Pada sore hari menjelang maghrib di hari Jumat, Haikal yang baru saja pulang mendekati Saka yang tengah terduduk dengan tenang di dipan teras rumah. Pemuda itu tak lupa membawa jajanan kesukaan sang adik dan dua gelas es teh manis. Haikal berusaha untuk mengajak sang adik berinteraksi. Namun, nihil... Saka tetap diam.
"Marah sama Mas?" tanya Haikal setelah lelah tidak direspon.
Saka menggelengkan kepalanya. Remaja itu hanya menatap langit oranye terus-menerus. Akhirnya, Haikal pun mengikuti apa yang dilakukan Saka.
"Mas denger ada yang habis dapet nilai 100 di ulangan Bahasa Indonesianya, ya? Keren banget tau, tapi mas juga denger kalau yang baru aja dapet nilai 100 itu lagi diem-dieman sama keluarganya. Saka tau enggak kenapa?"
Saka kembali menggelengkan kepalanya.
Haikal tersenyum. "Mas Haikal juga ga tau kenapa... padahal mas mau ajak dia diem-diem ke rumah orang yang dia pengen, tapi dianya gak ngejawab kalau ditanyain sama diajakin ngomong..."
Haikal membuat Saka bimbang dan kesulitan untuk mempertahankan prinsip 'Gak mau ngomong sama orang di rumah!'.
"Dek."
Panggilan Haikal kepada Saka meruntuhkan segalanya. Saka mulai menatap Haikal dengan mata berkaca-kacanya, memperlihatkan keinginan mendalamnya untuk bertemu sosok yang sangat ingin ia temui sejak berpisah. Haikal yang melihat mata Saka mulai tersenyum cerah.
"Bunda lagi dinas keluar kota buat 3 hari. Ayo ikut Mas ke sana!"
Saka menganggukkan kepalanya sembari menahan agar air matanya tidak jatuh. Berusaha keras hingga wajahnya memerah padam karena ia juga memegang prinsip Mas Tio bahwa, "Laki-laki itu gak boleh nangis!".
"Nangis aja, luapin emosinya. Gak ada Mas Tio, gak ada Mas Dipta, gak ada Chatra. Mereka semua belum pulang. Cuma ada Mas Haikal di rumah, kalau ada Mas Haikal berarti apa?"
Saka akhirnya menangis. Haikal berhasil meruntuhkan tembok yang dibuat oleh remaja yang baru saja menginjak kelas 4 sekolah dasar itu. Merasa iba, Haikal merengsek untuk memeluk sang adik. Saka menghabiskan waktu selama 7 menit untuk menangis di pelukan Haikal.
"Udahan nangisnya, disimpen buat besok-besok. Sekarang ayo siap-siap ikut Mas Haikal ke rumah Bapak, ya??" ajaknya sembari memberikan tisu kepada Saka.
"Es teh sama jajannya dibawa sekalian, taruh dapur, es tehnya taruh kulkas. Jangan lupa jajanannya ditutupin tudung! Mas Haikal tunggu di sini, 5 menit gak selesai mas tinggal."
"Gak mauu!!!"
Haikal tertawa. "Cepet makanya! Jangan lelet!"
Saka mendengus memahami tabiat kakak tengahnya itu.
Tak lama setelahnya, Saka kembali keluar dengan setelan rapi dan wajah cerahnya.
"Udah dikunci semuanya?"
"Sudahh!!!"
Haikal menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya. Pemuda itu kemudian berjalan dengan Saka di belakangnya. Haikal mengeluarkan motor kesayangannya dan Saka yang kemudian menutup gerbang rumah.
"Helm udah?"
"Sudahh!"
Haikal kemudian menyalakan dan mengendarai motornya keluar dari kompleks perumahannya dan mulai menyusuri jalanan senggang kota Yogyakarta.
Saka terlihat lebih ceria dari biasanya dan Haikal merasa senang akan hal itu. 15 menit Haikal dan Saka habiskan di atas kuda besi tersebut. Akhirnya, mereka sampai di rumah bapak.
Wajah Saka semakin berseri dikala ia melihat Bapak tengah duduk di teras rumahnya dengan berbagai burung di dalam sangkarnya.
Bapak yang melihat Haikal dengan Saka datang pun terkejut.
"Saka?"
Saka berlari ke arah Bapak setelah menyerahkan helmnya pada Haikal. "Bapak!!"
Mereka berpelukan dan Saka kembali menangis di pelukan sang bapak. Bapak memeluk erat anak bungsunya itu, meluapkan semua kerinduannya kepada sang anak. Tak bisa dipungkiri, momen ini sangat menyentuh hati Haikal. Pemuda itu merasa bangga karena telah berhasil mempertemukan sang adik dan sang bapak bersama.
Ibu keluar dari rumah, bingung mendengarkan tangisan anak kecil dan mendapati suaminya tengah memeluk anak bungsunya.
"Ibu," salam Haikal dan menyalami tangan Ibu.
Ibu menatap khawatir pada Haikal dan kedua orang yang tengah berpelukan itu. "Bunda gak tau kan, Mas? Ibu takut," ujar Ibu memberitahukan kekhawatirannya.
Haikal menganggukkan kepalanya. "Bunda lagi dinas keluar kota. Yang lain ga tau kok, Bu."
Bapak menggendong Saka yang masih menangis dan memeluk bapak dengan erat, seolah tak ingin lepas darinya.
"Dek, turun dulu, ayo salam sama Ibu dulu!" ajak Haikal pada Saka.
Saka menggelengkan kepalanya keras, ia semakin memeluk bapak. "Gak mau! Mau sama bapak!" tolaknya pada Haikal.
"Iya udah, salam yok sama Ibu. Bapak gak turunin adek kok ini..." ucap Bapak.
Saka luluh, ia melepas pelukannya pada Bapak dan menatap Ibu lalu menjulurkan tangannya pada Ibu. Ibu tersenyum dengan hangat dan menerima tangan Saka.
"Siapa ini namanya? Kok gantengnya pakai banget bangettt."
"Saka, Ibu."
"Lucunyaaa... Masuk yuk! Ibu udah masak banyak. Makan dulu, yuk, sama Ibu, mumpung masih anget!"
"Sama Bapak!"
Ibu terkekeh, "Iya, sama Bapak... Yuk, masuk dulu! Mas Haikal jangan lupa kunci motornya, ya!"
Haikal menoleh dan mendapati kunci motornya masih tergantung. Ia segera mengambilnya dan berjalan masuk mengikuti Bapak dan Saka.
Melihat Saka yang digendong Bapak dan Ibu yang mulai menaruh makanan di piring untuk Saka menggerakkan hatinya. Ia mengambil ponselnya dan memfoto momen tersebut. Wajah berseri milik Saka, Bapak, dan Ibu menghangatkan hatinya. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Ia satu langkah menuju keberhasilan untuk membuat keluarganya kembali rukun. Baik antara Bunda dengan Bapak dan Ibu ataupun Bapak dan Ibu dengan saudara-saudaranya.
Setidaknya, ia harus berhasil salah satunya sebelum akhir hayat. Dan semoga saja, Haikal berhasil melakukannya.
To Be Continued.
Hehe, haloo!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang dan Istirahat
Fanfiction"Haikal, aku mau jadi bulan," celetuk Hestia pada sang Kekasih. Haikal menoleh kearah Hestia yang tengah menatap langit malam. "Kalau gitu aku mau jadi bintang," ujarnya. Hestia menatap Haikal. "Aku mau jadi bintang, supaya aku bisa nemenin kamu dia...