2. Rumah sakit

245 30 4
                                    

Damian mengendari motornya dengan kecepatan tinggi. Untuk saat ini, ia tak menghiraukan keselamatannya. Pikirannya kacau, sangat.

"Dam!" panggil seseorang saat Damian tengah memarkirkan motornya di parkiran sekolah.

"Lo semalam kemana? Bonyok lo nelponin kita." kata laki-laki berkacamata itu. Namanya Eval, Evallo Davender.

"Nyokap sama bokap lo berantem lagi?" tanya seorang laki-laki berkumis tipis. Namanya Farzan.

"Dam? Cerita sama kita." Febri menepuk bahu Damian. Laki-laki itu terdengar menghembuskan nafasnya berat. Kemudian menatap ketiga sahabatnya secara bergantian.

"Tanpa gue jawab pun kalian pasti udah tau jawabannya." kata Damian.

"Gue lelah Feb, Far, Val." ucapnya sambil menatap ketiga sahabatnya itu.

"Pusing gue." Damian mengusap wajahnya kasar.

Ketiga laki-laki itu saling tatap-tatapan. Kemudian Farzan maju mendekat kearah Damian. Laki-laki itu langsung merangkul pundak Damian.

"Lo gak sendiri, Dam. Ada kita, kalau butuh tempat buat curhat, dateng ke kita." kata Farzan.

"Thank, ya." Damian membalas rangkulan Farzan.

"Kalau lagi gak mood di rumah, dateng ke rumah gue aja Dam. Pintu rumah gue terbuka lebar buat lo." Tambah Eval.

Beruntung. Ya, itu yang Damian rasakan saat ini. Ia merasa beruntung karena memiliki tiga sahabat yang amat baik dan pengertian.

Ketiga laki-laki itu pun berjalan beriringan menuju kelas. Damian, Farzan, Eval, dan Febri adalah cowok idaman di SMA Prestasi. Banyak siswi yang menyukai mereka bertiga. Mereka berlomba-lomba menjadi pacar dari salah satu pria tampan tersebut. Namun sayangnya, keempat laki-laki tampan itu masih memilih untuk menjomblo.

"Val, gue liat PR matematika dong. Gue belum nih," ucap Febri dengan wajah yang memelas.

"Tuman lo!" kata Eval sambil menoyor kening Febri.

"Teman? Ya, kan emang gue teman lo."

Eval berdecak sementara Damian dan Farzan tertawa sambil geleng-geleng kepala.

"Tuman, njing. Bukan teman!" ucap Eval sedikit emosi. Kesabarannya di uji kala ia berhadapan dengan Febri yang memang otaknya rada-rada.

Febri menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Tuman?"

"Tuman apaan, Dam?" kini ia bertanya pada Damian yang sibuk dengan ponselnya.

"Lo punya HP?" tanya Damian. Febri pun mengangguk sambil menunjukkan ponselnya.

"Punya, nih." ucap laki-laki itu.

"Yaudah, lo cari lah di mbah google!" balas Damian kemudian fokus kembali dengan ponselnya.

"Asu koe." gumam Febri kemudian duduk di tempatnya karena guru yang mengajar di jam itu telah datang dan pelajaran pun akan segera di mulai.

Di tempat lain, gadis bernama lengkap Naura Atharasya itu berjalan dengan langkah gontai di trotoar sambil bertelanjang kaki.

Rambutnya berantakan, matanya terlihat sembab, dan seragamnya acak-acakan. Yang pasti, ia tak akan masuk sekolah dulu untuk hari ini.

Entahlah, ia harus merasa senang atau merasa sedih. Yang pasti, saat ini ia tengah merasa hancur. Dan itu hanya boleh diketahui oleh dirinya. Tidak, tidak ada yang boleh tahu tentang ini.

"Kak Naura!" teriak seorang bocah laki-laki berusia lima tahun. Bocah laki-laki itu langsung berlari sambil merentangkan kedua tangannya bersiap untuk memeluk Naura.

DAMIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang