Axilya Lenara ingin membalikkan meja kaca di depannya ini, dia tak percaya kalau Arles benar-benar memanggil kedua orang tuanya datang malam juga ke rumahnya. Mood Nara berada di titik yang paling bawah.
Mama dan Papanya tidak bicara apapun atau membelanya sedikitpun, mereka berdua duduk diam sembari mendengarkan apa yang diucapkan oleh Arles.
"Om dan Tante ini kedua orang tua Arles. Mama Raisa dan Papa James," kata Arles memperkenalkan kedua orang tuanya.
Orang tuanya sekedar tersenyum dan memperkenalkan dirinya secara singkat.
"Kalian yakin mau menerima anak saya?" tanya Calais sinis.
"Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya!" balas Arles sungguh-sungguh.
"Saya akan memikirkan dulu dan berdiskusi dengan banyak orang," kata Zaro tegas.
"Saya tidak bisa mendapatkan jawabannya sekarang?" tanya Arles kecewa.
"No!" balas Calais tegas.
"Kenapa tidak, Tante?" Arles menunduk dalam.
"Saya memiliki alasan."
Keluarga Nara dan keluarga Arles berbincang sebentar membicarakan hal yang tentunya tidak jauh dari dunia perbisnisan. Sedangkan Nara mengulum senyum karena kebohongan Arles tidak mempan kepada keluarganya. Arles, Tante Raisa dan Papa James pulang.
"Berdiri kamu di tengah!" perintah Papanya tajam.
Dia menurut, berdiri di tengah-tengah dekat meja. Dirinya diperhatikan oleh Mama, Papa dan Kakaknya dari atas hingga bawah.
Mamanya menyibak rambut putrinya, mengendus wangi tubuh putrinya tersebut. Sebagai seorang ibu, dia memiliki insting dan feeling yang kuat serta bisa mengendus kebohongan dari putrinya sendiri.
"Wangi parfum murni, tidak bau pandan," komentar Calais kemudian melangkah memutari tubuh Nara.
"Dia berbohong," kata Arfan datar.
"Papa percaya seratus persen kepada Iya, kamu tidak akan pernah melakukan tindakan yang merugikan hidup apalagi masa depannya," sahut Zaro.
"Tapi tadi Papa malah gak percaya ke Iya!" protes Nara memberengut kesal.
"Sengaja biar Arles melanjutkan akting lebaynya itu," kekeh Zaro.
"Jadi Papa sepenuhnya tidak mempercayai perkataan Arles tapi malah mengizinkan pria itu membawa orang tuanya?!" tanya Nara tidak habis pikir dengan isi kepala Papanya ini.
"Papa ada urusan dan kamu tak perlu tahu," sahut Zaro.
Nara setidaknya bisa bernapas lega karena keluarganya tidak mudah mempercayai orang lain seperti dulu. Mungkin karena terlalu banyak pengalaman.
"Mulai sekarang kamu kembali ke rumah!" tegas Calais.
"Iya masih mau tinggal di sana," ucap Nara cemberut.
"Menurut saja apa yang diucapkan Mama!" perintah Zaro.
"Siap, Papa!" sahut Nara tidak berani lagi memperotes.
Nara kembali kamarnya yang sudah lama tidak dia tempati meskipun begitu kamarnya ini tetap bersih dan biasanya mama dan Papanya selalu menempati kamar ini, intinya kamar ini tidak pernah dibiarkan kosong.
Dia merebahkan tubuhnya, jujur dia merindukan empuknya kasur ini. Dia memeluk gulingnya kemudian menghirup wangi dari guling tersebut.
Marva calling...
Nara meliriknya lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Apa lo nelpon-nelpon gue?!" tanya Nara galak.
"Dari suaranya lo lagi gak mood tuh!" terka Marva tertawa.
Suara Marva itu bisa membuat gadis-gadis kegirangan dan lupa diri berbeda dengan Nara yang biasa saja mendengarnya.
"Langsung intinya aja lo mau apa?" tanya Nara datar.
"Ambil teropong lo dan pergi ke balkon kamar," perintah Marva.
"Malas jalan gue!" sahut Nara menolak.
"Sebentar Xilya, gak lama kok," pinta Marva sedikit memohon.
Dia mengusir rasa malasnya dan beranjak mengambil teropong. Dia mengikuti intruksi yang diberikan oleh Marva.
"Kalau rumah lo gak mirip istana, teropong gak diperlukan sih tapi gimana lagi. Rumah lo bagus," kata Marva.
Dia tak mendengar ocehan dari Marva. Nara memegang teropongnya, melihat ke seberang sana tepatnya rumah pemuda bernama Marva itu.
Balkon kamar Marva dipenuhi oleh balon berwarna biru dan putih.
"Lo lagi merayakan pesta ulang tahun siapa?" tanya Nara.
Marva mengangkat bolu mini supaya Nara dapat melihatnya dengan jelas.
"Lo lupa ya?" tanya Marva terkekeh.
"Lupa apa?" tanya Nara bingung, dia sama sekali tidak mengingat ada acara penting atau semacamnya hari ini.
"Tanggal ini hari ulang tahun gue yang ke tujuh belas tahun. Awalnya gue mau merayakan sendiri, eh gue lihat jendela kamar lo menyala," kata Marva.
Deg
Hati Nara mencelos, dia lupa hari ini. Dia biasanya merayakan ulang tahun Marva bersama Kenanga. Pemuda itu sangat kesepian dan tidak memiliki siapapun untuk merayakan ulang tahunnya.
"Gue ke sana. Kita tiup lilin bareng ya," kata Nara mengambil jaket berwarna merah.
"Awas aja lo gak nunggu. Gue pundung satu minggu!" ancamnya.
Nara menutup panggilan teleponnya. Dia lalu menarik Kakaknya yang kebetulan sedang menonton televisi.
"Jangan narik-narik baju gue nanti melar!" seru Arfan jengkel.
"Si Marva ulang tahun. Temenin gue ke rumahnya," ajak Nara memaksa.
"Udah gede juga."
Nara tetap menarik kakaknya yang pasrah mengikutinya. Rumah mereka berhadapan tetapi karena jarak dari gerbang ke pintu utama itu lebar jadi terasa jauh.
"Kelihatan banget pedulinya, lo suka ke Marva ya?" tanya Arfan curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS RUBAH
HumorMereka memanggilnya rubah, bukan karena gadis itu dapat berubah wujud menjadi hewan berbulu orange tersebut. Melainkan sifatnya yang sebelah dua belas dengan hewan tersebut. Licik, manipulatif, dan misterius. Di hari gurunya sakit dia kembali berte...