Awal Mula

430 110 2
                                    

Wangi khas ayam bakar menyeruak memenuhi halaman rumah sederhana dengan empat orang anggota didalamnya, tiga anggota yang lain tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Sedangkan anggota termuda disana malah tengah asik selonjoran diatas saung seraya bermain game online.

"Eh dek kamu jangan hanya melihat saja, ayo sini bantuin aa'." pemuda manis berkulit-tan itu menoleh kearah sang kakak yang kini tengah berkacak pinggang seraya memegang kipas yang terbuat dari anyaman bambu.

"Gak mau ah a', Haikal cape" tolak pemuda manis yang kerap dipanggil Abhi oleh teman-temannya itu seraya merebahkan tubuh berisi-nya di atas saung kemudian ia mulai memejamkan matanya, membuat si sulung yang melihat itu hampir saja melemparkan kipas yang tengah ia pegang lantaran kesal melihat tingkah sang adik.

"Adek pikir aa' tak capek?!, lihat saja nih badan aa' sudah penuh dengan keringat" kata Jibran kesal, pemuda sipit yang lebih tua lima menit dari si bungsu itu mengomel seraya melepaskan peci yang sendari tadi ia pakai. Benar-benar tipikal anak sholeh memang berbanding terbalik dengan si bungsu yang kelakuannya sangat urakan.

"Sudah biarkan saja a' adeknya, mungkin adek beneran lagi cape" kata sang bunda seraya tersenyum manis.

"Cape apanya bun? Dari tadi dia cuma main hape aja kok" kata Jibran seraya mengerucutkan bibirnya sebal, membuat kedua orang tuanya yang melihat itu hanya terkekeh kecil. Umur kedua anaknya yang memang tak terpaut jauh itu sering kali membuat si sulung bersikap sangat manja. Seolah dirinya juga adalah anak bungsu di keluarga itu gelar kakak yang Jibran sandang pun kadang kali dilupakan oleh sang empu. Lantaran ia dan sang adik yang memang sepantaran umur keduanya bahkan sama. Yaitu tujuh belas tahun beruntung Haikal masih mau menghormatinya dengan memanggilnya aa'.

Walaupun demikian kadang kali Jibran bisa berlagak layaknya seorang kakak yang selalu melindungi adiknya, contohnya kemarin ketika si bungsu hendak di begal sepulang dari masjid pukul delapan malam. Pemuda sipit itu entah datang dari mana dengan sigap ia langsung melindungi si bungsu yang sudah ditodong menggunakan pisau. Dan berakhir dengan lengannya sendiri yang terkena sabetan pisau. Beruntung kala itu ada warga yang tengah melintas dan kedua begal itu langsung melarikan diri.

"Masih sakit?" tanya sang bunda seraya menyentuh perban yang tengah melilit di telapak tangan kiri Jibran.

"Sudah tidak kok bun" jawab Jibran seraya memperlihatkan eye smile nya, berusaha membuat sang bunda untuk tak perlu terlalu khawatir padanya.

"Eh ngomong-ngomong a', tahun ini sekolah aa' ngadain pesantren kilat lagi gak?" tanya sang bunda antusias.

"Ngadain kok bun, hanya saja tahun ini pihak sekolah memilih pondok yang berada di pinggiran kota. Aa' juga akan ikut. Kemarin aa' ingin memberitahu ayah dan bunda tapi aa' lupa" jawab Jibran seraya tersenyum manis, takut-takut jika kedua orang tuanya itu akan marah atas keteledoran-nya kali ini. Tapi bukannya marah sepasang suami istri paruh baya itu malah mengelus rambut si sulung dengan penuh kasih sayang.

"Adek ikut juga?" tanya sang bunda.

"Adek mana pernah ingin ikut bun, tahun ini palingan adek tak akan ikut lagi" kata Jibran seraya melirik kearah sang adik yang kini sudah terlelap di atas saung.

"Bunda ingin tahun ini adek ikut pesantren kilat, tahun depan aa' dan adek kan pasti sudah lulus. Jadi tahun ini kesempatan terakhir untuk adek bisa ikut" kata sang bunda seraya menunduk sedih, anak bungsunya itu memang sedikit susah untuk diatur.

"Ya sudah bunda saja yang mengatakannya langsung pada adek, aa' yakin jika bunda yang menyuruh adek pasti akan mau" kata Jibran memberikan semangat pada sang bunda yang kini tampak murung.

"Baiklah biar bunda bicarakan nanti sama adek" kata sang bunda pada akhirnya seraya tersenyum manis.

"Sepertinya ini sudah matang" kata sang pemimpin keluarga yang sendari tadi hanya diam menyimak pembicaraan si sulung dan sang istri.

"Biar bunda yang ambil keperluan yang lain, a' kamu bangunin adek aja gih" Jibran hanya mengangguk seraya berdiri dari acara berjongkok-nya sendari tadi, kemudian ia berjalan kearah saung yang berada dipinggir halaman.

"Dek bangun, ayo kita makan" kata Jibran seraya menepuk-nepuk pelan pipi bulat sang adik.

Tak perlu membutuhkan banyak waktu untuk membangunkan pemuda manis itu, karena sedetik setelahnya Haikal langsung terbangun. Ia tak langsung beranjak dari tempatnya untuk beberapa saat Haikal termenung di atas saung dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan.

"Cuci muka dulu dek" kata Jibran seraya mendudukkan tubuhnya di atas saung, sedangkan Haikal hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian setelahnya ia beranjak dari atas saung lalu berjalan kearah belakang bangunan sederhana itu.

"Adeknya sudah bangun?" tanya sang bunda seraya meletakkan citel berukuran sedang yang berisi nasi liwet ke atas saung.

"Sudah bun" jawab Jibran seraya menggeser tubuhnya hingga kepojok saung.

"Adek kalau dibangunkan pasti engga susah, persis sekali seperti bunda" kata sang ayah yang datang membawa dua lembar daun pisang.

"Iya, engga kayak si sulung. Tiga puluh menit kemudian dia baru bangun" kata bunda menggoda seraya melirik kearah Jibran yang kini wajahnya sudah berubah masam.

"Aa' kan emang kebo" sahut Haikal dari arah belakang.

"Kamu jangan ikut-ikutan juga dong dek" kata Jibran kesal, bahkan wajah pemuda sipit itu kini sudah memerah.

"Sudah, sudah. Jangan di godain terus aa' nya nanti kalau dia ngambek kita juga kan yang repot" kata sang ayah seraya meletakkan dua lembar daun pisang itu di tengah-tengah saung.

"Nanti kalau aa' dan adek pergi ke pondok, rumah pasti akan terasa sangat sepi" kata bunda sedih seraya mulai menyodok nasi kemudian meletakkannya ke atas daun.

"Yang mau pergi ke pondok siapa?!!, adek mau di rumah aja sama ayah
dan bunda" kata Haikal tak setuju seraya berjalan dengan cepat kearah depan.

"Tapi tahun ini terakhir kalinya untuk adek bisa ikut pesantren kilat tahun depan kan kalian pasti sudah lulus, jadi bunda mohon kamu ikut ya. Untuk pertama dan terakhir kalinya di masa sma kamu. Lagi pula kasihan aa' jika harus pergi jauh dari rumah hanya sendirian" kata sang bunda seraya menatap si bungsu dengan penuh permohonan.

"Tapi bun--"

"Bunda pasti akan baik-baik saja sayang, ada ayah kamu disini yang akan menemani dan juga melindungi bunda. Jadi kamu tak perlu khawatir" kata bunda seraya mengusap rambut hitam sang anak dengan penuh kasih sayang.

"Ikut ya, bunda mohon"

"B-baik, Haikal ikut"

TBC

Maaf kalau ceritanya gak jelas, padahal baru chap pertama tapi udah jelek kayak begini.

Pesantren Kilat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang