Seorang gadis berpakaian seragam putih abu dengan rambut kuncir kuda itu terus mengayuh sepedanya dengan cepat, mencoba berusaha untuk menyusul seseorang yang sudah melaju tak kalah cepat di depannya.
Sesekali ia berteriak dan menggerutu, membuatnya menjadi pusat perhatian. Tetapi gadis tersebut tak mempedulikannya.
"JUJU! TUNGGUIN!"
"Dasar curang! Liat aja nanti~"
"JUJU!"
"DENGER YA! POKOKNYA GUE GAK BAKALAN NURUTIN PERMINTAAN LO. KARENA APA? KARENA LO CURANG."
"JUJU! LO PUNYA TELINGA GAK SIH?"
"Bener-bener ngeselin ya itu orang. Cape-cape teriak malah gak didenger. Awas aja nanti."
"GUE MARAH, YA, SAMA LO."
"Ish..., dasar nyebelin."
Namun, pemuda yang dipanggil Juju itu tak menghiraukan teriakan yang meneriakkan namanya sama sekali. Ia hanya fokus dan terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan secepat bayang-bayang Naruto. Sesekali ia juga tertawa bahagia saat mendengar teriakan-teriakan yang memekakkan telinga itu.
Dan bahkan ia sangat yakin, sekarang wajah gadis tersebut pasti sudah merah padam. Ia berhasil telah menjahilinya.
"JUAN!"
"SESUAI JANJI YA, AL. YANG KALAH, NANTI PAS ISTIRAHAT HARUS TRAKTIR SOSIS BAKAR! DUA," sahutnya diiringi tawa tanpa menoleh ke belakang.
Gadis itu mencebik. "Giliran dipanggil nama aslinya aja, baru nyaut."
"GAK MAU! LO CURANG."
"LO ITU UDAH JANJI, YA, ALYA~. LO TAHU KAN? KALAU JANJI ITU HARUS DITEPATI."
Pemuda itu tertawa puas setelah mengatakan kalimat tersebut, membuat gadis bernama Alya itu mendengkus sebal.
Alya rasa hanya ingin segera meninju lengan cowok tengil itu. Tetapi saat ini ia mulai melambatkan laju sepedanya, karena kakinya terasa sangat pegal. Jika terus mengejar pun, sudah dipastikan akan tetap kalah karena tertinggal cukup jauh.
***
Tepat pukul 06.33 WIB, Juan sudah sampai di depan gerbang sekolah, kemudian berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Jika ia ikut lomba balap sepeda, mungkin akan menjadi pemenangnya.
Juan menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit-an dari rumahnya menuju sekolah menggunakan sepeda dengan kecepatan secepat kilat, tak lain karena bertaruh dengan sahabatnya. Jika bersepeda dengan santai biasanya kurang lebih memakan waktu sekitar 20 menit-an.
Sebelum masuk melewati gerbang, cowok jangkung itu menoleh ke belakang, tetapi matanya tak menemukan sosok yang dicarinya. Ia mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh dan segera masuk ke area sekolah, kemudian ia menuju parkiran untuk memarkirkan sepedanya.
Setelah sepedanya terparkir dengan aman, Juan kembali celingak-celinguk ke arah gerbang. Tetapi belum terlihat juga. Apakah Alya tertinggal begitu jauh olehnya? Atau, ada sesuatu yang terjadi dengan Alya?
"Kok, perasaan gue gak enak," gumamnya.
"Bomat lah, haus," monolognya sambil mengusap-usap tenggorokannya. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya menuju kantin untuk membeli sebotol sprite dingin, favoritnya.
***
Setelah berselang beberapa menit, Alya pun sampai ke sekolah dengan wajah masam. Namun, sebelum ia masuk melewati gerbang, seseorang memanggil namanya.
Tanpa harus berpikir siapa yang memanggilnya, Alya langsung menoleh kearah sumber suara dan segera tersenyum sambil melambaikan tangan, setelah melihat cewek berambut sebahu yang baru saja turun dari sebuah mobil Avanza.
"Dea, tumben gak naik si Bella?"
Sebagai pemberitahuan, Bella adalah nama sepeda kesayangannya Dea.
"Iya nih, gue belum cerita ke kalian. Nanti aja deh gue kasih tau di kelas," jawabnya sambil nyengir menampilkan gigi rapinya.
"Tinggal jawab aja apa susahnya."
Jawaban yang dilontarkan Dea membuat Alya badmood kembali. Alya mengayuh kembali sepedanya meninggalkan Dea menuju parkiran yang kemudian memarkirkan sepedanya tepat disebelah sepeda Juan.
Dea mengikuti Alya ke tempat parkiran dengan berlari kecil. Bahkan saat ini Dea merasa ada yang aneh pada Alya setelah melihat sepeda Juan yang sudah terparkir rapi. "Loh, Al, gak bareng sama Juan?"
Alya bersedekap dada. "Ini anak ninggalin, nyebelin banget," sahutnya sedikit judes seraya menunjuk sepeda Juan menggunakan dagu.
"Kok bisa? Lagi ada masalah?"
Alya menjawab hanya dengan menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba ide cemerlang melintas dipikirkan Alya. Sedangkan Dea mengerutkan keningnya semakin bingung melihat tingkah Alya yang celingak-celinguk melihat kiri, kanan, depan dan belakang. Entah apa yang ada dipikirannya.
Kemudian Alya berjongkok tepat di hadapan ban belakang sepeda Juan.
***
Saat ini Juan sedang berada di kantin. Setelah membeli sebotol sprite dingin, kemudian ia duduk di salah satu bangku yang kosong. Juan meneguk sebotol sprite dingin kecil itu hingga tandas.
"Ah~ segarnya."
Setelah dirasa cukup sudah tidak haus lagi, Juan melanjutkan perjalanannya menuju kelas yang berada di lantai dua. Ia terus tersenyum bahagia sepanjang koridor. Bahkan, ia menaiki setiap anak tangga dengan penuh gaya, sekalian cari perhatian siswi-siswi SMA Negeri Dua Bandung.
Sekarang ia telah sampai di depan ruangan yang terdengar tampak riuh seperti biasanya. Terdapat papan persegi panjang berwarna biru laut bertuliskan XI IPA-3, yang tertempel di bagian atas pintu kayu berwarna cokelat tersebut.
Hanya berisikan 26 orang yang sudah seperti saudara, bahkan keluarga. Murid-muridnya pun dari kelas X tidak berubah, tidak bertambah dan juga tidak berkurang. Sungguh suatu keistimewaan bagi mereka.
"Hai, hello, annyeong," sapa cowok tersebut dengan ceria, saat masih berdiri di ambang pintu.
Siswi-siswi yang berada di dalam kelas serempak menyahuti sapaan Juan dengan sedikit candaan. Termasuk Lisa, yang sedang duduk di bangkunya sambil membaca buku novel. "Annyeong Juju."
Juan hanya membalasnya kembali dengan senyuman meskipun merasa sedikit jengkel dengan nama panggilannya yang dibuat oleh Alya.
"Eh, Lilis. Cantik banget deh hari ini." Candanya seraya duduk di kursinya yang berada paling depan dan tepat di sebelah Lisa.
"Aaaa thank you."
"Iya, cantik banget kaya bungaok."
Juan tertawa terbahak-bahak saat bisa menjahili temannya itu. Sedangkan Lisa mengangkat novel yang sedang dibacanya dan mengarahkannya pada wajah Juan. "Lo mau gue timpuk pake novel ini yang setebal– "
"Bedak lo."
Setelahnya Juan tertawa terbahak-bahak kembali, membuat Lisa geram dan menggeplak lengan sebelah kiri Juan secara bertubi-tubi menggunakan novel.
"Iya, iya, sorry."
"Awas aja, lo!"
Lisa menghentikan aksinya tersebut lalu kembali duduk di kursinya dan melanjutkan bacaan cerita novel yang dibacanya.
"Eh, hai Alya...," sapa Juan dengan wajah tak berdosa nya.
"Nanti istirahat jangan lup–"
Bugh
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Twenty One Twenty One
Teen Fiction"Lo yakin gak sih? Bisa raih mimpi lo?" tanyanya memecah keheningan. Di atas rumah pohon, dia sendiri yang duduk menekuk lutut seraya bersandar pada dinding kayu, sambil melihat langit berwarna biru cerah serta gumpalan awan berwarna putih yang inda...