O1. Number Two

1K 63 3
                                    

Suara hujan yang jatuh di atap-atap sekolah lebih kencang daripada suara beberapa guru di sana. Sebagian siswa tampaknya terlalu nyaman dengan cuaca dan suhu ruang kelas yang sejuk. Masih banyak siswa yang memaksakan diri untuk tetap fokus pada penjelasan guru meski mereka merasa lelah dan ingin tidur.

"Masih inget kan cara hafalnya?"

"Inget, Bu."

Mereka jengah, tapi takut menghadapi ujian. Guru mereka membuat lagu untuk menghafal rumus kimia, jelas sangat jauh dari jenis lagu di era sekarang.

"Kalau gitu, kita tutup dulu sampai sini. Tari, pimpin doa."

"Sore teman-teman, sebelum kita pulang, mari kita tutup kelas dengan berdoa. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdoa dimulai."

Seisi kelas hening dan menurut. Beberapa dari mereka menunduk dan berdoa.

"Berdoa selesai."

"Beri salam."

"Selamat, sore Bu. Terima kasih, Bu."

"Ya, sama-sama. Nilai try out udah ada di mading ya."

"Siap, Bu."

"Aduh, takut banget dah gue."

Itu hasil tes uji coba pertama untuk siswa SMAN 1, mungkin yang pertama diantara sekolah lain juga. Banyak siswa yang kaget karena pengumuman tentang tes uji coba itu diberikan kurang dari dua hari.

"Dev!"

Hanya tersisa setengah murid yang masih ada di kelas IPA 3. Salah satunya Devon, si peringkat dua di sekolah. Sejak tes masuk sampai sekarang, ia selalu ada di peringkat dua dalam hal apapun dan mata pelajaran apapun. Itu karena ada siswa lain yang konsisten mempertahankan posisi peringkat satu.

"Kenapa, Mal?"

"Ayo liat nilai."

"Si Joe mana?"

"Lo gak liat? Dia udah ngacir duluan tadi."

"Cepet amat."

Devon menggendong tas ransel, lalu berjalan mengikuti Malik keluar kelas. Mading sekolah hanya ada satu di depan ruang guru, jadi sudah jelas kalau suasana di sana luar biasa ramai sekarang. Para siswa berdesakan untuk melihat nilai mereka masing-masing.

"Joe!"

"Woy, tolong! Misi bentar, misi, permisi."

Joe berusaha keluar dari kerumunan dan menggapai tangan Malik. Devon tertawa melihatnya seragam Joe yang sudah lecek, rambutnya berantakan total.

"Gimana nilai lo?"

"43 anjir, gak kayak nilai ya."

"Jelek amat cok."

"Lo liatin nilai gue gak?" tanya Devon, ia menepuk bahu temannya karena kasihan.

"Lupa, tapi kayaknya lo aman deh."

"Keren amat lo, Nu. Peringkat satu lagi."

Suara dari kerumunan itu membuat Devon menoleh. Ia penasaran sekaligus ingin melihat orang yang dipanggil Nu tadi. Matanya melirik dengan cepat, memperhatikan sosok laki-laki yang sedang dirangkul oleh teman perempuannya.

Laki-laki itu pasti Danu. Dia memakai kacamata yang tipis dan rambutnya ditata rapi. Dahi lebarnya ditutupi oleh beberapa helai rambut.

"Udah sepi tuh, ayo liat punya kita."

Ketika lengan Devon ditarik oleh Malik, kebetulan Danu ditarik oleh temannya untuk menjauh dari kerumunan. Mereka sudah selesai melihat nilai mereka, jadi tidak ada gunanya tetap berada di sana dan berdesakan. Tangan Devon terangkat, memeriksa tiap nama yang ada di daftar dan mencari namanya.

THE REAL DANU | HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang