🍂 Kenyataan

158 13 0
                                    

Udara sejuk yang menjadi kenangan dari butiran air hujan masih terasa menenangkan. Sepasang mata indah Ravin juga masih enggan terbuka, sang pemilik mata itu sudah terlanjur nyaman dengan dunia alam bawah sadarnya.

Seorang gadis duduk ditepi ranjang laki-laki itu dan menatap wajah laki-laki yang sedari kecil sudah menjadi sahabatnya.

"Sampe kapan lo kayak gini, Vin?" ucap gadis itu yang kini perasaannya tak karuan, di satu sisi ia tak tega melihat kondisi sahabatnya semakin menurun, disisi lain ia juga kesal karena Ravin terus bersikeras menyembunyikan kondisinya pada bunda, eyang, dan ayahnya.

Sabrina, adik Ravindra itu sudah cukup geram dengan kekerasan abangnya. Ia pun beranjak dari duduknya "bunda, eyang sama ayah harus tau, gue nggak mau dengerin abang,"

"Enggak! bentar lagi abang sadar," cegah Selena, saudara kembar Sabrina.

"Lo Gilak?! Gimana kalau abang nggak sadar? Lo sanggup kehilangan abang?!" bentak Sabrina yang membuat Selena menggeleng kuat.

"Bunda, eyang sama ayah harus tau, Abang harus kemo," imbuh Sabrina yang masih bersikeras dengan keputusannya.

Sedangkan Selena saat ini tak bisa berkata apa-apa. Menurutnya ini konyol, kedua orangtuanya dokter namun abangnya berhasil menyembunyikan kondisi penyakitnya yang semakin memburuk.

"Sabrina bener, Ravin udah lama nunda kemo," sahut Bella yang juga merasa hal ini perlu diberitahukan pada kedua orangtua Ravin.

"Sabrina telfon bunda dulu," pamit Sabrina.

"Sab," panggil Ravin yang baru saja sadar, laki-laki itu mencekal tangan adiknya agar tak memberitahu bunda terkait kondisinya.

"Jangan kasih tau bunda sama ayah dulu," sambung Ravin. Satu-satunya alasan ia tak ingin kemoterapi adalah karena dirinya belum siap jika harus meninggalkan Keyla cukup lama, gadisnya itu masih butuh dirinya setiap menit.

Sabrina membuang muka, ia tau alasan abangnya. "Sampe kapan? Abang jangan egois! Disini banyak yang sayang sama abang, jangan mikirin Kak Keyla aja bang!"

"Sab, jangan bentak abang!" sahut Selena yang membuat Sabrina semakin kesal.

"Serah abang aja lah," pungkas Sabrina dengan melepaskan tangan Ravin kemudian berlalu meninggalkan kamar abangnya itu.

"Jangan kuwatir, tadi cuma tidur kok. Kenapa kalian heboh banget?" kekeh Ravin yang berusaha mencairkan suasana.

Selena tak kuasa menahan tangis, ia memeluk abangnya. "Bang, dengerin Sabrina. Kita semua mau abang sembuh,"

"Sampe kapan lo kayak gini?" tanya Bella dengan nada dingin yang tak biasa didengar oleh Ravin.

"Kasih gue waktu satu bulan, kalau dalam satu bulan gue nggak berhasil sembuhin Key. Gue nyerah, gue akan ikutin semua prosedur yang diarahin bunda sama ayah," jawab Ravin yang membuat hati Bella semakin sakit.

"Sesayang itu lo sama Key," batin Bella yang kian menjerit saat mendengar Ravin mengutamakan Keyla melebihi kesehatannya sendiri.

"Dah ah Sel. Lihat tuh di laci ada apaan, bagi dua sama nyonya Jaemin," ucap Ravin yang membuat Selena langsung melepaskan pelukannya dan segera mengambil sebuah kotak yang ada di laci Ravin.

Matanya berbinar dengan bibirnya yang melengkung sempurna. "Ahhh!!! Abang the best banget. Tau aja kalau kemarin Selena lagi pengen hoodienya Chenle,"

Seakan lupa dengan kekhawatirannya, Selena langsung mencoba hoodie baru yang sangat ia inginkan.

"Eh iya lupa. Ini buat Kak Bel," Selena menyerahkan hoodie bergambar Jaemin untuk Bella.

"Dah ah, mau pamer dulu ke Reyhan," pamit Selena dengan sumringah, ia ingin memamerkan hoodie barunya pada kekasih sekaligus musuh bebuyutannya, Reyhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Memori Ravindra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang