5. Bahaya
Hujan turun saat aku sedang membeli kebutuhan di minimarket. Meski jaraknya tidak terlalu jauh, tapi bajuku tetap akan basah jika nekat menerobos hujan. Apalagi aku ke sini berjalan kaki dan sama sekali tidak membawa payung. Sebenarnya bisa saja membeli jas hujan atau payung, tapi aku sedang ingin menikmati pemandangan hujan dari jalanan. Jadi begitulah, akhirnya aku memilih untuk berdiam di gazebo depan minimarket sembari menyantap makanan hangat.
Sambil menggigit setusuk odeng, aku mengarahkan kamera ponsel ke jalan basah yang dipenuhi lalu lalang kendaraan. Rintik hujan, kendaraan, dan jalanan basah adalah perpaduan yang pas untuk sebuah potret. Seperti menggali kenangan yang telah lama tersisih dari ingatan.
Aku tersenyum geli karena kalimat itu terangkai begitu saja di benak. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Jadi kubuka aplikasi Instagram dan menekan tombol postingan. Kupilih foto yang paling aestetik dan melengkapinya dengan caption persis seperti kalimatku tadi. Sekali-kali bikin postingan galau, kan? Hehe.
Setelahnya, aku tidak langsung keluar dari aplikasi. Ibu jariku malah menggulir feed yang muncul. Dan mataku berbinar begitu melihat postingan baru dari Woobin.
"Ganteng banget." Bahkan tanpa sadar aku bergumam sendiri memuji foto selfie idol favoritku itu.
Dan seperti kebiasaan jelek kalau sudah membuka sosial media, waktu akan terasa cepat berlalu. Ibu jari keterusan scroll, yang kebanyakan memang unggahan menarik dan menghibur dari konten grup idolaku. Di antara suara rintik hujan bercampur mesin kendaraan yang lewat, aku tenggelam dalam aktivitas sendiri. Tertawa, senyum-senyum, atau bahkan ikut bersenandung ketika lagu Kpop yang kukenal dijadikan sound konten.
Hingga entah berapa lama kemudian, tiba-tiba permukaan meja di depanku diketuk pelan. Aku spontan mendongak dan mengerjapkan mata saat mendapati Bang Kefan berdiri dengan payung di tangan.
"Abang?"
Bang Kefan meletakkan payung di tanah, sebelum berkacak pinggang dan menatapku datar. "Senyum-senyum sendiri di pinggir jalan. Nggak takut dianggap gila?"
Aku tertawa singkat. "Senyum-senyum sendiri pas scroll sosmed tuh udah penyakit umum buat gen z, Abang."
Bang Kefan berdecak. "Seenggaknya lakuin di rumah."
Aku mengedikkan bahu. "Suka-suka aku."
Bang Kefan tidak berkomentar lagi, tapi dia masih menatapku lekat selama beberapa detik. Tentu saja aku membalasnya dengan berani. Kita lihat siapa yang kalah dalam adu tatap ini. Dan aku tersenyum lebar saat dia memutus kontak lebih dulu. Selalu seperti ini sejak kami bertemu lagi. Bang Kefan sok-sokan mau mengintimidasi, tapi saat aku ladeni, dia sendiri yang kalah. Lucu, kan?
"Abang ngapain ke sini?" tanyaku sembari mengamati pakaian yang dia pakai. Celana bahan warna putih tulang dan kemeja jin biru pudar. Masih sama seperti tadi pagi saat aku melihatnya berangkat kerja. "Nggak ganti baju dulu, gitu?"
"Suka-suka aku."
Aku menyeringai karena balasannya. "Jadi mau ngapain?"
"Beli sesuatu."
Aku menopang dagu di meja. "Sesuatu apa?"
Bang Kefan menatapku tanpa kedip. "Rokok."
"Heh!" Refleks, aku berdiri dan memolotot. "Abang ngerokok? Sejak kapan? Ngapain Abang ngerokok segala? Dulu kan Abang nggak suka bau rokok, pernah muntah pas nyobain rokok Bang Fajri, tapi sekarang Abang ngerokok? Ih Abang tuh—"
"Bercanda."
Ucapanku terpotong begitu saja karena celetukannya yang dilontarkan dengan amat sangat kalem dan tanpa dosa. Mulutku menganga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Goodbye (On Going)
Ficción GeneralJudul: Never Goodbye Di umur 24 tahun ini, kehidupan Lola Lolita sudah cukup sibuk. Mulai dari jadi komikus, drakoran, hingga fangirling. Itu sudah sempurna untuk jomlo sepertinya. Namun sejak tinggal di rumah Eyang, kesibukan Lola bertambah satu la...