Di malam yang indah, tepatnya di dalam rumah yang minimalis, Ren menemani Ran mengobrol di ruang tamu. Mereka sesekali bersenda gurau membincangkan topik tentang pertunangan Yan dengan Ivana, menurut Ran itu sedikit aneh.
"Kelas 11 kok udah tunangan. Aneh - aneh." Ran terkekeh.
"Kelas 12 kok udah nikah. Brutal sekali, Anda." Ren membalas perkataan kakaknya itu.
"Heh, Diem kamu, iri!" Ran tak terima dengan penuturan adiknya.
"Nikah paksa, yah? Ciee... nikah kok dipaksa..."
Karena merasa kesal, Ran tak segan - segan menjambak Ren dan menarik kepalanya sampai ia membungkuk sembilan puluh derajat, korban yang dijambak terus mengeluh, merintih kesakitan. Saat Ren telah bungkuk sempurna bahkan lebih dari kata sempurna, ia melihat seorang bayi kecil yang memeluk kaki Ran, ia tertawa melihat derita Ren. Awas aja kamu, Bayi, gumam Ren kesal dalam hati.
"Atit!" Bayi berusia satu tahun tujuh bulan itu menunjuk - nunjuk Ren.
"Iya, Nak. Biarin aja dia, biar tau rasa!"
"Ampun, Kak... sakit, nih..." Ren mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Di tengah - tengah itu, ponsel Ren berdering, maka Ran segera melepaskan Ren yang tangannya sigap meraih ponsel di saku celananya. Ternyata, Zulfan yang menelponnya, ia pun menggeser tombol hijau ke atas.
"WOY!"
Cukup membuat Ran, Ren dan Si Bayi Kecil terkejut. Si Kecil menggumam singkat, menautkan alis. Ren menegur Zulfan dengan wajah yang tak dapat diartikan, ia mengarahkan kamera ponselnya ke arah Ran dan Si Kecil, mengisyaratkan bahwa Zulfan harus lebih sopan.
"Eh, maaf, Kakak cantik... kiw!" goda Zulfan mengedipkan matanya genit.
"Ya ampun, Fan..." Ren tepuk jidat. Zulfan menyuruh dirinya untuk segera bersiap - siap menuju lokasi acara. Saat ini, Zulfan sedang berada di depan rumah Naya, menemani Adik laknat kesayangannya menjemput Naya. Ren memberi tahu ia akan datang telat nantinya sebab Ran meminta dirinya untuk ditemani selagi Malvin pergi sebentar. Zulfan mengangguk paham.
"Ya, udah. Gua masuk dulu. Soalnya, dipanggil calon mertua lo, disuruh masuk dulu katanya."
"Ooh... iyalah...," jawab Ren yang langsung dimatikan oleh Zulfan sepihak.
"Cayang, ma'am apa kita malam ini, Nak?" Ran yang gemas dengan anaknya sendiri pun menggendongnya dari pada terus memeluk pergelangan kaki Mamanya itu. Ren yang melihat Kakaknya yang terlihat bahagia itu tersenyum, berharap Tuhan mengizinkannya bahagia bersama gadis yang ia cintai saat ini hingga selamanya. Berharap, ia dan gadis itu bisa memiliki keluarga kecil yang sama bahagianya seperti keluarga yang dimiliki Ran dan Malvin. Jika tidak, izinkan ia mendampingi gadis itu hingga akhir hidupnya. Sungguh, demi apapun, Ren sangat mencintainya.
"Mam buu!!" Si Kecil berteriak ingin makan bubur.
"Apa, cayang?" Ran tertawa.
"Amaa!!"
"Ma'am bubur, iya, he'eh?" Ran mengusel - usel wajahnya ke perut Si Bayi, membuat ia merasa geli dan tertawa, kemudian memeluk wajah Mamanya yang hampir seukuran dengan badannya. Ren berpaling. Kini, tak ada senyum yang terukir di bibirnya. Entah, mengapa, lagi - lagi sosok Naya melintas di pikirannya. Dari pada merenung, Ren pun kembali mengganggu Kakaknya itu meski pun memikirkan Naya adalah hal yang menyenangkan baginya, tapi tidak untuk sekarang. Ia takut bila nantinya Ran melihat ia merenung dan tiba - tiba tertawa sendiri, Ran akan mengintrogasi dirinya. Bukan terkait dengan kesehatan mental, tetapi terkait masalah percintaan. Itu sangat dihindari oleh Ren, lebih baik ia memendamnya untuk beberapa saat.