PROLOG

13 10 18
                                    

Suasana kelas XI IPA-3 tidak jauh berbeda dengan kelas-kelas yang lainnya. Para siswa-siswi terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil. Obrolan terdengar bertumpuk.

Bahkan dari kelas lain ada beberapa murid-murid yang saling kejar-kejaran di koridor. Begitulah suasana jika sedang jam kosong tanpa tugas. Kelas terasa di pasar. Namun, justru itulah poin penting bagi sebagian murid-murid.

Penghuni kelas XI IPA-3 saat ini sedang sibuk mengobrol sana sini meskipun di depan mereka masih ada guru yang sedang memeriksa buku catatan bahasa Indonesia. Sangatlah tidak patut untuk dicontoh.

"Anak-anak, tolong dengarkan ibu! "

Semua atensi mata menatap ke depan, ke arah seorang guru muda yang masih setia duduk di kursinya. Mereka yang terpencar, duduk kembali ke tempat duduknya masing-masing. Bahkan suasana kelas yang tadinya riuh pun, kini berubah drastis menjadi 360°.

Sebelum mengucapkan sesuatu, guru tersebut tersenyum. "Kalian ini sudah kelas sebelas dan sebentar lagi kalian akan melaksanakan ujian kenaikan kelas."

"Ibu mohon kepada kalian semua, untuk belajar yang sungguh-sungguh, ya!"

"Kalian semua pasti punya mimpi, kan?"

"Ibu hanya ingin memberi pesan. Segera lah pikirkan dari sekarang, apa yang akan kalian lakukan setelah lulus? Apa keinginan kalian? Apa harapan kalian untuk ke depannya?"

"Tapi ibu yakin, kalian semua pasti punya mimpi. Dulu ibu juga sama seperti kalian, ibu juga punya mimpi." Guru tersebut berdiri dari tempat duduknya.

"Akhirnya ibu bisa berdiri di sini, yang berarti cita-cita ibu sudah tercapai." Beliau tersenyum lebar membuat murid-muridnya menatap haru.

"Cita-cita ibu sangat mulia, makin semangat aku ingin seperti ibu," timpal salah satu murid perempuan.

"Ibu harap, kamu dapat mencapainya!"

"Aamiin."

"Ingat! Mau setinggi apapun, mau sebesar apapun mimpi kalian, berusahalah untuk menggapainya! Jangan hanya sebatas mimpi saja, tapi ayo bangun! wujudkan!"

"Sebelumnya, ibu ucapkan terima kasih, karena selama ibu menjadi wali kelas di kelas sebelas IPA-3 ini, kalian selalu nurut, kalian anak-anak yang baik."

Semua siswa-siswi bersorak kegirangan. "Bu Indah gak nyesel jadi wali kelas kami kan?" tanya seorang murid laki-laki yang duduk di bangku paling depan.

"Ngapain nyesel, bahkan ibu seneng bisa dipercaya jadi wali kelas di kelas ini. Dan ibu juga berharap bisa menjadi wali kelas kalian kembali saat kalian kelas dua belas nanti," jawab beliau tanpa melunturkan senyuman manisnya.

Serempak semua penghuni kelas XI IPA-3 ricuh dan mengaminkan jawaban dari Bu Indah. Mereka juga merasa beruntung memiliki ibu kedua yang baik dan pengertian. Tidak seperti saat kelas sepuluh, dimana mereka mendapatkan wali kelas yang judes. Namun, cerewet juga.

"Baik, kita kembali ke topik semula."

"Kalian semua punya mimpi kan? Maka dari itu, ibu minta kalian menuliskan apa harapan, impian dan juga cita-cita kalian di kertas selembar. Nanti minggu depan di kumpulkan!"

"Meskipun kita tidak tahu nasib kita kedepannya itu akan seperti apa. Tapi selagi kita mau berusaha, pasti akan dapat hasilnya."

"Semangat, ya, kalian!"

"Semangattt!!!"

"Gue yakin pasti bisa!" ucap seseorang dalam hati.



Twenty One Twenty One Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang