Chapter 03

229 39 2
                                    

Nara menendang kaleng setiap langkahnya. Dia mencebikkan bibir karena kesal dengan insiden di sekolah tadi. Dia memiliki firasat yang sangat buruk soal kedatangan Arles ke sekolahnya.

Buat apa si kaya itu menjadi guru pengganggu. Nara tahu pekerjaan guru baru itu sangat berat dan sibuk tapi bukan berarti seperti ini.

"Kalian gak bosan kejar gue terus?!" tanya Nara jengkel.

"Bayar hutang dulu baru kita lepaskan lo!" seru Deni.

"Minta ke rumah si Monika langsung kepada ke gue! Udah gue bilang beribu kali bukan gue!" tegas Nara.

Deni mengeluarkan buku berwarna hitam berisi catatan hutang para nasabah yang sudah menumpuk. Deni melemparkan kertas berwarna merah muda.

"Di sana tercatat nama Nara beserta foto! Masih mau mengelak?!" Deni membentaknya.

Kesabaran rentenir itu sudah diambang batas karena Nara selalu kabur dan tidak pernah membayar. Bayangkan hutangnya sebesar tiga puluh juta dan Deni sudah lelah menagih sebanyak tiga kali tapi Nara terus menghindar.

"Lo ikut gue!" ucap Deni menariknya.

"Gak mau!" tolak Nara menendang perut Deni.

"Seret dia!"

Tubuh Nara diangkat seperti karung beras menuju sebuah mobil. Nara memutar bola matanya. Dia dibawa ke klub malam tempat para rentenir itu berasal. Semua ini salah Monika yang meminjam uang atas namanya tapi tak bertanggung jawab.

Dia didorong hingga terjerembab ke lantai.

"Madam! Dia gadis yang meminjam uang tapi tak kunjung membayarnya! Saya membawanya!" ucap Deni tegas.

Dia bangun menepuk bagian yang kotor kemudian mengibaskan rambut menatap Madam pemilik klub malam ini. Gayanya tak jauh berbeda seperti wanita panggilan hanya lebih glamor.

"Kenapa kamu tidak membayarnya? Tidak seperti meminjam, memelas seperti ingin mati," sindir Madam Sri.

"Mereka salah orang. Uang tiga puluh juta itu gue sama sekali gak memakannya," ucap Nara serius.

Melihat bentuk uangnya saja tidak.

"Kamu boleh tidak membayarnya tapi kamu harus bekerja di sini sampai hutang dan bunganya lunas!" ucap Madam Sri memukulkan kipas bulu ke wajahnya.

"Boleh tapi dalam waktu sepuluh menit ke depan tempat ini bahkan tempat tinggal anda akan hancur," sahut Nara menantang.

Plak

Madam Sri menamparnya, tidak ada yang boleh menentangnya dan semua orang harus menunduk terutama gadis rendahan di hadapannya ini.

"Bicaramu begitu tinggi gadis cilik!" desis Madam Sri menginjak tangan Nara.

"Axilya Lenara?"

"Woah Tuan Arles! Di sekolah seperti guru tapi di luar mengunjungi tempat yang begitu ramah," sapa Nara sinis.

"Berani kau tidak sopan kepada pemilik tempat ini!" maki Madam Sri menambah rambutnya.

"SRI!" bentak Arles mendorong tubuh Madam Sri.

Pria itu duduk memeriksa keadaan Nara. Dia melihat bekas tamparan.

"Kenapa menamparnya?" tanya Arles.

"Dia memiliki hutang tiga puluh juta," sahut Deni ciut.

"Uang segitu baginya hanya setara tiga ribu rupiah. Kenapa kamu tak membayarnya?" Arles mengusap kepalanya.

"Bukan gue yang meminjamnya tapi mereka gak percaya!" adu Nara.

"Bangun Nara," ajak Arles.

Arles menatap Deni dan Madam Sri.

"Jangan ada yang mengganggu Xilya. Cari orang yang meminjamnya," ucap Arles tegas.

Nara tidak mau tangannya dipegang. Dia berjalan lebih dulu sambil menggerutu.

"Saya antar pulang," ajak Arles.

"No!" tolak Nara.

Arles mengikuti Nara berjalan kaki dengan menjaga jarak. Dia ingin memastikan gadis itu aman sekaligus mengetahui di mana tempat tinggalnya. Arles terkekeh kecil saat Nara membuka pintu kayunya paksa.

"Rumah kamu seperti Istana kenapa memilih tinggal di sini?" tanya Arles.

"Pak, tolong pergi asal bapak tahu meskipun gue tinggal di sini. Tapi jika gue manggil Bais. Dia bisa langsung datang!" seru Nara tajam.

"Saya gak akan macam-macam. Saya mau numpang dulu di dalam," ucap Arles masuk tanpa melepaskan sepatunya.

"Bapak mendingan pulang deh," usir Nara.

"Dulu kamu manggil saya Kakak. Dipanggil Bapak saya merasa sangat jauh dengan kamu," tutur Arles.

"Kita gak pernah dekat," sahut Nara melipat tangannya.

Arles tertawa, "Saya masuk ke rumahmu berarti hubungan kita sudah dekat," sahut Arles.

"Tapi Bapak belum pernah masuk ke rumah gue yang satu lagi." Nara melangkah maju, dia memegang pundak Arles kemudian menekannya. Sakit tenggorokannya jika terus mendongkak.

"Kenapa? Karena mulut gue terlalu panas di telinga Bapak?" tanya Nara mengejek.

"Nara, saya pergi memang karena omongan kakak kamu yang sangat pedas dan menyentil hati. Saya pergi untuk menunjukkan kepada jika saya adalah pria sejati," tutur Arles serius.

"Saya bersalah sudah meninggalkan kamu bahkan di hari ulang tahun kamu, saya tidak menepati janji saya kala itu. Maaf Xilya," tambahnya menyesal.

"Jadi Bapak menyalahkan perkataan kakak saya?" tanya Nara sinis.

"No, Xilya! Sama sekali tidak! Justru saya berterima kasih karena dia membuka pemikiran saya menjadi lebih terbuka," sahut Arles serius.

Nara tersenyum sinis. Arles mengangkat tangannya.

"Baik, kita ulang lagi dari awal."

"Senang bertemu denganmu lagi, Nara," ucap Arles menekan nama Nara padahal Arles sangat suka saat menyebutkan kata Xilya.

Nara terkekeh dia mengambil teko air dan mengguyur kepala Arles, pria itu diam sembari menundukkan kepalanya.

"Dingin?" tanya Nara mengejek.

Arles tiba-tiba memeluknya dan mencium bibir Nara ganas. Gadis itu memberontak dan mengigit bibir Arles. Namun, Arles tidak melepaskannya.

Sepuluh tahun dia pergi ke luar negeri menahan diri supaya tidak pulang ke tanah kelahirannya menemui Axilya Lenara demi membuktikan kepada Kakaknya Nara jika Arles adalah orang yang pantas bersanding dengan Nara.

Arles memberikan sentuhan-sentuhan kecil kepada Nara, hingga gadis itu terjerat ke dalam kabut nafsu yang diciptakan oleh pria itu. Arles mendorong Nara ke lantai. Pakaian atas Arles sudah hilang dan kancing kemeja Nara sudah terbuka.

"Axilya, Om datang jemput kamu pulang!"

Deg

Jiwa keduanya seolah ditarik paksa ke alam nyata oleh suara itu. Nara tidak berani menoleh karena tahu itu suara siapa.

"ASTAGHFIRULLAH. APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN?!"

"Abi Wisnu," sapa Arles memeluk Nara. Niatnya untuk menutupi tubuh itu.

"PAKAI BAJU KALIAN DAN IKUT SAYA!" bentak Wisnu.

GADIS RUBAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang