O6. Good Sound

411 45 1
                                    

Rasanya ingin menyerah. Sudah tiga jam Devon tidak keluar dari kamar mandi. Berkali-kali pikiran tentang semua usaha juga rasa sakit yang ia rasakan saat bersetubuh dengan Danu menghantuinya. Perutnya sudah kosong. Begitu pula dengan isi pikirannya karena ia tidak menemukan jalan keluar dari ini semua.

.

Hari tetap berlalu. Devon tidak dapat membiarkan dirinya tertinggal, jadi ia tetap datang ke sekolah seperti biasa. Kegiatan belajar berjalan dengan lancar. Ia sengaja menahan diri untuk tidak ke kamar mandi sejauh ini. Takut bertemu dengan Danu di sana, juga belum siap menghadapi orang itu.

Tangan Malik merangkul leher Devon sepanjang jalan mereka ke kantin. Rasanya sudah lama sejak terakhir kali mereka ke kantin bersama. Jam istirahat membuat orang-orang di sana berdesakan. Kantin sangat ramai saat itu. Hampir semua kursi terisi penuh.

"Berasa abis musuhan terus baikan ya?"

Saat itu Devon tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke kanan-kiri, seperti sedang mencari-cari seseorang. Ia tampak tidak tenang.

"Oy Dev, lo kenapa?"

"Gak kenapa-napa."

"Melamun mulu."

"Butuh healing kali."

Mereka akhirnya mendapatkan tempat duduk. Itu hasil dari menunggu sekelompok siswa yang sudah selesai makan.

"Gas, kelar try out, gimana?"

"Emang libur?"

"Libur."

"Gue gak tau bisa ikut gak, kan mau ujian."

"Nanti gue yang bicara sama mama lo deh."

Obrolan mereka terus berlanjut. Sesekali Malik akan melontarkan gurauan yang garing, sehingga Joe dan Devon hanya bisa tertawa dengan terpaksa. Pesanan mereka pun rasanya masih akan lama datang.

Ketika kumpulan orang-orang di depan meja mereka beranjak, Devon dapat melihat Danu dan teman-temannya menempati meja itu. Ia juga dapat melihat Danu tersenyum ke arahnya, entah apa maksud dari sikap itu. Namun, cukup bagi Devon untuk merasa kurang nyaman.

Itu adalah kali terakhir ia bertemu dengan Danu sebelum tryout. Begitupula hari pertama dan kedua. Rasanya Devon lebih tenang dan seperti tidak terjadi apa-apa padanya. Ia benar-benar serius dengan perkataannya, menghindari kamar mandi dan perpustakaan. Ia lebih memilih untuk belajar bersama dengan Malik dan Joe di dalam kelas atau halaman basket.

Tapi harusnya ia tidak terlalu memaksakan diri tentang pergi ke kamar mandi. Pada akhirnya ia menyerah di akhir ketiga dan memutuskan untuk pergi ke kamar mandi saat jam istirahat. Pikirannya terus berisikan kalimat-kalimat bahwa ia tidak akan bertemu dengan Danu karena mustahil bagi mereka untuk selalu bertemu saat Devon sedang sendirian. Namun, nyatanya tidak begitu.

Danu muncul dari pintu, tapi wajahnya terlihat terkejut pula. Kemungkinan besar ia memang tidak menduga jika akan bertemu dengan Devon di sana. Senyum lebar muncul pada wajahnya.

"Halo, Dev. Long time no see."

Devon tidak menjawab, terus memakai sabun pada tangannya.

"Sombong banget," ujar Danu, terlihat menahan kekehan sembari membuka keran air yang lain. Tapi ia tidak menggunakan itu, justru bersandar pada wastafel di sebelah Devon. Merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya.

Pada awalnya Devon tetap tidak menanggapi dan terlihat tak acuh. Ia menutup keran sesudah membilas tangan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara desahan yang ia kenal terdengar dari ponsel Danu. Ia tidak bodoh untuk lambat mengenali suaranya sendiri. Dan itu membuat jantungnya terasa seperti ingin meledak.

"Masih mau diemin gue?"

"Darimana kamu dapet itu?"

"Ga sengaja kerekam," jawab Danu santai, seolah itu bukan masalah besar.

"Hapus, Danu."

Tubuh Devon menggigil ketika hendak menggapai ponsel Danu. Matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam, Danu dapat lihat.

"Semangat tryoutnya. Nanti kalo udah selesai dan nilai lo bagus, baru gue kasih ke elo."

Danu tersenyum di akhir kalimatnya. Lantas ia pergi dari sana sesudah mematikan ponselnya, meninggalkan Devon sendirian.

Tubuh Devon semakin gemetar tidak karuan saat ia berhasil mengunci diri di dalam bilik kamar mandi. Tangannya tetap menggenggam ponsel dengan erat. Takut kehilangan itu.

"Ekk–"

Air mata mengalir pada pipi Devon saat ia berusaha memuntahkan isi perutnya. Itu seakan percuma karena hanya air yang keluar.

Ia menggigit bibir bawahnya dan kembali duduk, bersandar pada dinding bilik.

Suara bel istirahat tidak menghentikannya. Bahkan darah segar mengalir dari bibirnya. Devon menggigit terlalu keras, tapi itu tidak terasa sakit sama sekali. Dan tubuhnya masih tetap gemetar hebat.

"Brengsek."

Tangannya semakin meremat ponsel. Ia tidak berhenti menangis. Kini memilih untuk memeluk lututnya, meringkuk di lantai. Kepalanya terasa pusing karena takut. Suaranya dan Danu sangat jelas dalam rekaman itu.

"Dev– Devon– lo di dalem?"

Suara Joe tiba-tiba terdengar dari luar, sehingga Devon menggigit punggung tangannya untuk menahan isakan. Ini semua terlalu berat dan mengkhawatirkan.

"Masalah mama lo lagi ya?"

Devon menggigit tangannya semakin keras.

"Dev– kalo ada masalah, ceritain aja. Gue pasti dengerin dan bantu kok."

'Lo gak bakal bisa bantu, Jo. Gak ada yang bisa bantu gue.'

.

Jumat, hari terakhir tryout.

Papan mading kembali menjadi sorotan para siswa. Mereka semua berkerumun di sana dan berdesakan untuk melihat nilai masing-masing.

"Dev!"

Tepukan ringan pada bahu Devon membuatnya terkejut. Ia menghindar, bahkan hampir terjatuh karena itu.

Malik menatap wajahnya bingung sebelum berkata, "Eh– sorry banget. Gue ga ada maksud ngagetin."

"It's okay kok," balas Devon, sembari tersenyum kikuk.

"Udah liat nilai lo belom?"

Devon menggelengkan kepala.

"Ayo liat, keburu makin sore ntar."

Devon berjalan di belakang Malik. Orang itu berusaha masuk ke dalam kerumunan. Menepis beberapa orang di sana dengan sopan.

Belum sampai di depan mading, tubuh Devon tiba-tiba menegang. Ia berhenti ketika melihat ada Danu yang berusaha keluar dari kerumunan itu.

Matanya bertemu dengan mata Danu. Ia dapat melihat laki-laki itu kembali tersenyum padanya, berjalan ke arahnya dan berbisik, "Apartemen XX jam delapan, besok." ketika melewatinya.

Devon tidak bergeming. Justru menelan ludah dengan susah dan menggigit bibir bawahnya dengan kasar. Tidak ingin menuruti perkataan Danu, tapi posisinya terdesak. Itu kalimat perintah, bukan pilihan.

"Njrit, Dev cepetan sini, Dev!" tegur Malik, suara itu menyadarkannya.

"Kenapa?"

"Lo peringkat satu njir!"

Baru kali ini Devon tidak senang ketika berada di peringkat satu. Padahal itu merupakan tujuannya sejak awal. Membuat namanya berada di atas nama Danu dalam daftar nilai.

THE REAL DANU | HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang