[5] Pekerjaan Baru

6.1K 374 1
                                    

"Berapa kali saya harus bilang, agar tidak stres?" Dokter berumur lima puluhan itu menatap kesal ke arah pasien yang kini sedang terbaring lemah di atas bangsalnya. "Cedera di kepalamu itu!" Dokter itu menujuk kepala pasien dengan pulpen hitam di tangannya. "Kalau kamu masih ngeyel, saya nggak akan tanggung jawab kalau tiba-tiba kamu kena alzheimer atau amnesia akut sekalipun!"

Pasien itu tertawa lemah. "Iya, Dok. Iya."

Dokter itu menghela nafas panjangnya. Menatap laki-laki yang kini terbaring di atas bangsal itu dengan tatapan nelangsa.

Mengenal lebih dari 10 tahun bukan berarti ia mengerti semua hal tentang laki-laki itu. Karena sampai sekarang, ia tidak mengerti bagaimana laki-laki itu hidup dengan penuh ambisi balas dendamnya.

"Lupakan balas dendam itu sebentar," ucapnya pelan sarat pengertian. "Hidupmu masih panjang, Ren. Bukankah sia-sia kalau hanya hidup karena balas dendam?"

"Akan lebih sia-sia lagi jika semuanya jatuh di tangan orang yang salah. Dan kebenaran tidak pernah terungkap."

Dokter yang disapa Dokter Ibnu itu menghela nafas panjangnya lagi. Menahan bibirnya untuk memberi nasehat untuk laki-laki itu. Membiarkan untuk sementara agar laki-laki itu bisa berbuat semaunya.

***

Hari ini Dewi kembali bekerja. Otaknya sudah mencoba melupakan segala kejadian waktu lalu. Melupakan kenyataan bahwa Ilmi telah mengorbankan dirinya untuk menolong Dewi dari mafia itu. Tapi berulang kali dicobanya, ia tetap tak bisa.

Pikiran tentang pengorbanan itu memenuhi kepalanya. Membuatnya kembali pusing, di saat Rofik juga tidak mau menyelesaikan masalah mereka meskipun Dewi sudah berusaha berbicara baik-baik dengannya.

Dewi mendesah panjang. Memasang kartu ID-nya pada alat pendeteksi dan memasuki lorong menuju ruangannya.

"Hai, Dewi."

Perempuan manis itu mendongak. Terkejut luar biasa saat menemukan orang yang kini duduk tepat di kursi milik Ilmi.

"Vina? Kok bisa?"

Vina tersenyum tipis. Menatap Dewi misterius.

***

Kedua mata Ilmi menatap serius ke arah monitor di hadapnnya. Kedua tanganya berlari lincah di atas keyboard. Di sampingnya ada beberapa Hacker handal seperti dirinya. Bahkan jauh lebih handal lagi.

Ilmi tak habis fikir, mengapa juga Sun World harus memperkerjakan Hacker begitu banyak? Apakah mereka akan menyerang sebuah Negara?

"SIP! Sedikit lagi... sedikit lagi..."

Ilmi kehilangan fokusnya saat Baron, anak muda yang duduk di sebelahnya, berteriak senang dengan kedua tangan masih berlarian di atas keyboard. Kacamatnya bahkan sampai melorot.

"BARON! Shut up!" Ilmi mendesis masih sambil meng-hack salah satu sistem keamanan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan besar.

"Sorry, baby."

Kembali, Ilmi mendesah kesal. Baron selalu saja memanggilnya seperti itu meskipun hubungan mereka tak jauh dari rekan kerja.

"Sekali lagi kamu panggil dia dengan sebutan itu, kamu akan berada dalam bahaya, Baron."

Terkejut. Keduanya langsung menoleh ke belakang dan menemukan Brian berdiri dengan jas biru tua yang melekat indah di tubuhnya. Rambut hitam yang begitu memesona dengan senyum tipis yang meluluhkan hati ribuan perempuan.

"Sorry, Bro. Janji nggak lagi deh." Baron nyengir. Menunjukkan deretan gigi putihnya. "Tapi, beneran deh, kalian ini ada hubungan spesial, kan!?" tembak Baron langsung.

Beautiful HackerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang