🌱 2

22 4 7
                                    

Biasanya Rio tidak menaruh banyak perhatian pada ponselnya. Baginya, gawai itu tidak lebih dari sekadar radio tanpa antena, kamera tanpa film, dan televisi tanpa batasan jam tayang. Tetapi kini benda itu seolah-olah telah menjelma menjadi telegraf nirkabel. Rio senantiasa awas menunggu kode 'SOS' ditangkap oleh sinyal sistem telegrafinya kendati ia tahu hal tersebut mustahil terjadi.

Ia tidak betul-betul menyadari semua ini sampai Masayasu menyentilnya.

"Ishida-san, apa kau sedang menunggu pesan penting?" tanya pemuda berambut cepak itu.

"Tidak, sama sekali tidak," tandas Rio. Tersipu, ia segera menyimpan ponselnya di saku celana denim.

Walau Masayasu terus memberinya lirikan penuh rasa penasaran, Rio pura-pura tidak melihatnya. Ia mengalihkan fokus pada tumpukan faktur di atas meja kasir yang sempat ia lupakan. Mengamati tanggal-tanggal yang tertera, Rio menghitung sisa waktu sampai tenggat pembayaran berikutnya untuk masing-masing barang tertunggak. Kecuali minuman dingin dan beberapa merek es krim, ia masih punya cukup waktu untuk melunasi tagihan.

Selesai dengan tugas administrasinya, Rio membereskan kertas-kertas tersebut. Sekarang apa?

Bisnis sedang lesu hari ini. Padahal sebelumnya Rio memprediksi jika penduduk desa akan beramai-ramai menyerbu tokonya setelah hujan memerangkap mereka di dalam rumah seharian kemarin. Gara-gara itu pikiran Rio berkeliaran ke mana-mana, dan memandangi ponsel yang bersih dari pemberitahuan apa pun sekarang jauh lebih seru daripada mengawasi toko yang kosong melompong.

Masayasu mungkin juga merasakan hal yang sama. Tidak terhitung sudah berapa kali bocah SMA itu keluar masuk toko, merapikan deretan teh kalengan di dalam lemari pendingin—yang sebetulnya masih berjajar lurus—mengelap jendela, menyapu lantai, bermain dengan Fuku, dan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tak sanggup Rio catat dalam benaknya.

Namun, barangkali kesibukan tak bermakna itu lebih baik, sebab Rio tidak tahu mesti berkata apa seandainya Masayasu masih mempertahankan rasa penasarannya.

Oh, bukan apa-apa, aku cuma sedang mengkhawatirkan Alan. Aku belum melihatnya sejak pagi ini, tapi itu mungkin balasan karena aku menghindarinya lebih dulu. "Kenapa" katamu? Yah, aku merasa canggung saja kalau mengingat laki-laki itu tiba-tiba mencium bibirku kemarin.

Apakah pekerja paruh waktunya itu bakal melempar tatapan jijik pada Rio jika ia mengatakan itu?

Ya, kemungkinan besar pandangan jijiklah yang akan ia terima dari Masayasu. Setelahnya, bisa dipastikan pemuda itu akan absen dari shift kerjanya di sisa musim panas ini, dan Rio hanya perlu menunggu sampai desas-desus merebak di seluruh pelosok desa. Wah, ia benar-benar tidak sabar menanti hari itu tiba. Diusir dari satu-satunya tempat yang menerimanya bukan hal yang semengerikan akhir zaman.

Rio tumbang di bangku kayu panjang, di muka toko. Masayasu, yang ternyata tengah menghabiskan waktu dengan memberi camilan untuk Fuku di sudut pekarangan yang kering, menoleh saat mendengar kerotak dari balik punggungnya. Rio sekilas mendengarnya mengatakan sesuatu pada kucing belang tiga liar itu (kedengarannya sesuatu seperti sebentar, ya atau tunggu aku, Fuku-chan) sebelum menghampirinya.

"Kau baik-baik saja, Ishida-san?" Masayasu menempati ujung bangku yang lainnya.

Rio ingin menggeleng, tetapi ia justru tersenyum samar dan berkata, "Seperti yang kau lihat."

"Menurutku kau tidak terlihat baik," balas Masayasu.

Rio melongo, terkagum-kagum akan ketajaman penglihatan putra tertua dari pasangan Harada tersebut. Entah mengapa seiring dengan setiap kilatan emosi yang tersirat di wajah Rio, Masayasu seolah-olah secara naluriah memahami makna yang terkandung di dalamnya—seakan-akan bocah itu memiliki indra keenam yang mampu memahami cara kerja pikirannya. Rio belum pernah menjumpai kepekaan semacam itu pada manusia lain, dan ia merasa terhibur sekaligus terintimidasi olehnya.

Dan BersemilahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang