02 Februari 2019: satu masa menyukainya

7 0 0
                                    



Andara berjalan tergesa-gesa menahan amarah yang menyurak di dadanya. Setelah beberapa saat yang lalu Tanisa menghampirinya memberi tahu bahwa kelas dalam keadaan berantakan karena ulah anak-anak kelas yang tidak punya akal. Dalam derap yang kentara dengan emosi, Andara mendorong pintu kelas yang tertutup rapat sebelumnya. Dari luar sudah terdengar suara ricuh tawa dan teriakan teman-teman kelasnya, namun hal itu tidak berangsur lama ketika melihat Andara yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan menyalang.

"Kalian punya akal gak?!" bagaimana tidak, kelas yang sekarang sedang dilihatnya seperti bukan kelas. Lebih layak dikatakan kandang hewan saking berantakannya sampah di mana-mana. "Atau akal kalian semua udah hilang sampai-sampai bertingkah kayak hewan begini?!"

"Gak liat apa kelas ini bentukannya gimana sekarang? Punya mata nggak kalian semua?!" hardiknya hanya menemukan mereka saling melempar pandangan satu sama lain.

Teman-temannya hanya diam enggan untuk menjawab. Lalu, alih-alih menyesal dengan perbuatan mereka. Teman-teman kelasnya tetap melanjutkan aktivitas mereka bermain kuda panjang. Para lelaki bergantian menaiki tubuh murid lelaki lain yang bersusun panjang. Jika lawan mereka yang di bawah tidak bisa menampung berat dari lawan yang di atas maka mereka dinyatakan kalah. Sebaliknya, jika yang di atas ada satu orang saja yang terjatuh maka mereka juga kalah dan yang di bawah dinyatakan menang permainan berulang sampai mereka lelah.

Merasa diabaikan Andara lantas melangkah untuk mengambil ancang-ancang memukul satu persatu teman kelasnya. Pukulan awal diterima oleh Askar, lalu Kelvin, Angga, Alex, dan tangannya berhenti tepat pada seseorang yang menjadi penyanggah di dinding, yang tentu saja langsung berhadapan dengannya-Tera lelaki itu menatap jenaka kepadanya. Seolah pukulan yang akan diberikan Andara tidak ada efek samping untuknya.

PLAK!

Satu pukulan kuat mendarat tepat di punggung bocah SD kelas 6 itu. Amarah yang Andara rasakan tidak meluluh begitu saja saat bocah SD itu meringis kesakitan. Rasa sakit hatinya tidak terkalahkan setelah melihat kelas begitu berantakan. Biar saja mereka akan menganggapnya jahat, biar saja mereka akan menganggapnya mencari perhatian guru, biar saja mereka menganggapnya terlalu patuh pada tugasnya sebagai perangkat kelas. Toh, ketua kelasnya saja tidak becus.

"Kalian semua keterlaluan!" lantas setelahnya, ia menangisi kebodohan teman-temannya. Dia yang sebelumnya menuju ke kelas dengan derap langkah yang angkuh lagaknya seperti yang paling dibutuhkan disaat-saat kelas seperti pasar kaget; pasar sore yang selalu buka di hari sabtu dan minggu, kini menangis untuk menumpahkan amarahnya dan dendam kesumetnya pada Askar yang beberapa hari lalu mengganggunya.

"Gue capek sama kalian. Kalau bisa pindah kelas gue mau pindah aja!"

Seketika tangisnya membuat Tanisa panik dan mendekat kepadanya untuk menenangkan. Tanisa paham betul Andara selalu menumpahkan emosi lewat tangisan. Dan dia juga punya cara tersendiri untuk menenangkan anak itu.

"Tenang, An. Gue punya PC Jaemin yang baru. Buat lo aja. Tapi berhenti nangis ya?" alih alih berhenti menangis saat Tanisa berkata demikian. Tangis itu semakin menjadi karena seperti yang ia rasakan, segala amarah yang ia tampung baik dari beberapa hari lalu, dari rumah tadi, dan dari sekarang sudah tumpah membasahi seragam sekolahnya.

Tanisa pun kalang kabut bingung harus berbuat apa karena biasanya yang dia lakukan untuk menenangkan Andara selain ditraktir adalah modal Photocard Idol K-pop yang disukai anak itu. Tapi... Dia tidak biasanya melihat netra kecoklatan Andara memancarkan aura memilukan.

LENTERA 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang