Us

430 43 0
                                    

Jeno hampir siap dengan koper miliknya ketika ponsel Jaemin berdering berkali-kali tanpa henti. Kening Jeno berkerut bingung, tidak biasanya sepagi ini Jaemin dihantui panggilan-panggilan mendesak. Bahkan sekarang baru jam setengah lima pagi, aktivitas agensi saja belum dimulai. Mereka harus bergegas karena dalam satu setengah jam, penerbangan menuju Korea akan take off. Jadilah Jeno terburu-buru merapikan semua barang miliknya, memoles ringan wajahnya dan mengenakan pakaian santai meskipun masih terlihat bergaya. 

Jika Jeno tak salah menghitung, ada 20 panggilan masuk dan Jaemin sedang berada di kamar mandi. Detik berikutnya, Jaemin tergopoh-gopoh melangkah keluar, sudah berpakaian lengkap namun rambutnya belum disisir rapi.

"Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kamu mendapat panggilan sebanyak ini di pagi hari."

Jaemin mengedikkan bahu—sebab ia pun tak tahu—kemudian meraih cepat ponsel di atas nakas. Ada 20 panggilan masuk dan 30 pesan dari berbagai kontak. Jaemin mengenal beberapa nomornya, milik jurnalis dan tim public relation sedangkan sisanya dari Park Sajangnim. Demi apapun Jaemin tidak tahu urgensi macam apa yang harus ia tangani di pagi buta seperti ini.

Jaemin memutuskan menghubungi direktur tanpa terlebih dahulu membaca pesan yang masuk. Sebelum lelaki 60 tahun itu marah besar, Jaemin harus segera memberi respons dan bergerak cepat.

"Sajangnim?" Jaemin menyapa sosok di seberang sana.

"Apa benar yang ditulis media, Na Jaemin? Apa berita itu semua benar?! Apa dirimu ini gila?! Anda ingin menghancurkan perusahaanku? Segala pencapaian yang kita dapatkan selama beberapa tahun ini!" 

Jaemin menjauhkan ponsel dari telinga, begitu bingung dan linglung akan apa yang sedang terjadi. Suara teriakan direktur terdengar di ujung sana. Begitu marah.

Media? Berita? Jaemin tak mengerti.

Sementara Jeno yang tengah duduk di kursi yang berada di sudut ruang lantas membuka ponselnya dalam hitungan sekon. Ibu jarinya bergulir di layar seturut matanya yang bergerak ke kanan dan kiri. Detik berikutnya tangannya gemetar, berusaha mengangkat kepalanya menunjukkan wajahnya yang pias. Pandangnya kosong kendati terarah pada Jaemin. Lidahnya kelu bahkan untuk sekedar mengucap satu dua kalimat.

Jaemin bingung setengah mati namun ia mengambil langkah lebar, tepat berdiri di hadapan Jeno. Ia rebut ponsel dalam genggaman tangan Jeno yang bergetar begitu hebat kemudian membaca headline news yang terpampang besar di halaman utama portal berita hiburan Korea.

Di sana, tepat di halaman utama, artikel mengenai dirinya dan Jeno ditampilkan begitu nyata. Bahkan wartawan tak lupa menyelipkan foto-foto bukti berikut kronologis cerita. Jaemin melirik statistik di sisi kanan bawah, sudah dibaca ratusan ribuan kali dengan ribuan komentar negatif.

 Jaemin melirik statistik di sisi kanan bawah, sudah dibaca ratusan ribuan kali dengan ribuan komentar negatif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jaemin menggenggam kuat ponsel milik Jeno seakan ia bisa menghancurkannya jika diberi tenaga lebih. Sejurus kemudian ia alihkan atensinya pada wajah Jeno yang terlihat pucat.

Takut dan gemetar. Jaemin menyaksikannya begitu jelas. Bahkan Jeno menggaruk jari-jarinya sendiri dengan kasar seolah berusaha melampiaskan segala kemelut yang membayangi pikirnya. 

Sayup suara direktur di seberang sana tak lagi terdengar. Telinga Jaemin rasanya berdenging keras. Namun di antara hatinya yang luluh lantak, Jaemin menyentuh tangan Jeno hati-hati, berusaha membujuk pemuda itu untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri.

"Jen? Jeno? Look at me, please. Eyes on me, love," 

Jaemin berusaha berucap selembut mungkin, menyentuh pipi Jeno perlahan. 

Detik berikutnya ia menemukan sepasang iris hazel memandangnya nanar dan kosong.

"Jangan dengar apapun selain suaraku. Jangan lihat apapun selain diriku. We'll be okay. We'll be fine. We're each other strength. Kamu ingat semua itu, 'kan? I'll protect you at all cost."

Jaemin menarik Jeno dalam pelukan, mendekapnya erat seakan dirinya adalah satu-satunya kekuatan yang bisa Jeno pijak detik itu juga.

Mereka tak menyangka, dalam rentang semalam, segalanya bisa dibongkar balikkan tanpa sebuah persiapan. Bahkan sebelum matahari benar-benar terbit, kisah mereka sudah lebih dulu disapa pilu.



A Leap of Faith | jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang