Hari Minggu

2 1 0
                                    

Ada seorang anak istimewa. Aurel namanya. Dia terlahir dengan tidak bisa berekspresi. Tersenyum, merengut, tertawa, meringis, adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan.

Itu Aurel. Dia mengintip dari balik tirai, sedang melihat langit timur kebiruan. Tahun ini Aurel berusia 11 tahun. Rambutnya sebahu. Dia lebih kecil dari anak seusianya. Dan dia selalu memakai kacamata bulat.

Hari apa ini? Aurel mulai bertanya dalam pikiran.

Aurel mengambil kalender duduk di meja terdekat. Seluruh tanggal di bulan April sudah tercoret, kecuali hari ini, tanggal 30. Aurel melihat tanggal 30 yang berada di deretan hari Minggu.

Aku benci Minggu.

Aurel adalah kutu buku. Dia bisa menenggelamkan diri berjam-jam bersama buku. Tapi di hari Minggu, Aurel tidak boleh membaca. Kata Ayah dan Ibu, Minggu hanya untuk bermain. Bermain sepuas-puasnya bersama teman.

Seandainya mereka tidak memerlakukanku seperti bayi, aku pasti senang bermain.

Mereka yang dipanggil Aurel adalah anak-anak tetangga. Itu salah satunya, Erika, sedang melambaikan tangan dari balik jendela kamarnya. Pipi gembul Erika tampak kemerahan. Dia tersenyum, menunjukan giginya yang lepas satu. Aurel membalas lambaian tangan Erika. Tapi tidak senyumnya. Aurel tidak bisa tersenyum.

"Mau main apa hari ini?" teriak Erika.

Aurel mengangkat bahu. Dia tidak tahu. Mereka tidak melibatkannya. Aurel hanya disuruh melihat dari tepi saja. Itu karena mereka takut akan melukai dan membuat Aurel pingsan selama seribu tahun.

"Ibuku manggil. Nanti setelah makan dan mandi aku ke rumahmu."

Belum sempat Aurel menganggukan kepala, Erika telah pergi. Aurel sendirian lagi. Menatap langit. Mendengarkan suara burung-burung liar. Andai saja Minggu menghilang dari kalender, Aurel pasti sangat bahagia. Dia tidak perlu bermain. Cukup membaca saja. Banyak membaca dan berpetualang seorang diri.

***

Nasi goreng dan telur ceplok adalah sarapan Aurel. Sembari makan perlahan, dia menatap Ayah yang sedang ribut mencari pakaian kerja. Ternyata pakaiannya berada di jemuran belakang rumah. Tak berselang lama, Ayah kembali ke dapur sembari mengancingkan kemeja berwarna biru laut.

Mereka pasti lembur di Minggu ini.

"Kami lembur, Sayang," kata Ayah duduk di samping Aurel. Ayah mengancingkan kerah. Dia terlihat seperti murid yang rajin sekarang, eh bukan murid, tapi karyawan.

Tuh kan, benar, lembur lagi.

"Nanti kami akan pulang cepat. Kamu minta apa?"

Kamarku tidak dikunci. Aku boleh baca buku di hari Minggu.

"Aurel?"

"Ti-dak min-ta a-apa-a-pa, Yah."

Ayah membelai rambut sebahu Aurel. "Kamu anak Ayah paling baik hati sedunia."

Sepertinya Ayah lupa, aku satu-satunya anak yang dimilikinya.

Krek. Pintu kamar terbuka. Ibu keluar dari sana dengan perut yang seperti akan meledak. Perut gendut Ibu membuat seragam pabrik terlihat sesak. Ibu duduk di samping Ayah.

"Jangan keasyikan ngobrol. Nasi gorengnya nanti dingin. Nasi dingin tidak enak kalau dimakan. Kamu tahu, Aurel, Ibu tadi mau masukan udang ke sana. Tapi kata ayahmu, kalau makanan darat tidak boleh dicampur makanan laut. Maksud Ibu, telur kan dari hewan darat. Udang dari laut. Tidak baik makannya secara bersamaan."

Aurel mengedip sekali. Itulah Ibu, dia hobi sekali bicara. Kepala Aurel mengangguk.

Ibu lantas tertawa. "Anak ibu yang paling cantik. Habiskan nasimu."

Sepertinya ibu juga lupa. Aku adalah anak semata wayang.

Cara makan Ayah dan Ibu cepat sekali. Aurel tidak bisa mengimbangi. Ketika mereka selesai makan, nasi goreng di piring Aurel masih tinggal separuh.

Ayah dan Ibu lalu cepat-cepat memakai sepatu, mengambil helm dan entah barang apalagi. Keduanya sangat ribut. Aurel menyuap nasi goreng dan menonton mereka.

Mereka bekerja di pabrik berbeda. Ayah pabrik benang. Ibu pabrik sepatu. Tapi kedua pabrik itu sama: suka membuat karyawannya bekerja lembur.

"Sayang, nanti Ibu pulang lebih cepat. Jadi makan siangmu tidak perlu beli di ibu Erika. Ibu akan bawakan nasi bungkus. Kamu mau apa?"

Kamarku dibuka. Aku boleh membaca buku sepuasnya di hari Minggu.

"Aurel?"

"Ter-se-rah I-bu."

"Oke. Ibu nanti belikan nasi punel."

Kepala Aurel mengangguk.

"Selamat pagi, Sayang. Kami berangkat dulu." Ayah mencium puncak kepala Aurel.

"Nanti mandi dulu. Baru main. Oke?" perintah Ibu.

"I-ya."

"Anak Ibu yang paling tersayang." Ibu juga mencium puncak kepala Aurel.

Aurel mengantarkan mereka sampai ke depan pintu. Mereka pergi ke pabrik dengan mengendarai sepeda motor. Ayah menyembunyikan klakson. Ibu melambaikan tangan. Aurel juga melambaikan tangan.

Lalu Aurel menutup pintu belakang. Dia duduk di meja makan seorang diri. Menghabiskan sisa nasi goreng di piring.

Aku tidak mau mandi.

Negeri Tanpa DagingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang