Bagian 3. Hari Pertama

64 7 2
                                    

“Sudah bangun?” Dia tersenyum tipis. Berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala. Matanya menatapku intens. Aku yang baru saja terjaga, mengerjapkan mata, mengumpulkan potongan informasi yang kubawa sebelum tidur.

“Mas?” panggilku.

Segera kuingat bahwa sekarang telah menikah. Ia masih tersenyum tipis. Barangkali pipinya yang kokoh itu kaku untuk menarik garis lengkung yang lebih lebar pada bibirnya. Sehingga senyum itu hanya sedikit sekali menggurat bibir. Akan tetapi, meskipun hanya sedikit dan tipis, senyum itu begitu menawan.

“Mandilah, sebentar lagi azan. Kita shalat subuh!” titahnya. Dia sendiri telah rapi dengan baju koko dan sarung. Entah pukul berapa dia bangun dan mandi. Aroma maskulin menyeruak dari tubuhnya. Merasuk ke dalam indera penciumanku. Aku tiba-tiba sangat menyukai aroma yang baru kuhidu ini. Ketika ia turut bersama udara yang dihirup, serasa ada sesuatu yang menenangkan dalam jiwa, membuatku ingin berlama-lama di dekatnya.

“Hum.” Meskipun sebenarnya masih enggan, aku segera beringsut turun dari ranjang. Mengambil handuk dan baju ganti kemudian masuk ke kamar mandi.

Setelah azan berkumandang, dia mengimami shalatku. Suaranya lembut melantunkan ayat-ayat cinta-Nya. Hilang semua kesan arogan yang biasa dia tunjukkan. Hatiku terasa sejuk. Keraguan menikah dengannya perlahan memudar. Aku yakin dia akan menjadi imam yang baik.

Setelah shalat, aku mencium punggung tangannya takzim. Dia membalas dengan mengusak kepalaku. Membuatku merasa amat disayangi. Apakah dia benar-benar menyayangiku? Entahlah! Namun, tadi malam mengapa dia memintaku setia? Tatapan matanya saat bangun tidur tadi mengapa begitu intens?

Dia segera bangkit, merapikan sajadah dan perlengkapan shalat lainnya. Setelah itu keluar kamar tanpa suara. Meninggalkanku yang masih bingung dengan rumah ini. Kali ini aku sedikit merutuk dalam hati pada sikapnya. Mengapa dia tidak mengajakku keluar bersama? Berjalan beriringan layaknya pengantin baru. Sekedar menunjukkan bagian-bagian rumah yang bagiku masih asing? Selama ini aku memang sering ke sini, tapi itu hanya sebatas tahu ruang tamu sebagai tempat belajar Nadin dan toilet jika kadang aku kebelet.

Aku segera merapikan mukena serta sajadah dan meletakkannya pada gantungan. Setelah itu menyusulnya keluar. Ternyata dia menuju kamar putrinya. Dari depan pintu yang terbuka, aku melihat dia dengan lembut membujuk Nadin agar segera bangun. Hatiku terharu menyaksikan bagaimana sikapnya memperlakukan gadis kecil itu.

“Semoga demikian pula dia akan memperlakukanku,” bisik hatiku.

Aku segera meninggalkannya dan melangkah menuju dapur.

“Ibu,” sapaku pada perempuan paruh baya yang telah sibuk di sana.

“Eh, Nak Anin,” sahutnya.

“Masak, Bu?” tanyaku tidak enak karena bangun lebih lambat darinya.

“Ndak, Nak. Ini hanya masak air untuk mandinya Nadin,” sahutnya.

“Oh.” Aku bergumam sambil terus celingak celinguk. Bingung harus berbuat apa.

“Biasa sarapan apa, Bu?” Aku inisiatif bertanya. Dari pada bengong terus sementara hari semakin siang.

“Biar saya siapkan,” lanjutku.

“Ibu ndak pernah masak. Kerjaan ibu di rumah ini cuma nemani Nadin saja,” sahutnya.

“Biasanya Kusuma masak sendiri nasi goreng atau apa saja yang dia ingin. Atau sesuai permintaan Nadin. Kalau ibu, secangkir kopi sudah cukup,” lanjutnya sambil tersenyum lembut.

“Karena itu, ibu sangat berterima kasih, Nak Anin mau menikah dengan putra ibu. Agar bisa membantu mengurus segala keperluannya.” Perempuan lebih dari paruh baya itu membelai pundakku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Me, Sersan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang