Happy reading 🌼
Matahari perlahan meninggi, panasanya menembus dari ujung kepala sampai kaki. Kipas ruangan dan kipas tangan, ah lebih tepatnya buku yang dijadikan kipas tak mampu menyegarkan suhu. Hati ingin teriak! tapi apalah daya, ulangan Kimia membuat kami tertahan dan bersabar. Kurang 25 menit lagi selesai. Ohh sungguh, rasa frustasi sangat mendominasi.
“Sttt sttt… Nay, nomor 3!” Kepala Naya menoleh ke samping kanan. Terlihat Karin yang sedang memandangku dengan tatapan penuh harap.
“Plisss tinggal itu aja,” ujar Karin menyatukan kedua tangan di depan wajah sambil sedikit membungkuk. Takut kalau-kalau Bu Mery memergoki kelakuannya.
Perlahan namun pasti Naya memberanikan diri menggeser jawabannya agar bisa terlihat dari sudut pandang Karin. Namun, matanya tetap siaga kesana-kemari mengikuti pergerakan Bu Mery.
“Sttt udah?” pertanyaan yang Naya ajukan berkali-kali kepada Karin karena tak kunjung selesai. Beberapa detik setelahnya Karin mengacugkan heart sign andalannya bersamaan senyuman cantiknya.
“Nomor 5?” kini giliran Naya yang bertanya pada Karin dan dihadiahi pelototan mata tak percaya.
“Bisa-bisanya seorang Naya bertanya padaku? Jelas-jelas ia lebih pintar.” Kemungkinan itulah isi pikiran Karin.
Oh ayolah bukankah itu gunanya teman? Saling membantu. Naya hanyalah manusia biasa, seorang Thomas Alva Edison saja bisa melakukan kesalahan apalagi siswi macam Naya yang belajar hanya ketika ada tugas.
“Cuma memastikan.” Karin yang masih memandang Naya dengan heran, perlahan menggeser lembar jawabannya. Setelah melihat jawaban yang sama, Naya mengacungkan heart sign seperti yang Karin lakukan. Dasar korban drama negeri gingseng.
“Oke… waktu sudah habis! Selesai tidak selesai kumpulkan!” ucapan Bu Mery memecah keheningan ruangan. Beberapa murid mulai berjalan cepat ke depan. Bukan karena takut dengan Bu Mery yang dikenal perfectionist itu, melainkan sudah muak berkutat dengan soal-soal Kimia yang bahkan tidak akan sepenuhnya terpakai di kehidupan ini.
Saat berjalan ke luar kelas, terlihat banyak sekali murid terutama perempuan mengelilingi koridor depan kelas.
“Ada apaan sih? Rame banget?” ucap Naya sambil menyamakan jalan dengan Karin, takut jika ia tidak mendengar .“Biasa… tuh anak basket,” jawab Karin dengan acuh. Seketika pandangan Naya tertuju pada lapangan basket yang memang tepat berada di depan kelas.
Ohh ternyata ada pemandangan gratis untuk memanjakan mata. Terlebih setelah berkutat dengan pekan ulangan Minggu ini. Terlihat tubuh dan rambut para pemain basket dibanjiri keringat. Sepertinya mereka bermain sudah lama.
“Kuy, kita lihat pertandingannya kayaknya seru banget!” tanpa aba-aba Karin menarik tangan Naya.
“Tumben, biasanya paling males,” tanya Naya yang sedikit keheranan dengan tingkah laku teman cantiknya itu.
“Mumpung babak terakhir nih, itung-itung refreshing biar otak kita selamat.” Jawaban Karin membuat keduanya tertawa. Baiklah mari kita menikmati pertandingan sengit antar kubu di siang ini.
Atensi Naya tertuju pada sosok laki-laki dengan armband. Namanya Jevano sang kapten kebanggaan seluruh kingdom persekolahan ini, ditambah ia juga menjabat sebagai Ketos (Ketua Osis) periode tahun ini. Tubuh proporsional, tampan, pintar, kesayangan para guru. Oh jangan lupa ia anak tunggal kaya raya. Itulah sederet pengetahuan Naya dari gosip yang beredar.
Namun, dalam pandangannya Jevano ialah sosok siswa yang seharusnya di-blacklist untuk menjabat sebagai Ketos. Sikapnya yang sok tegas dan sedingin es itu membuatnya risih. Lihatlah bahkan di saat cuaca panas seperti ini ekspresinya tak berubah, datar. Sayangnya penghuni kingdom persekolahan ini malah suka modelan Jevano. Dingin-dingin misterius gitu, padahal nggak ada manis-manisnya.Kedua tim masih beradu sengit untuk memepertahankan bola di tangannya. Segala teknik yang mereka punya dikeluarkan. Kini secara ajaib entah bagaimana bola itu berpindah di tangan Jevano. Dengan gesit ia mampu melewati pertahanan tim lawan, alhasil ia dapat menembak bola ke dalam ring. Terdengar sorak-sorakan heboh siswi di seluruh penjuru sekolah ini. Di tambah para pengikutnya yang mendukung dengan berbagai atribut sekolah, membuat Naya tertawa kecil.
Atensinya kini beralih pada sahabat karib si Ketos, bahkan ia disebut sebagai kembaran tak identik Jevano. Siapa lagi kalau bukan Jey, si tampan dengan tubuh tinggi dan atletis, berotak pintar, baik dan sopan. Paket lengkap bukan? walau tidak memungkinkan ia juga pernah badung seperti teman sepergegnya. Biasa dipanggil King Arthur karena memegang sabuk hitam taekwondo dan tak jarang juga mewakili sekolah dalam perlombaan nasional. Menurut Naya dari pada Jevano lebih baik Jey yang jadi Ketos. Bakalan makmur ini sekolah. Karin pun setuju dengan pendapat itu.
Yah tapi mau bagaimana lagi, para penganut BIM (bias is mine) Jevano menyogok penduduk sekolah untuk memilihnya dengan iming-iming makan gratis di kantin. Terlepas dari itu, feeling Naya tetap Jevanolah yang akan unggul secara ia sudah menang telak dalam segala hal. Prestasi yang ia sumbang untuk sekolah ini terhitung lumayan, baik akademis maupun non akademis. Oh jangan lupa ditambah dengan kepopulerannya. Menjadi populer adalah aspek pertama ketika akan mencalonkan diri. Benar bukan?
Toh si Jey juga sepertinya enggan mengajukan diri untuk jadi ketua. Heran sih! Notabene si Jevano yang dingin tanpa ekspresi bisa lebih unggul dari pada si Jey yang always senyum sama siapapun, dimanapun dan kapanpun. Kalau dilihat dari prestasi, apalagi bidang akademis Jey tergolong siswa yang sudah memberikan seluruh jiwa dan raganya untuk sekolahan ini. Perihal populer, Jey 11/12 sama si Ketos kan satu geng. Kaum BIM nya juga setara dengan Jevano. Jika disuruh memilih antara Jevano atau Jey, jelas pilih Jey. Udahlah pokoknya paket lengkap dia.
“Naya… heh!” sentak Karin di sampingku yang membuatku sedikit berlonjak.
“Kenapa sih? Ngelamunin apa?” tanyanya lagi dengan sedikit tawa di akhir.
“Enggak kok.” Elakku. Bisa berabe kalau Karin tau aku ngelamunin para pentolan sekolah.
“Alah gausah alesan, lagi liatin anak basket yang mana?” tuh kan ini anak bakalan mulai.
“Udah deh, kuy ke kantin laper aku.” Tanganku mulai menarik tangan Karin menjauhi lorong depan kelas yang sudah dipenuhi oleh para penoton yang haus hiburan.
“Ayo dong Nay, ngaku siapa tadi yang bikin kamu ngelamun sampe segitunya?” tanya Karin memaksaku untuk jujur. Ku balas dengan helaan napas dan gelengan kepala.
“Wihh seorang Naya, si master Matematika yang selalu berkutat dengan novel dan drakor ternyata tertarik juga dengan para buaya.” Tawa Karin pecah memenuhi lorong menuju kantin yang sepi.
“Aku masih normal ya Rin, asal kamu tau!” jawabku sedikit mencibir Karin. Entahlah apa yang ada dipikarnnya setelah mendengar jawabanku yang terkesan mengiyakan.
Kaki kami menuju kantin yang sepi, hanya beberapa makhluk sekolah yang duduk santai sambil mengunyah makanan yang ada di depannya. Terdeteksi bahwa mereka anak-anak introvert yang masa bodoh sama sekolah ini, anak yang ambis dan nggak mau kalah apapun yang terjadi. Eh minus kami berdua dong pastinya.
“Tumben ini kantin sepi kayak kuburan.” Celetuk Karin sambil melihat-lihat menu mana yang akan ia ambil.
“Bukankah hal ini menandakan bahwa pertandingan para pentolan sekolah lebih menarik dari pada makanan, nona Karin? Bahkan mereka tidak memperdulikan cacing-cacing di perut yang sudah berdemo?” umpanku pada Karin.
“Yes, Miss Naya. Bukankah ini juga menguntungkan bagi kita? Karena tidak akan menunggu lama untuk mendapatkan sesuap nasi.” Jawab Karin yang mengambil umpanku. Tawa kami menggelegar, keluarlah sifat 4D kami berdua. Masa bodoh dengan beberapa makhluk di kantin. Toh kalau mereka protes karena berisik ya… kenapa? Ini kan kantin bukan perpus.
*****
YOU ARE READING
Teritori
Teen FictionPerjalanan sebuah sampan kecil yang mengarungi lautan entah menuju ke mana. Salahkah jika ia menuju di berbagai dermaga? hanya sekedar singgah tidak untuk menetap. . . . Just a story in this life.