"Apakah hati masih bisa patah ketika jantung berhenti berdetak?"
Aluna, seorang putri kerajaan yang malah menghindari kata "Tuan Putri" karena menurutnya menjadi putri di sebuah kerajaan itu adalah sebuah hukuman, itu sangat mengekang dirinya dan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Bolehkah aku berlari pada jenggala, berteriak pada jumantaranya bila nestapa kian melucuti tenangnya atma."
A novel by Ade Bintang 🌟
_____________________________
"Te—terima kasih... Dan... Maaf merepotkan!" gadis itu membungkukkan badannya persis di depan Hiro. Membuat Hiro sedikit gelagapan dan benar-benar tak tau apa yang harus di katakan.
"Tidak merepotkan!" ucap Hiro.
Gadis itu mengangkat kembali wajahnya. "Anda..." Ia terdiam sejenak memperhatikan wajah Hiro lebih seksama. "Jangan-jangan, anda Pangeran Hiro?" tanyanya dengan nada terkejut.
"Sungguh kehormatan bisa bertemu secara langsung dengan anda, Pangeran! Sa—saya... Saya tak enak hati meminta bantu.... Barusan."
Hiro yang mendengar pun ikut tak enak, seharusnya membantu adalah kewajiban bagi yang mampu bukan hanya karena seorang keturunan raja.
Hiro tersenyum hangat, "aku mengenal semua orang yang ada di Carlotte, tapi aku tidak pernah melihat mu, siapa namamu?" tanya Hiro pada gadis itu.
Untuk yang kesekian kalinya gadis itu membungkukkan badannya memberi hormat pada Hiro. "Nama saya Annabelle, saya memang bukan orang Carlotte, saya berasal dari Arlan, Pangeran... Saya datang pun semata-mata untuk mencari ikan di sungai Carlotte."
Hiro pun mengangguk, "Arlan? Itu sangat jauh, kebetulan sekali aku juga sedang berada di perjalanan menuju Arlan."
Annabelle yang mendengar, tersenyum manis, "benarkah? Ka-kalau begitu..." Ia memberanikan diri untuk menatap langsung mata Hiro. "Jika berkenan, bisakah saya mengajak anda untuk pergi bersama, Pangeran? Kebetulan saya tau jelas jalan yang bisa menghantarkan kita langsung, secara cepat. Sekalian, saya ingin membalas budi anda yang telah menyelamatkan saya..."
Lagi-lagi, Hiro terdiam sejenak. Ia berpikir, sebenarnya bantuan yang baru saja ia lakukan itu murni ikhlas.
"Hmm.... Saya mohon.... Pangeran?"
Namun melihat ketulusan dari sorot mata Annabelle membuat Hiro luluh. Ia pun akhirnya mengangguk. Lagian tak ada salahnya juga menerima bantuan dari orang lain, kan.
Setelahnya, Hiro bergegas membawa Annabelle untuk pergi ke tempat perkemahan mereka di awal. Dari atas bukit terlihat Aluna yang berjalan turun menghampiri Hiro, tatapannya tampak heran, akan siapa gadis yang bersama Hiro saat ini Aluna melangkah lebih dekat diikuti Joy dibelakangnya.
Menyadari keberadaan Aluna, Annabelle langsung membungkukkan badannya sebagai pertanda hormat untuk tuan putri ini.
"Suatu kehormatan dapat berjumpa dengan anda, Tuan Putri," ucap Annabelle secara formal.
Aluna tersenyum canggung, ia mengangguk lalu sorot matanya beralih ke Hiro. Jika bisa bertelepati mungkin saja ia akan bertanya siapa gerangan gadis ini. Sedangkan Joy menatap Annabelle dari atas ke bawah dengan tatapan tajam yang sedikit aneh. Namun beberapa detik kemudian, Hiro peka pada keadaan.
"Luna, ini Annabelle. Dia bersedia untuk menunjukkan arah jalan menuju Arlan kepada kita," kata Hiro menjelaskan. Diikuti anggukan oleh Annabelle.
Aluna tersenyum kecil, "baiklah..." lirihnya menatap ragu. Ia pun segera membersihkan semua yang persediaan mereka. Lalu ikut berjalan bersama Hiro dan Annabelle. Melihat Annabelle yang melangkah tepat di samping Hiro, Aluna sedikit mengerutkan dahinya. Ia langsung mempercepat langkahnya lalu berdiri tepat di tengah keduanya.
"Jadi, kau ini anak Arlan, ya?" tanya Aluna dengan nada lantang. Sekilas, Hiro menatap aneh, sebelum kemudian ia terkekeh kecil. Begitu pun dengan Annabelle, ia terkejut untuk beberapa saat lalu mengangguk.
"Di mana kau tinggal?" tanya Aluna lagi dan lagi.
Annabelle tersenyum, lalu menjawab tenang. "Kebetulan saya tinggal tepat di belakang bekas kastil Pliotoda."
Tiba-tiba, suara batuk terdengar menghantam indera pendengaran mereka. Aluna, Hiro, dan Annabelle sontak menolehkan kepala menatap aneh ke arah Joy yang tampak terkejut.
"Kau tak apa?" tanya Aluna heran.
Joy menggeleng cepat, "ah, tidak," ujarnya.
Mereka tak terlalu menghiraukan lalu berjalan lebih cepat lagi. "Oh iya, kenapa kau tinggal di sana, bukankah itu tempat para petinggi biasanya?" tanya Hiro penasaran.
Annabelle mengangguk, "dahulunya ibunya buyutku adalah seorang ketua pelayan kebersihan wanita, dia diberikan tugas untuk selalu membersihkan pekarangan kastil, hingga setelah peperangan berakhir, hanya buyutku yang saat itu masih berusia 11 tahun yang tersisa, lainnya tiada secara mengenaskan."
Pupil mata Hiro membulat sempurna, "benarkah? Jadi buyutmu tau tentang itu?" tanyanya Hiro bertubi-tubi.
Annabelle mengangguk, "hanya saja, buyutku telah meninggal jauh sebelum aku lahir. Sekarang aku tinggal bersama nenekku, memangnya Pangeran butuh apa?" Annabelle balik bertanya.
Senyum di wajah Hiro sedikit luntur, namun ia tak menyerah. "Apa nenekmu tahu tentang permata Nhara?" ucap Hiro.
Annabelle terdiam, begitupun yang lainnya. "Permata Nhara? Aku belum pernah melihatnya, tapi aku pernah dengar tentangnya, ada apa, Pangeran?" tanya Annabelle.
Hiro menggeleng, kemudian senyum kemenangan itu muncul ceria di wajahnya.
"Kau ini kenapa?" Aluna yang muka akhirnya angkat bicara, ia menatap malas ke arah Hiro dengan heran.
"Kau akan segera tahu, Luna!" ujar Hiro bersemangat.
Annabelle tak terlalu mengerti, ia mendongakkan kepalanya. "Kita sudah sampai," ucapnya.
Aluna yang mendengar sontak merasa heran. "Kau gila? Ini jelas hanya semak belukar," ujarnya bingung.
Annabelle terkekeh kecil, ia membuka helai demi helai sempak itu dan terlihatlah bangunan megah di baliknya. Sebuah kastil tua tak terurus, penuh debu dan begitu usang. Di belakangnya tampak rumah kayu kecil yang berdiri lemah. Aluna dan yang lainnya melangkah mengikuti arah tuju Annabelle.