Analusia, begitu nama sekolah ini akrab di telinga orang - orang. Sekolah menengah atas ini dipenuhi oleh banyak siswa dari berbagai ragam latar belakang. Di tahun pertama ajaran baru, sekolah itu dihebohkan dengan kemunculan seorang siswi albino yang amat pendiam. Gadis itu langsung terkenal dalam hitungan menit dan kemunculannya membuat banyak mulut berbicara, entah itu mengomentari fisiknya atau keberadaannya. Ia menjadi bahan omongan selama satu minggu awal tahun ajaran baru. Di sana ia tidak sendiri, gadis itu didampingi oleh salah satu sahabatnya yang cantik. Banyak yang mengatakan bahwa gadis albino ini bertampang seperti bidadari, ia tak kalah sempurnanya dengan film putri yang ada di TV. Ada juga yang berpendapat bahwa tampang gadis itu biasa - biasa saja. Ada yang menatapnya tak suka dan ada yang menatapnya biasa saja. Semua orang yang menghuni sekolah itu tahu akan dirinya, tak terkecuali sekelompok anak teladan di sekolah itu.
"Selamat datang, Naya." Zulfan menyambut hangat gadis yang terus menundukkan pandangannya pada hari kedatangannya. Salah seorang sahabat Zulfan mengaku bahwa ia menyukai gadis tersebut pada pandangan pertamanya, Zulfan tidak mengetahui hal itu. Sampai dua minggu berlalu, sahabat yang diduga terus menyapa bahkan mengajak gadis itu berbicara pun tak kunjung ditanggapi. Tetapi tidak membuat pemuda itu menyerah, bagaimana pun juga ia pasti bisa mendapatkan hati gadis tersebut.
"Naya, ini-"
Gadis itu langsung melambung pergi, meninggalkan pemuda yang tengah menyodorkan kotak bekal berwarna ungu. Pemuda itu menghela nafas pelan, ia tahu mengapa gadis itu begitu cuek kepada banyak orang, maka ia ingin menjadi salah seorang lelaki yang kelak akan dicintai oleh pujaan hatinya itu. Bukan tampang yang membuat ia jatuh cinta pada gadis itu, namun sifat pendiamnya itu membuat ia terkagum. Sifat cuek seperti itu pasti tak akan memunculkan suatu perselingkuhan dalam menjalin hubungan percintaan. Ia mencintai gadis lembut itu dengan setulus hati. Namun, entah mengapa ia jatuh terlalu dalam pada perasaannya, alasan itu tak cukup untuk memenuhi alasan mengapa ia sangat mencintai gadis itu. Sejujurnya, tanpa alasan apa pun, ia sungguh mencintainya.
"Gimana cara bikin Kak Ran bisa suka sama lo, Bang?" tanya pemuda tersebut, menatap Abang iparnya itu lekat - lekat.
"Terus nurut dan berbuat baik. Terus begitu dan begitu."
"Oke. Bisa dipahami." Pemuda itu mengangguk paham. Maka, ia akan berbuat baik meskipun gebetan tidak menggubrisnya sama sekali. Ia akan mendapatkan hati gadis itu bagaimana pun juga, tak peduli seberapa sakit hari - hari yang ia lalui, ia tahu bahwa ia akan mendapat balasan yang disertai dengan kebahagiaan yang tiada tara. Ia memendam perasaannya itu dalam - dalam, memperjuangkan perempuan itu tanpa bersuara, mengejarnya tanpa ada yang tahu kecuali satu sahabat yang sangat ia percaya.
Suatu hari, pada minggu ke empat tahun ajaran baru. Gadis itu tak sengaja meninggalkan novelnya di laboratorium. Pemuda yang mendapati benda yang tertinggal itu pun segera mengantarkannya ke kelas Si Empu. Saat berada di depan kelasnya, ia mengetuk pintu dan masuk, menghampiri meja gadis itu dan menyodorkan benda yang tadi tertinggal.
"Naya... bukunya tadi ketinggalan di lab...," ucap pemuda itu halus. Namun sayang, gadis itu tak menggubrisnya sama sekali.
"Naya...," panggil pemuda itu sekali lagi.
"Makasih, Kak," sahut singkat gadis tersebut. Pemuda itu hanya tersenyum dan meletakkan novelnya di atas meja.
"Kakak ke kelas dulu, ya..." Penuturan itu tak kunjung digubris oleh gadis itu. Tanpa menunggu jawaban, ia pun melangkahkan kaki menuju kelasnya.
╰┈➤
2 bulan kemudian...
Pemuda bersurai cokelat bermata tajam itu, kini tengah bersicepat mengantarkan beberapa dokumen menuju ke lokasi, yaitu, Kantor Guru. Ia berharap dalam satu menit bisa sampai ke sana karena, dokumen ini akan dikirim ke Menteri Pendidikan sekaligus akan dirapatkan nantinya.