Gurau Lucille, "Aku yakin para burung Narnia akan merasa jengkel spesies mereka disebut-sebut."

Phil tertawa ringan, "Atau mungkin mereka akan menyukainya. Kita tak akan benar-benar tahu."

Lucille tersenyum melihat saudaranya tertawa. Ia tidak pernah merasa memiliki saudara sebelum semua ini. Ia tidak berani mengatakan bahwa ia cemburu dengan apa yang Luna miliki. Ayah yang bijaksana, kakak yang baik... dan bahkan tunangan yang menyayanginya. Namun ia berusaha untuk memendam perasaan tersebut dan berpikir dengan jernih. Ia kadang tak sadar, dengan ia memendam perasaan lain sendirian, rasa takutnya semakin bertambah. Ia memperingatkan Phil, "Hanya karena kita tidak berperang lagi, bukan berarti perjuanganmu berhenti sampai di sini. Kau harus selalu hati-hati. Jangan mudah percaya pada siapapun. Bahkan tidak pada keluargamu sendiri. Berat mahkota yang akan mereka pakaikan padamu tidak seberapa dibandingkan berat tanggung jawab di baliknya."

Phil ingin berkata bahwa ia tidak khawatir dengan itu, namun anak-anak ini, Di Ilios dan Voronin, mereka semua takut. Hanya saja, motivasi mereka lebih kuat dari rasa takut itu sendiri. "Aku akan melakukan yang terbaik. Aku atau Luna akan berkunjung sesekali."

"Terima kasih, Phil."

Phil berdiri dari duduknya, "Permisi, nona. Selamat siang." Seperti yang semua orang harapkan, Lucille menunduk padanya sebelum Phil berjalan keluar. Berharap bahwa ketakutan dan pengorbanannya tidak sia-sia. Phil belum menjadi seorang Raja. Kunjungannya kepada Lucille bisa saja terbilang pelanggaran protokol Kerajaan dan perintah para dewan. Namun sembari berjalan pergi, terbesat dalam pikirannya bahwa mau tidak mau, cepat atau lambat, orang-orang itu harus berhenti melihatnya sebagai pria biasa yang tidak memiliki wewenang apapun atas dirinya dan keluarganya.

Dia adalah Phylarchus Eugenio Di Ilios. Raja Archenland.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost in Time: House of the Phoenix (BOOK 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang