T02: Rumah

1 0 0
                                    

🌼🌼🌼

“Naya pulang....” Suaranya menggema di seluruh penjuru ruangan rumah. Oh ia lupa terhadap kebiasaan yang selalu dilakukan ketika masuk rumah dan pastinya tak akan ada jawaban. Tubuhnya mematung di ambang pintu masuk. Matanya merotasi ke seluruh penjuru ruangan. Sungguh, bahkan ia lupa bagaiaman rasanya disambut ketika pulang sekolah. Sadar akan hal itu ia menggelengkan kepala dan cepat-cepat masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
Naya berjalan menuruni tangga depan rumah yang mampu membuatnya ngos-ngosan. Namun, kakinya yang sudah terbiasa dengan hal itu melangkah dengan ringan.

Tiiing
Tiiing

Suara lonceng menggema di bagunan yang baru ia masuki.
“Selamat datang.” Suara lembut wanita menyahuti dari dalam.

Hello Mrs. Maya,” ujar Naya menginterupsi kegiatan wanita yang sedang menunduk, entah sedang melakukan apa.

“Ohh hai dear, sudah pulang sekolah?” tanyanya sambil berjalan mendekati Naya.

“Ada yang bisa saya bantu Mrs. Maya?” tawar Naya kepada wanita itu.

“Makanlah dulu!” ujarnya sambil mendorong kecil tubuh Naya untuk duduk di kursi. Lantas ia berjalan menuju dapur dan pantry dengan membawa nampan yang kemudian diberikan pada Naya.

“Tumben sepi? Sudah habis semua?” ujar Naya penasaran, namun atensinya tertuju pada nampan yang berisi mangkok ukuran besar  dengan berbagai jenis lauk disekitarnya. Detik berikutnya beralih menatap wajah sang pemberi. Ia mengangguk sebagai jawaban. Mereka sama-sama tersenyum.

“Ibu cantik,” ucap Naya tiba-tiba yang dihadiahi cebikan bibir oleh wanita tadi atau lebih tepatnya Ibu kandungnya.

“Makan itu, sebelum dingin!” tangannya dengan lembut mengelus pundak Naya kemudian berdiri menuju dapur.

Eyyy why Mrs. Maya? Apa kamu tersipu?” goda Naya padanya.
“Pada anak SMA? Big no!” jawabnya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Naya tertawa, tuh kan? Gimana coba cara ia menghilangkan sifat 4D sedangkan pusat DNA-nya macam begitu orangnya, sama-sama 4D.
Coba Naya mirip Ayahnya. Dijamin nggak perlu mikir dua kali ketika mengerjakan tugas. Serasa Albert Einstein cabang lokal.

Berbicara tentang Ayahnya, sebetulnya Naya belum bisa memaafkannya. Walaupun Maya selalu mengingatkan Naya untuk memaafkannya sekaligus selalu mendoakannya sebelum tidur. Nyatanya rasa benci pada Ayahnya semakin besar tatkala melihat perjuangan Maya  mengumpulkan sepeser uang untuk biaya sekolah yang semakin membengkak. Pernah ia usul pada Maya agar rumah atas dijual. Toh mereka bisa tinggal di lantai dua kedai ini. Pikir Naya mereka hanya hidup berdua, nggak lucu kalau tidur pisah. Naya yang selalu tidur dan membersihkan rumah atas sedangkan Maya Ibunya 24/7 selalu di kedai berkutat dengan makanan dan para pelanggan. Bisa juga beli rumah baru atau apartemen yang lebih kecil dari rumah itu. Naya yakin nantinya juga tak berpenghuni. Namun, Ibunya itu selalu menjawab “Nanti kalau Ayahmu pulang kasian rumahnya tak ada. Biar gitu aja, kan kamu juga bisa berlatih mandiri. Sekarang rumah atas adalah tanggung jawabmu.”

Kadang sampai heran, hati Ibunya itu terbuat dari apa? Benar kata pepatah, mungkin Ibu adalah malaikat tanpa sayap yang nyata. Setiap malam Naya sering menangis entah ia benci Ayahnya atau benci pada jalan hidupnya. Terhitung 10 tahun tak ada kabar dari Ayahnya. Setelah malam pesta ulang tahunnya yang ke-7, Ayahnya pergi tanpa pamit. Ia melihat Ibunya yang terus menangis dan memohon kepada Ayahnya untuk tetap tinggal.

Walau pada saat itu Naya masih kecil, namun ia paham apa yang sedang terjadi. In fact, tidak selamanya anak kecil dapat dibohongi oleh orang dewasa.

“Naya, nanti antarkan makanan ini ke Bibi Hani” ujar Maya membuyarkan lamunannya, lantas ia melihat makanan di depannya yang masih banyak. Cepat-cepat ia habiskan agar Bibi Hani pelanggan setia sekaligus teman kecil Ibunya tak menunggu lama.

“Pelan-pelan. Kamu sih keasikan melamun.” Maya  menegurnya sambil menggelengkan kepala, lantas ia mengambilkan minum untuk putrinya yang mulai tersedak. Sedangkan Naya hanya mengacungkan jempol sambil meraih gelas berisi air putih yang disodorkan Ibu.

“Aku berangkat.” Ujar Naya tatkala menyelesaikan tegukan terakhir kemudian berjalan mendekati meja dengan kantong keresek berisikan makanan milik Bibi Hani.

“Hati-hati!” peringat Maya melihat Naya berlari kecil setelah menyambar kunci motor dari tangannya.

*****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TeritoriWhere stories live. Discover now